Monday, October 28, 2019

Suara rimbawan ...


Mengapa masyarakat sekitar hutan belum sejahtera??
Ada beberapa sebab. Yang pertama karena kurangnya pengetahuan mengenai pengelolaan lahan yang baik. Akibatnya tidak ada kemajuan yang ditampakkan oleh masyarakat untuk memajukan fungsi ekonomi dan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Yang kedua, adanya pembukaan lahan yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya masyarakat sekitar hutan akan kehilangan lahan untuk bercocok tanam dan juga sebagai nilai ekonomi rakyat sekitar hutan.
Penduduk sekitar hutan kekurangan fasilitas seperti listrik, internet, dan lainnya serta pendidikan yang tergolong masih rendah, sumber informasi sulit didapatkan, fasilitas kesehatan dinilai kurang dan terlalu bergantung pada alam yang sifatnya dinamis. Tingkat kesejahteraan itu sebenarnya tentatif atau subyektif karena setiap orang memiliki definisi sejahtera sendiri-sendiri.
Fahriza Dwi I, Irham Muhammad Dhaffien, Azzahra RKP, Muhammad Fajar N, Nyayu Anisza, Muhammad David Hambali, Choirruriwayacanti
Karena masyarakat sekitar desa hutan, walaupun tinggal di area hutan belum tentu memiliki kemampuan untuk mengelola hutan dan sumber daya alamnya. Solusinya adalah dilakukannya sosialisasi mengenai pentingnya pengelolaan hutan dan dilakukan training yang intensif tentang cara mengelola hutan. Selain hal tersebut dapat disebabkan oleh pengelolaan hutan oleh pemerintah yang tidak menerapkan prinsip bagi hasil dengan masyarakat. Solusinya adalah pemerintah seharusnya membentuk PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat). Penyebab lainnya dapat disebabkan bila hutan yang menjadi fokus utama merupakan hutan milik perusahaan dan perusahaan tersebut hanya mementingkan kelola ekonomi/produksi saja tanpa memecahkan kelola sosialnya. Solusinya adalah meningkatkan aplikasi dan optimalisasi undang-undang tentang hutan produksi dan pengelolaannya. Yang ketiga adalah faktor hutannya sendiri. Maksudnya adalah suatu hutan memang memiliki vegetasi dan fauna yang beragam tetapi potensi keberagaman itu untuk dimanfaatkan tidak dapat dipastikan, misalnya pohon atau tumbuhan di hutan tersebut kebanyakan beracun sehinggga tidak dapat dimanfaatkan sama sekali. Hal itu dapat menyebabkan tidak terpenuhinya kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan tersebut. Solusinya adalah ada baiknya jika pemerintah dan masyarakat sekitar hutan bekerjasama membentuk area tumpang sari/agroforestri sehingga hutan masih eksis dan masyarakat dapat memperoleh manfaat dari hutan tersebut melalui hasil panen tanaman tumpang sari/agroforestry.
Zabrina Gilda, Zefanya Zeske RFN, Sarah Anaba, Fahmi Idris F, Aslama Nuraulia, Alfiazka AA, Dicko Luhut FN, Wita S Sihaloho
Berdasarkan SKH (survei kehutanan) 2014, diperoleh hasil bahwa masyarakat sekitar kawasan hutan masih memiliki kualitas sumber daya manusia yang rendah, bertumpu pada sektor pertanian dan bergantung pada sumber daya hutan. Beberapa daerah sudah terjangkau oleh pemerintah. Pemerintah mencanangkan program perhutanan sosial namun program ini belum maksimal ditambah masyarakat belum memiliki keinginan yang besar dalam mengelola hutan. Tidak berjalannya program ini menghambat perkembangan ekonomi masyarakat. Faktor penghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah 1. Sumber daya manusia di sekitar hutan belum mampu mengelola sumber daya hutan karena tingkat pendidikan yang rendah. 2. Sarana prasarana belum memadai. 3. Bantuan dari pemerintah yang tidak tersalurkan dengan merata. 4. Pola pikir manusia yang modern sentris; 5. Masyarakat yang takut mencoba hal baru.
Alita Gevanya, Bahrul, Putri Meila, Tsabita, Sari Mahira, Risky Annisa, Wilterza N, Raja, Wais Alghani
Karena masyarakat sekitar hutan kebanyakan hanya menjadi buruh, bukan yang menjadi inisiator pengelolaan hutan yang biasanya orang-orang dari luar kawasan tersebut karena kurangnya pengetahuan masyarakat desa sekitar hutan mengenai tata cara kelola hutan. Banyak masyarakat sekitar hutan yang bergantung kepada sumber daya hutan sehingga mempengaruhi keadaan ekonomi masyarakat tersebut.  Sebagian besar masyarakat sekitar hutan merupakan petani pesanggem, tentu hasil yang didapatkan tidak menentu sehingga mengakibatkan lemahnya perkembangan ekonomi masyarakat desa di sekitar hutan. Kehidupan masyarakat menjadi lebih susah sehubungan dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pihak pengelola hutan yang harus dipatuhi oleh masyarakat sekitar hutan untuk membantu menjaga kelestarian hutan serta adanya sangsi akibat pelanggaran yang dilakukan sehingga membuat gerak masyarakat sekitar hutan menjadi terbatas untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Berada dalam lingkungan yang dikelilingi hutan membentuk keterbatasan akses masyarakat untuk memperoleh informasi baru sehingga mereka cenderung tertinggal/terbelakang. Adanya perasaan akan segala sesuatu yang dibutuhkan telah tersedia di hutan membentuk pribadi masyarakat menjadi malas untuk lebih berusaha  dalam setiap kegiatan yang mendukung perekonomiannya.
Fadel P Rabani, Riezcy Cecilia Dewi, Faza Meidina, Ranji Saptiadi M, Sheila Pertiwi, Muhamad Rifky, Muahmad Rizky D, Savira Qorry A, Hillaryana


