Friday, June 26, 2020

Longsor di Palopo Sulawesi Selatan

Kejadian longsor di Palopo yang menyebabkan terputusnya jalan Palopo - Toraja dan beberapa rumah terbawa longsor menjadi berita hangat hari ini. Dalam berbagai video amatir yang tersebar di media massa terlihat bagaimana longsor tersebut terjadi. Bukan hal aneh mengingat saat ini hujan masih terjadi yang menyebabkan pori-pori tanah terisi air dan ikatan antar struktur tanah menjadi relatif lemah sehingga mudah untuk longsor. Longsor terjadi di wilayah dengan kemiringan tertentu, semakin miring maka semakin mudah untuk terjadi longsor. Adanya tanaman pada suatu bukit memang akan mengurangi terjadinya longsor sampai kedalaman tertentu namun bila ikatan tanah yang lemah lebih dalam lagi maka tetap saja longsor bisa terjadi. Tanaman-tanaman berakar tunjang akan memungkinkan mengikat tanah dengan lebih baik dibanding tanaman berakar serabut. Pohon-pohon yang tinggi umumnya mempunyai perakaran tunjang untuk menancapkan bagian tubuh tanaman ke tanah.
Kalau melihat informasi dari BMKG yang diupdate tanggal 20 Juni 2020 yang lalu, sebagian wilayah Sulawesi Selatan masih banyak hujan. Hampir tiada hari tanpa hujan seperti yang terlihat pada peta di bawah ini yang ditunjukkan oleh noktah hijau.
Kalau dilihat dari distribusi perawanan yang terjadi pada beberapa hari ini memang tampak bahwa perawanan hujan masih banyak berada di Sulawesi, termasuk Sulawesi Selatan. Tidak mengherankan mengingat pola angin yang membawa uap air masih terdapat di wilayah Sulawesi Selatan. Matahari yang mulai meninggalkan 23,5o lintang utara menuju ke Selatan mempunyai pengaruh pada angin tenggara ini. Semoga kejadian longsor semacam ini tidak terjadi lagi di waktu mendatang. Yang penting juga agar jalan darat poros Palopo - Toraja bisa terhubung kembali sesegera mungkin.

Friday, June 12, 2020

Adaptasi kebiasaan baru ...

Di Indonesia, sudah 35 ribuan orang positif menderita Covid-19, 12 ribuan yang telah sembuh dan lebih dari 1900 orang yang meninggal dunia. Secara de facto, jumlah penderita Covid-19 sedunia sudah mencapai 7,5 juta jiwa, yang sembuh sebanyak 3,8 juta dan yang mati sebanyak 420 ribu jiwa per tanggal 11 Juni 2020. Amerika Serikat menempati urutan pertama, disusul oleh Brazil, Rusia, Inggris, Spanyol, India, Italia, Peru, Jerman dan Iran. Negara-negara yang disebut tersebut merupakan negara dengan pasien ratusan ribu sampai jutaan pasien pengidap Corona. Ini merupakan angka yang tidak main-main. Diprakirakan masih akan ada lagi lonjakan penderita covid jika kegiatan umat manusia masih seperti kemarin-kemarin. Indonesia telah memperkenalkan istilah adaptasi kebiasaan baru sebagai pengganti kata new normal yang sering digaungkan oleh WHO. Suatu kebiasaan dimana ketika beraktivitas maka seseorang harus memakai masker, menjaga jarak dan sering mencuci tangan. Istilah ini sudah digaungkan secara lebih masif beberapa waktu terakhir ketika diperkirakan kondisi masyarakat sudah lebih baik dan angka penularan serta kematian menurun meskipun masih belum stabil mengingat melalui tes swab sebanyak 12 ribuan per hari terdapat sekitar seribuan yang telah positif corona per hari. Ini angka yang besar dan tidak bisa diremehkan. Sudah sewajarnya setiap warga negara Indonesia berupaya untuk memberikan kontribusi terbaiknya pada bangsa dengan disiplin melakukan anjuran pemerintah.
Kebiasaan disiplin, sehat dan produktif seharusnya menjadi panduan untuk makin menurunkan tingkat pandemi dan meningkatkan pencapaian tujuan pembangunan nasional di tengah pandemi. Semoga pandemi ini makin memacu kita semua untuk berbagi, bergotongroyong dan melaju bersama menggapai impian. 

