Monday, October 21, 2019

Banjir dan penanggulannya melalui pendekatan sistemik

Barangkali anda akan tertawa atau menertawakan mengapa saat ini bicara tentang banjir. Bukankah banyak daerah mengalami kebakaran hutan dan atau lahan? Bukankah waktu menunjukkan bahwa masih musim kemarau? Sejumlah pertanyaan yang menurut penulis wajar-wajar saja. Apa yang penulis sampaikan ini adalah untuk mengingatkan akan potensi datangnya banjir saat musim hujan mendatang sekaligus berkaca diri apakah pembangunan berbasis cuaca, musim dan iklim sudah mulai kita jalankan. Meskipun saat ini masih menginjak musim transisi di banyak wilayah di Indonesia khususnya yang mempunyai curah hujan tipe monsoonal namun di berbagai wilayah khususnya yang berada di Utara ekuator atau khatulistiwa sebagian sudah memasuki musim hujan. Ini bisa kita lihat dari citra satelit Himawari 8 dan pola streamline (garis arus) yang sudah sebagian mengarah timur laut meskipun beberapa waktu terakhir polanya berubah-ubah. Pembentukan pusat-pusat siklon atau gerak berputar dari pola angin yang berada di utara ekuator (ditandai dengan huruf C) menghambat untuk pembentukan hujan di banyak wilayah di tanah air. Pola streamline tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Masih banyaknya atau dominannya angin tenggara sampai timur di belahan bumi selatan mengindikasikan musim kemarau sampai dengan musim transisi menuju musim hujan. Kondisi mendatang dimana diprakirakan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) banyak wilayah memasuki musim hujan pada awal bulan November 2019 bisa berpotensi menyebabkan banjir. Kondisi banjir mengakibatkan air meluap keluar dari sungai dan menggenangi areal persawahan, permukiman dan badan-badan jalan sehingga mengganggu ekonomi masyarakat, aktivitas sosial budaya, mobilitas transportasi, kerugian harta benda  dan sebagainya bahkan terkadang menelan korban jiwa.
Banjir terjadi oleh karena tiga faktor yakni intensitas hujan yang tinggi melebihi kapasitas infiltrasi, limpasan permukaan daerah aliran sungai sudah tinggi dan atau kapasitas sungai sudah menurun akibat sedimentasi di badan sungai atau menyempitnya sungai akibat sampah dsb. Tingginya intensitas hujan sebagai penyebab utama banjir umumnya relevan dengan banjir yang terjadi bukan pada awal musim hujan tapi pada pertengahan sampai akhir musim hujan karena pada saat tersebut tanah sudah mulai jenuh akibat hujan yang terjadi sebelumnya. Air tidak dapat lagi meresap ke dalam tanah tapi menggenang dan berjalan ke tempat yang lebih rendah. Faktor ini tidak dapat dicegah oleh manusia karena prosesnya sangat alami. Tingginya limpasan daerah aliran sungai (DAS) sebagai penyebab utama banjir akan relevan pada DAS yang penggunaan lahannya didominasi oleh pertanian yang pengelolaannya tidak mematuhi kaidah konservasi tanah, perubahan penggunaan lahan seperti misalnya yang tadinya hutan diubah peruntukannya menjadi non hutan, pemukiman, penggembalaan dan atau industri. Sedangkan faktor ketiga sebagai penyebab utama banjir relevan untuk DAS yang tingkat erosinya tinggi, banyak tanah longsor karena banyak penambangan liar dan penggundulan hutan, dan atau banyaknya sampah atau limbah padat yang dibuang ke sungai. Umumnya banjir terjadi karena kombinasi dari dua atau tiga faktor di atas.
Lahan kritisUntuk mengelola risiko bencana banjir, kita tidak dapat mencegah terjadinya hujan lebat. Kita dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bencana dengan mencegah atau memperbaiki lahan kritis. Meskipun sudah ada program reboisasi sejak tahun 1960an, luas lahan kritis bukannya berkurang melainkan semakin bertambah misal dengan adanya kebakaran hutan dan atau lahan. Belum diperoleh data terbaru namun coba lihat data Kalimantan Utara berikut ini.
Dari data tersebut memang belum diperoleh timeline dari wilayah yang sama namun setidaknya tabel tersebut menunjukkan betapa besarnya jumlah lahan kritis dan sangat kritis di propinsi tersebut.