Thursday, October 24, 2019

Mengapa panas sekali ...??

Hari-hari belakangan ini cuaca di Indonesia terasa panas sekali. Banyak berita di WAG yang menyatakan banyak kota besar di berbagai wilayah di Indonesia suhunya lebih dari 38oC. Sejumlah langkah telah disebarluaskan untuk mengatasi hal tersebut dari mulai hal yang sederhana. Misal membawa payung atau menyalakan AC di dalam ruangan, banyak minum supaya tidak dehidrasi dan sebagainya. Sebenarnya peristiwa ini biasa-biasa saja terjadi. Hal tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut.
Saat ini matahari seolah-olah bergerak ke lintang selatan atau kurang lebih pada lintang 8 derajat. Ini berarti bahwa pada bumi bagian selatan banyak mendapatkan radiasi matahari dibanding dengan belahan bumi utara apalagi kutub utara. Gerak matahari ini secara sederhana bisa dihitung (tentu ada koreksinya) dengan perjalanan 23,5 derajat dalam waktu kurang lebih tiga bulan. Ini berarti bahwa setiap harinya matahari bergerak dengan kecepatan 23,5 derajat/90 hari. Pada saat ini banyak belahan bumi selatan khususnya di atas wilayah Indonesia yang tidak tertutup awan,  artinya tidak banyak uap air berada di kawasan tersebut. Wajar saja ketika tidak ada uap air di atas wilayah tersebut maka pembentukan perawanan tidak terjadi dan berakibat pada tidak adanya hujan serta tidak ada halangan sinar matahari menyinari permukaan bumi. Radiasi langsung dari matahari dan gelombang panjang yang dipantulkan bumi menyebabkan udara menjadi lebih panas. Perawanan yang terjadi di wilayah lain bisa memayungi permukaan di bawahnya sehingga udaranya lebih sejuk. Namun perawanan jenis stratus yang memayungi suatu wilayah yang banyak industri dan pencemaran udara akan menyebabkan udara menjadi terjebak di dalamnya apalagi bila tidak ada angin bertiup dan bentuk wilayahnya berupa cekungan. Udara yang terjebak akan makin meningkat temperaturnya sehingga memanaskan udara di atas wilayah tersebut. Kondisi semacam ini tidak mengenakkan bagi kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu adalah langkah yang baik bila lebih banyak menanam pohon-pohon agar udara menjadi tidak terlalu panas karena hadirnya banyak oksigen di udara. Oksigen  yang dihasilkan dari proses fotosintesis menjamin udara tetap segar untuk dihirup dan dapat mengurangi pemanasan skala mikro sampai global. Marilah berlomba-lomba dalam memperbaiki lingkungan agar cuaca, musim dan iklim makin mengenakkan untuk hidup kita. 