Thursday, June 11, 2020

Masih adakah hujan di bulan Juni??

Untuk wilayah-wilayah tertentu di Indonesia, saat ini masih mengalami banyak hujan, sedangkan di wilayah lainnya sudah mengalami musim kemarau. Hujan masih terjadi di wilayah-wilayah yang bertipe curah hujan ekuatorial dan lokal dimana merupakan sebagian kecil dari wilayah Indonesia. Wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi bagian Utara dan tengah serta sebagian Papua masih mempunyai potensi untuk mengalami cukup hujan meskipun tidak melimpah. Tanah masih menyimpan air untuk digunakan dalam kegiatan pertanian dan kehutanan meskipun dalam jangka waktu lebih dari 60 hari bila hujan tidak turun bisa memicu adanya kekeringan. Adanya peluang ENSO netral dimana distribusi anomali suhu permukaan lautan Pasifik tropis 60% dalam kondisi biasa menyebabkan wilayah Indonesia mempunyai peluang mengalami musim kemarau yang biasa-biasa saja. Disampaikan oleh WMO bahwa peluang terjadinya El Nino sebesar 30%  dan La Nina sebesar 10%. Ini berarti peluang terjadinya kekeringan lebih besar dibanding dengan berlimpahnya curah hujan.
Ini belum termasuk memperhitungkan masalah osilasi yang bergerak dari Samudra Hindia ke arah Samudra Pasifik yang berpengaruh juga pada distribusi hujan di tanah air. Awan-awan jenis stratiform dan konvektif yang terbentuk akibat pengaruh osilasi antar musiman di wilayah daratan mempunyai kontribusi pada banyaknya curah hujan yang terjadi, meskipun pada saat ini khususnya di pulau Jawa peluang curah hujan ini berkurang. Pengaruh lokal paling mungkin terjadi di sekitar wilayah pegunungan yang mempunyai pengaruh pada terjadinya angin Foehn seperti terjadi di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Papua. Kondisi dari ketiga sel sirkulasi yang bekerja pada atmosfer di Indonesia menyebabkan pola musim pada bulan Juni ini demikian unik. Pandemi Covid-19 yang turut berpengaruh pada distribusi aerosol di atmosfer sebagai dampak dari menurunnya aktifitas manusia di dunia tampaknya juga membawa pengaruh pada cuaca dan musim. Selama jumlah aerosol di atmosfer berkurang maka pembentukan tetes hujan yang berpeluang menjadi butiran hujan juga berkurang. Kelihatannya tetes-tetes hujan lebih banyak terbentuk dari sumber lautan dibanding di daratan. Sehingga bila terjadi hujan maka hujannya pun cukup deras. Oleh karena itu, bila di beberapa tempat di tanah air masih mengandalkan sisa hujan di musim kemarau ini untuk menanam tanaman padi maka masih dikatakan wajar mengingat masih berpeluang untuk menanam tanaman yang cukup membutuhkan air meskipun saya sendiri ragu apakah tanaman misalnya padi akan tumbuh dengan cukup baik di wilayah bertipe curah hujan monsoonal bila tanpa dukungan irigasi. Bila menanam padi dengan sistem SRI (system of rice intensification) maka air irigasi masih bisa mendukung, namun bila pengairannya menggunakan sistem permukaan lainnya yang boros air maka bisa dibayangkan bahwa padi akan kekurangan air dan bulir padipun tidak akan mencapai ukuran maksimum dan hasil panen optimal.