Secara umum di Indonesia, lahan-lahan kritis dan sangat kritis kemungkinan bisa disebabkan oleh tiga faktor. Pertama karena ada oknum pejabat yang pura-pura tidak mengetahui ada penebangan liar yang terjadi di wilayahnya dimana barangkali dia juga diuntungkan oleh penebangan liar tersebut. Lahan penebangan tersebut diubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan yang hasilnya bisa jadi ditadah atau disalurkan oleh pihak-pihak tertentu. Oknum-oknum inilah yang membiayai penebangan ini. Faktor kedua adalah kegagalan reboisasi yang telah dilakukannya sejak tahun 1960an. Kegagalan reboisasi pada tahun pertama bisa mencapai 50%. Karena pemeliharaan yang minim maka lima tahun pertama hanya tinggal beberapa persen saja yang tumbuh dengan baik, sisanya mati atau kerdil. Kemudian dilakukan penghijauan lagi yang waktunya sering tidak tepat. Anggaran turun akhir musim penghujan sehingga bibit yang kecil ditanam pada musim kemarau yang akhirnya mati juga. Faktor ketiga adalah kemiskinan yang diperparah oleh kebijakan pembangunan yang tidak pro masyarakat miskin. Pembangunan jalan tol, industri, dan pemukiman-pemukiman mewah yang memarjinalkan masyarakat miskin. Pemilik lahan mendapat ganti rugi namun biasanya jauh dari harga pasar. Buruh tani, pedagang pengangkut hasil pertanian yang kehilangan mata pencahariannya tidak mendapat ganti rugi. Mereka tergusur dan hanya memiliki dua pilihan, satu naik ke perbukitan dan membabat hutan yang ditanami tanaman hortikultura atau yang lain agar tidak mati kelaparan dan yang kedua adalah bermigrasi ke kota dan menambah jumlah kelompok marjinal.  Tapi itu dulu, saat jaman antah berantah. Sekarang kondisinya lebih membaik dan semoga tidak seperti yang digambarkan di atas. Penebangan liar dan pembakaran hutan dan lahan meskipun pernah mempunyai tren peningkatan, saat ini terjadi tren penurunan. Reboisasi yang dilakukan sudah mengalami peningkatan tetapi kebakaran hutan dan lahan memang menyebabkan usaha tersebut seperti sia-sia. Tidak ada salahnya untuk dilakukan lagi secara terus menerus agar supaya wilayah Indonesia makin hijau. Faktor kemiskinan juga menurun menjadi tinggal sekitar 9%.
Upaya mitigasi dan penanggulanganMemperkecil konsekuensi bencana dapat dilakukan dengan menggunakan sifat curah hujan dan peta topografi. Berdasarkan data tersebut dapat direncanakan tata ruang pembangunan untuk menghindari penduduk terdorong ke perbukitan/pegunungan dan membangun permukiman di sana, pemetaan kerentanan dan risiko bencana. Dalam analisis mengenai dampak lingkungan harus secara eksplisit dicantumkan rekomendasi cara menangani rakyat miskin bukan pemilik lahan. Permukiman yang terlanjur ada yang mempunyai risiko bencana harus ditata ulang kembali atau direlokasi. Walaupun biayanya mahal namun hal ini sepadan dengan kalau tindakan kuratif yang dilaksanakan.
Cara lain adalah kita harus melakukan deteksi dini luas lahan kita kemudian diterapkan penjagaan terhadap kawasan-kawasan yang rawan bencana, tidak hanya tutupannya tetapi juga kondisi tanamannya yang memenuhi syarat ekosistem. Percepatan reboisasi lahan-lahan gundul semestinya dilakukan berpacu dengan waktu. Kerjasama antara KLHK dan instansi lain perlu juga digalakkan untuk memberikan penyuluhan konservasi tanah, memperkuat penanaman tanaman keras akar dalam di lokasi perkebunan, penguatan program kampung iklim (proklim) serta berbagai upaya mikro lainnya mengingat adanya kaskade skala kegiatan dsb. KLHK harus mendorong pembangunan hutan rakyat terutama di daerah miring dan hulu serta mendorong dihindarkannya permukiman di daerah endapan alluvial yang mudah longsor. Selain hal di atas kita juga harus mengembalikan fungsi hutan yang sesungguhnya yang sebenarnya multifungsi. Kadangkala kita terjebak hanya pada satu fungsi saja, misalnya hutan produksi hanya untuk tujuan produksi saja padahal hutan produksi juga mempunyai fungsi lindung atau sosial pada sebagian areanya. Perlu dilakukan tata guna hutan mikro yakni tata guna hutan berdasarkan identifikasi karakteristik biofisiknya serta aspek sosial, ekonomi dan budaya sehingga mungkin bisa terjadi dalam hutan produksi ada area yang dikelola sebagai kawasan lindung atau sebaliknya. Pada kawasan hutan konservasi juga demikian. Mungkin pada zona tertentu yang memungkinkan dikelola untuk tujuan produksi atau peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak hanya untuk tujuan pelestarian keanekaragamanan hayati.
Perbaikan sempadan sungai, normalisasi sungai dengan mengatur agar sedimentasi tidak menyebabkan pendangkalan sungai (pengerukan sungai) dan perbaikan drainase merupakan langkah lain yang bisa ditempuh untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan hujan deras.
Selain hal yang telah dikemukakan di atas, momen musim kemarau merupakan momen yang tepat untuk pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan tol, saluran irigasi, saluran drainase, gedung dan bangunan, jalur kereta cepat, instalasi listrik dan air minum serta yang lainnya. Jadi merupakan hal yang sangat penting untuk melihat cuaca, musim dan iklim dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Ini selain akan menghemat anggaran, juga akan menyebabkan percepatan dalam pembangunan infrastruktur. Percepatan-percepatan tanpa mengurangi kualitas bangunan dan ramping organisasi tapi padat fungsi sangat diperlukan dalam pembangunan. Pendekatan sistemik harus dilakukan sejak dini sehingga trilyunan rupiah bisa dihemat dari proses semacam ini.
Ketika semua itu sudah dilakukan maka semoga banjir yang akan datang tidak sehebat tahun-tahun sebelumnya. Banjir bukan lagi merupakan hal yang biasa namun menjadi hal yang sangat luar biasa karena sangat jarang terjadi. In sya alla. Aamiin. 

No comments:

Post a Comment