Wednesday, October 23, 2019

Kanal karhutla

Kanal air yang digunakan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan atau saya singkat saja sebagai kanal karhutla sudah diwacanakan sejak beberapa waktu ini karena dianggap bahwa hujan buatan tidak mampu atau tidak efektif dalam menanggulangi karhutla. Menurut hemat saya, anggapan tersebut tidaklah tepat. Dengan miliaran liter air yang mengguyur permukaan bumi dengan sekali hujan buatan, maka dapat dipastikan bahwa akan lebih cepat karhutla teratasi. Memang bahwa tidak sekali hujan buatan akan segera memadamkan karhutla, namun bila berkali-kali terjadi hujan yang dipicu oleh penyemaian awan-awan potensial dengan menggunakan garam dapur maka bisa dipastikan api dan titik api akan cepat padam. Kekhawatiran bahwa saat ini belum ada cara yang ampuh untuk memadamkan titik api di dalam tanah gambut memang bukanlah hal yang berlebihan, wajar-wajar saja. Tetapi kanal yang akan diupayakan untuk memadamkan titik bara api di dalam permukaan tanah gambut bisa memicu permasalahan baru. Kita tahu bahwa bila dibuat kanal air maka air yang tersimpan di lahan gambut akan mengalir masuk ke dalam kanal tersebut. Akibatnya tanah gambut menjadi kering dan memudahkan timbulnya titik api baru dengan sedikit pemicu dari luar. Pecahan kaca yang tersinari matahari sehingga membentuk titik fokus karena berfungsi seperti lensa lup bisa berakibat pada pembentukan titik api. Puntung rokok yang dibuang sembarangan dan mengenai lahan gambut bisa menjadi sumber titik api baru. 
Kedalaman permukaan kanal air pasti akan lebih dalam dibandingkan dengan kedalaman permukaan tanah gambut. Air yang tersimpan dalam gambut akan meresap dan mengalir ke dalam kanal tersebut, seperti telah disebut di atas. Jadi cara yang sepertinya akan mengatasi masalah justru menimbulkan masalah baru karena makin mudahnya tanah gambut akan terbakar. Memang untuk kedalaman tanah gambut yang dalam dan terdapat batubara di dalamnya berpotensi untuk bisa dipadamkan namun lagi-lagi karena permukaannya dalam maka air kanal yang membasahi lahan gambut adalah yang bagian dalam sedangkan bagian permukaannya relatif kering. Mungkin cara yang paling efektif adalah mengkombinasikan antara hujan buatan dengan kanal air. Bagian dekat permukaan akan terbasahi oleh air hujan sedangkan bagian yang lebih dalam akan terbasahi oleh air kanal. Namun perlu diingat bahwa pada saat musim kemarau, pembuatan kanal air ini malah akan memperparah kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Semoga bisa menjadi alternatif pemikiran dalam memecahkan kebakaran hutan dan atau lahan di banyak tempat di Indonesia saat ini.

Monday, October 21, 2019

Banjir dan penanggulannya melalui pendekatan sistemik

Barangkali anda akan tertawa atau menertawakan mengapa saat ini bicara tentang banjir. Bukankah banyak daerah mengalami kebakaran hutan dan atau lahan? Bukankah waktu menunjukkan bahwa masih musim kemarau? Sejumlah pertanyaan yang menurut penulis wajar-wajar saja. Apa yang penulis sampaikan ini adalah untuk mengingatkan akan potensi datangnya banjir saat musim hujan mendatang sekaligus berkaca diri apakah pembangunan berbasis cuaca, musim dan iklim sudah mulai kita jalankan. Meskipun saat ini masih menginjak musim transisi di banyak wilayah di Indonesia khususnya yang mempunyai curah hujan tipe monsoonal namun di berbagai wilayah khususnya yang berada di Utara ekuator atau khatulistiwa sebagian sudah memasuki musim hujan. Ini bisa kita lihat dari citra satelit Himawari 8 dan pola streamline (garis arus) yang sudah sebagian mengarah timur laut meskipun beberapa waktu terakhir polanya berubah-ubah. Pembentukan pusat-pusat siklon atau gerak berputar dari pola angin yang berada di utara ekuator (ditandai dengan huruf C) menghambat untuk pembentukan hujan di banyak wilayah di tanah air. Pola streamline tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Masih banyaknya atau dominannya angin tenggara sampai timur di belahan bumi selatan mengindikasikan musim kemarau sampai dengan musim transisi menuju musim hujan. Kondisi mendatang dimana diprakirakan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) banyak wilayah memasuki musim hujan pada awal bulan November 2019 bisa berpotensi menyebabkan banjir. Kondisi banjir mengakibatkan air meluap keluar dari sungai dan menggenangi areal persawahan, permukiman dan badan-badan jalan sehingga mengganggu ekonomi masyarakat, aktivitas sosial budaya, mobilitas transportasi, kerugian harta benda  dan sebagainya bahkan terkadang menelan korban jiwa.
Banjir terjadi oleh karena tiga faktor yakni intensitas hujan yang tinggi melebihi kapasitas infiltrasi, limpasan permukaan daerah aliran sungai sudah tinggi dan atau kapasitas sungai sudah menurun akibat sedimentasi di badan sungai atau menyempitnya sungai akibat sampah dsb. Tingginya intensitas hujan sebagai penyebab utama banjir umumnya relevan dengan banjir yang terjadi bukan pada awal musim hujan tapi pada pertengahan sampai akhir musim hujan karena pada saat tersebut tanah sudah mulai jenuh akibat hujan yang terjadi sebelumnya. Air tidak dapat lagi meresap ke dalam tanah tapi menggenang dan berjalan ke tempat yang lebih rendah. Faktor ini tidak dapat dicegah oleh manusia karena prosesnya sangat alami. Tingginya limpasan daerah aliran sungai (DAS) sebagai penyebab utama banjir akan relevan pada DAS yang penggunaan lahannya didominasi oleh pertanian yang pengelolaannya tidak mematuhi kaidah konservasi tanah, perubahan penggunaan lahan seperti misalnya yang tadinya hutan diubah peruntukannya menjadi non hutan, pemukiman, penggembalaan dan atau industri. Sedangkan faktor ketiga sebagai penyebab utama banjir relevan untuk DAS yang tingkat erosinya tinggi, banyak tanah longsor karena banyak penambangan liar dan penggundulan hutan, dan atau banyaknya sampah atau limbah padat yang dibuang ke sungai. Umumnya banjir terjadi karena kombinasi dari dua atau tiga faktor di atas.
Lahan kritisUntuk mengelola risiko bencana banjir, kita tidak dapat mencegah terjadinya hujan lebat. Kita dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bencana dengan mencegah atau memperbaiki lahan kritis. Meskipun sudah ada program reboisasi sejak tahun 1960an, luas lahan kritis bukannya berkurang melainkan semakin bertambah misal dengan adanya kebakaran hutan dan atau lahan. Belum diperoleh data terbaru namun coba lihat data Kalimantan Utara berikut ini.
Dari data tersebut memang belum diperoleh timeline dari wilayah yang sama namun setidaknya tabel tersebut menunjukkan betapa besarnya jumlah lahan kritis dan sangat kritis di propinsi tersebut.

Secara umum di Indonesia, lahan-lahan kritis dan sangat kritis kemungkinan bisa disebabkan oleh tiga faktor. Pertama karena ada oknum pejabat yang pura-pura tidak mengetahui ada penebangan liar yang terjadi di wilayahnya dimana barangkali dia juga diuntungkan oleh penebangan liar tersebut. Lahan penebangan tersebut diubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan yang hasilnya bisa jadi ditadah atau disalurkan oleh pihak-pihak tertentu. Oknum-oknum inilah yang membiayai penebangan ini. Faktor kedua adalah kegagalan reboisasi yang telah dilakukannya sejak tahun 1960an. Kegagalan reboisasi pada tahun pertama bisa mencapai 50%. Karena pemeliharaan yang minim maka lima tahun pertama hanya tinggal beberapa persen saja yang tumbuh dengan baik, sisanya mati atau kerdil. Kemudian dilakukan penghijauan lagi yang waktunya sering tidak tepat. Anggaran turun akhir musim penghujan sehingga bibit yang kecil ditanam pada musim kemarau yang akhirnya mati juga. Faktor ketiga adalah kemiskinan yang diperparah oleh kebijakan pembangunan yang tidak pro masyarakat miskin. Pembangunan jalan tol, industri, dan pemukiman-pemukiman mewah yang memarjinalkan masyarakat miskin. Pemilik lahan mendapat ganti rugi namun biasanya jauh dari harga pasar. Buruh tani, pedagang pengangkut hasil pertanian yang kehilangan mata pencahariannya tidak mendapat ganti rugi. Mereka tergusur dan hanya memiliki dua pilihan, satu naik ke perbukitan dan membabat hutan yang ditanami tanaman hortikultura atau yang lain agar tidak mati kelaparan dan yang kedua adalah bermigrasi ke kota dan menambah jumlah kelompok marjinal.  Tapi itu dulu, saat jaman antah berantah. Sekarang kondisinya lebih membaik dan semoga tidak seperti yang digambarkan di atas. Penebangan liar dan pembakaran hutan dan lahan meskipun pernah mempunyai tren peningkatan, saat ini terjadi tren penurunan. Reboisasi yang dilakukan sudah mengalami peningkatan tetapi kebakaran hutan dan lahan memang menyebabkan usaha tersebut seperti sia-sia. Tidak ada salahnya untuk dilakukan lagi secara terus menerus agar supaya wilayah Indonesia makin hijau. Faktor kemiskinan juga menurun menjadi tinggal sekitar 9%.
Upaya mitigasi dan penanggulanganMemperkecil konsekuensi bencana dapat dilakukan dengan menggunakan sifat curah hujan dan peta topografi. Berdasarkan data tersebut dapat direncanakan tata ruang pembangunan untuk menghindari penduduk terdorong ke perbukitan/pegunungan dan membangun permukiman di sana, pemetaan kerentanan dan risiko bencana. Dalam analisis mengenai dampak lingkungan harus secara eksplisit dicantumkan rekomendasi cara menangani rakyat miskin bukan pemilik lahan. Permukiman yang terlanjur ada yang mempunyai risiko bencana harus ditata ulang kembali atau direlokasi. Walaupun biayanya mahal namun hal ini sepadan dengan kalau tindakan kuratif yang dilaksanakan.
Cara lain adalah kita harus melakukan deteksi dini luas lahan kita kemudian diterapkan penjagaan terhadap kawasan-kawasan yang rawan bencana, tidak hanya tutupannya tetapi juga kondisi tanamannya yang memenuhi syarat ekosistem. Percepatan reboisasi lahan-lahan gundul semestinya dilakukan berpacu dengan waktu. Kerjasama antara KLHK dan instansi lain perlu juga digalakkan untuk memberikan penyuluhan konservasi tanah, memperkuat penanaman tanaman keras akar dalam di lokasi perkebunan, penguatan program kampung iklim (proklim) serta berbagai upaya mikro lainnya mengingat adanya kaskade skala kegiatan dsb. KLHK harus mendorong pembangunan hutan rakyat terutama di daerah miring dan hulu serta mendorong dihindarkannya permukiman di daerah endapan alluvial yang mudah longsor. Selain hal di atas kita juga harus mengembalikan fungsi hutan yang sesungguhnya yang sebenarnya multifungsi. Kadangkala kita terjebak hanya pada satu fungsi saja, misalnya hutan produksi hanya untuk tujuan produksi saja padahal hutan produksi juga mempunyai fungsi lindung atau sosial pada sebagian areanya. Perlu dilakukan tata guna hutan mikro yakni tata guna hutan berdasarkan identifikasi karakteristik biofisiknya serta aspek sosial, ekonomi dan budaya sehingga mungkin bisa terjadi dalam hutan produksi ada area yang dikelola sebagai kawasan lindung atau sebaliknya. Pada kawasan hutan konservasi juga demikian. Mungkin pada zona tertentu yang memungkinkan dikelola untuk tujuan produksi atau peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak hanya untuk tujuan pelestarian keanekaragamanan hayati.
Perbaikan sempadan sungai, normalisasi sungai dengan mengatur agar sedimentasi tidak menyebabkan pendangkalan sungai (pengerukan sungai) dan perbaikan drainase merupakan langkah lain yang bisa ditempuh untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan hujan deras.
Selain hal yang telah dikemukakan di atas, momen musim kemarau merupakan momen yang tepat untuk pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan tol, saluran irigasi, saluran drainase, gedung dan bangunan, jalur kereta cepat, instalasi listrik dan air minum serta yang lainnya. Jadi merupakan hal yang sangat penting untuk melihat cuaca, musim dan iklim dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Ini selain akan menghemat anggaran, juga akan menyebabkan percepatan dalam pembangunan infrastruktur. Percepatan-percepatan tanpa mengurangi kualitas bangunan dan ramping organisasi tapi padat fungsi sangat diperlukan dalam pembangunan. Pendekatan sistemik harus dilakukan sejak dini sehingga trilyunan rupiah bisa dihemat dari proses semacam ini.
Ketika semua itu sudah dilakukan maka semoga banjir yang akan datang tidak sehebat tahun-tahun sebelumnya. Banjir bukan lagi merupakan hal yang biasa namun menjadi hal yang sangat luar biasa karena sangat jarang terjadi. In sya alla. Aamiin. 

Friday, October 11, 2019

Pengamanan pejabat negara …

Peristiwa yang mengejutkan terjadi kemarin. Seorang pejabat negara sekelas Menko Polhukam di Menes Pandeglang Banten ditusuk oleh seseorang dimana ini merupakan peristiwa sangat langka di tanah air meskipun di beberapa bagian dunia yang lain pernah beberapa kali terjadi. Sekelas Presiden bahkan Perdana Menteri pernah terluka ataupun terbunuh karena berbagai sebab, mungkin akibat kebijakan-kebijakan yang diambilnya yang merugikan pihak peluka atau pembunuh atau kelompoknya atau masyarakat luas. Di  AS ada Presiden Ronald Reagan dan John F. Kennedy, PM Benazir Bhutto di Pakistan, PM Rajiv Ghandi di India, Anwar Sadat di Mesir, Moammar Khadaffi di Libya, dll. Orang-orang di pucuk pimpinan suatu negeri pasti banyak diterpa angin kencang baik karena motif ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. Peluang sekecil apapun kadangkala dimanfaatkan oleh lawan politiknya atau orang-orang yang berseberangan dengan kebijakannya atau orang-orang yang sakit hati dan dendam untuk melampiaskan kekesalan dan kemarahannya yang kadangkala dilakukan dengan cara-cara destruktif. Seperti tidak ada toleransi terhadap kekeliruan sekecil apapun oleh pejabat publik karena pejabat publik dianggap sebagai orang yang sempurna (tidak boleh salah sekecil apapun ucapan dan tindakannya). Pokoknya sudah harus seperti manusia dewa; suatu tindakan yang keliru karena tidak pernah ada manusia yang sempurna meskipun diciptakan sempurna oleh Allah SWT. Dianggap seperti mesin yang sudah diprogram sempurna sehingga tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun padahal sebagai manusia kadangkala ada rasanya lelah dan capai karena banyak kepentingan publik yang diurusnya. Mesin saja butuh istirahat apalagi manusia. Kejenuhan karena hal yang sama terus menerus cenderung bisa menyebabkan seseorang salah ucap, salah bertindak dll yang akhirnya kadangkala merasa serba salah dalam meresponnya. Hal ini berbeda dengan peraturan atau pernyataan tertulis yang memang dituntut untuk sempurna bahkan karena typo sekalipun. Meskipun semua itu merupakan tuntutan yang wajar-wajar saja. Salah satu ukuran suatu peraturan atau kebijakan baik adalah jika tidak sampai timbul gejolak yang tidak terkendali. cmiiw
Di era sekarang ini, teknologi informasi begitu mendukung terjadinya percepatan baik dalam hal positif maupun negatif. Suatu peristiwa di suatu tempat bisa tersampaikan dengan hitungan detik ke berbagai belahan dunia lainnya yang mengundang respon yang beragam. Ibarat gelombang yang berkejaran. Ditambah lagi berita yang sudah berlalu kadangkala diungkap lagi karena orang-orang yang terlambat dalam menanggapinya. Misalnya berita yang telah berlalu yang kasusnya sudah selesai diungkap lagi ke permukaan atau banyaknya berita hoaks yang sengaja disebarkan untuk mengelabui orang yang belum cepat move on. Orang yang belum cepat move on seringkali akan merespon dengan tindakan yang destruktif dan anarkis sehingga merugikan publik yang kemudian ikut-ikutan panas. Ditambah lagi bila kemudian ada pihak yang mengompori misalnya politikus atau media massa yang menulis tanpa cek dan ricek serta cross check atau yang kemudian dikenal dengan istilah jurnalisme predator maka jadilah seperti api yang disiram bensin. Terkadang kita akan kehabisan energi untuk mengatasi hal-hal semacam ini sehingga pembangunan menjadi tertunda atau bahkan fasilitas umum dan pribadi yang ada juga turut rusak. Siapa yang dirugikan? Kita semua!!! Negara lain sudah melangkah lebih cepat, kita masih jalan di tempat karena mengurus yang begitu-begitu dan itu-itu saja yang tidak pernah bisa selesai karena kita memang bangsa yang sangat majemuk, jauh lebih majemuk daripada bangsa-bangsa lain di dunia ini. Tidak bisakah kita berlapang dada menerima fakta yang sesungguhnya dan memberi kesempatan yang sedang memegang amanah rakyat untuk menjadi pejabat negara?? Saya yakin kita semua bisa. Kalau tidak bisa ya usahakan sebisa-bisanya berpijak pada kenyataan.
Sudah saatnya bagi kita semua untuk berperan serta aktif dalam pembangunan dengan segala kemampuan dan fasilitas yang ada. Mengoptimalkan semua potensi sambil tetap memikirkan langkah-langkah strategisnya dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Kedekatan antara pejabat negara/pemerintah dan rakyat (pejabat yang merakyat) ini jangan sampai berubah karena noda peristiwa di Pandeglang tersebut. Sistem prosedur operasi standard (SOP) meski tetap ditegakkan dengan tegas dan disiplinserta terukur tapi tidak sampai menyebabkan jurang pemisah antara pemimpin dan rakyatnya. Peristiwa yang terjadi merupakan kehendak Illahi Robbi, jadi setelah semua hal kita coba benahi dan usahakan sebaik-baiknya namun pada akhirnya hanya Allah SWT yang maha menentukan segalanya.