Friday, July 17, 2020

Banjir di Sulawesi, Kalimantan dan Papua

Meski sebenarnya sudah bisa diduga bahwa di banyak tempat di Indonesia masih ada yang mempunyai curah hujan cukup untuk menghasilkan banjir mengingat ada tiga pola curah hujan di tanah air, namun peristiwa banjir di Masamba Sulawesi ini memang tidak diduga sebelumnya. Curah hujan yang sedang hingga tinggi sebelum kejadian menyebabkan banjir bandang terjadi. Puluhan korban jiwa sampai hari ini dilaporkan, dan banyak kawasan mengalami kerusakan karena air bah yang membawa lumpur. Secara meteorologis bisa dijelaskan bahwa daerah tersebut mengalami pola curah hujan lokal karena juga ada perbukitan di sekitarnya. Pola curah hujan ini berkebalikan dengan pola monsoonal dimana justru pada bulan Juni Juli Agustus curah hujannya tinggi. Pembentukan perawanan cumulonimbus pada saat kejadian hujan sedang dan deras sebelumnya mempunyai pengaruh kuat pada pembentukan banjir bandang.
Warga melakukan pencarian klorban tertimbun lumpur akibat banjir bandang di Desa Radda, Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Selasa (14/07/2020)
sumber: Kompas, 14/7/2020
Di Sintang Kalimantan dan Sorong Papua juga terjadi banjir. Banjir yang mengakibatkan berbagai kerugian disebabkan oleh pola curah hujan ekuatorial dan lokal yang terjadi di tempat tersebut selain karena pengaruh wilayah yang sudah rusak ekologinya dan juga tanahnya sudah mengalami kejenuhan ketika banjir terjadi. Tanah yang jenuh ini diakibatkan oleh air hujan yang cukup untuk menjenuhkan tanah. Kemudian air tidak lagi dapat meresap ke dalam tanah dan akhirnya run off terjadi yang makin lama makin besar. Bila run off ini tidak tertampung di sungai atau badan-badan air maka bisa meluber dan menyebabkan banjir atau memperparah genangan. Oleh karena itu bila kita bicara masalah banjir maka kita bicara juga masalah lingkungan, selain faktor kebiasaan manusia, infrastruktur dan juga faktor meteorologi. Baca misalnya di sini dan di sini.

Wednesday, July 8, 2020

Kebakaran hutan dan lahan 2020

Kebakaran hutan merupakan salah satu bencana yang sering terjadi yang disebabkan oleh beberapa faktor baik alamiah maupun oleh sebab manusia. Kerentanan kebakaran hutan sebagian besar berkaitan dengan iklim (musim) dan karakter vegetasi. Kecenderungan kebakaran hutan juga ada yang menganggap bergantung pada faktor jenis vegetasi, kelembapan area, dan jaraknya terhadap pemukiman dan jalan. Dampak kebakaran tersebut dapat menyentuh sektor-sektor poleksosbudhankam. Dalam bidang politik bisa menyebabkan ketegangan antara masyarakat terdampak dengan pemerintah daerah dan pusat, bahkan dengan luar negeri. Dalam bidang ekonomi, jelas terlihat bahwa dengan adanya kabut asap maka aktivitas ekonomi menjadi terhambat. Dalam bidang sosial, mengingat bahwa kegiatan kemasyarakatan menjadi terhambat maka aktivitas-aktivitas lain menjadi terkendala. Kesehatan penduduk menurun akibat terlalu sering menghisap kabut asap, misal dengan meningkatnya pasien penyakit gangguan saluran pernapasan atas. Terganggunya emosi penduduk karena udara yang tidak nyaman dan sebagainya. Budaya masyarakat dalam banyak bentuk aktivitasnya terganggu dan pertahanan serta keamanan menjadi terdampak pula. Misalnya dengan adanya uluran tangan pemerintah asing, bukan tidak mungkin disisipi oleh misi-misi tertentu yang bisa membahayakan pertahanan dan keamanan negara. Oleh karena itu, selama kita merasa mampu untuk mengantisipasinya, tidak perlu melibatkan pemerintah asing dalam menangani masalah tersebut.
Karhutla Jambi
Sumber: Liputan 6, 5/7/2020
Titik panas atau hotspot adalah istilah untuk titik atau area tertentu yang memiliki nilai temperatur yang lebih tinggi dibandingkan dengan ambang batas. Nilai ambang batas untuk siang hari 315 K dan malam hari 310 K. Kelompok titik panas yang terus menerus di suatu tempat bisa menjadi indikator yang sangat baik untuk menentukan kebakaran sehingga sering juga dikenal dengan istilah titik api. Data titik panas akan memberikan informasi yang lebih baik bila dikombinasikan dengan informasi lain seperti penggunaan lahan, tutupan vegetasi, habitat binatang dan peta tematik lainnya.
Saat ini belum ada kabar adanya kebakaran hutan dan lahan yang hebat yang terjadi di wilayah-wilayah yang sering diberitakan selama ini. Ini mengindikasikan bahwa tampaknya usaha modifikasi cuaca yang beberapa waktu lalu dilaksanakan cukup berhasil. Tentu ini semua atas kerja keras yang dilakukan berbagai pihak dalam mengantisipasi karhutla. Kerjasama teknis yang melibatkan instansi yang bergerak di berbagai bidang baik saintifik, layanan masyarakat, hankam, dan masyarakat telah cukup berhasil sampai sejauh ini. Prediksi BMKG yang menunjukkan bahwa banyak wilayah mempunyai potensi kemarau yang bisa berdampak pada kejadian kebakaran hendaknya menjadi peringatan bagi semua pihak untuk menempuh hal-hal yang dianggap penting dan perlu.  

Musim kemarau saat ini

Sejak beberapa waktu ini umumnya Indonesia mengalami musim kemarau, suatu keadaan dimana hujan jarang terjadi dan kalaupun terjadi maka dalam 3 dasarian berturut-turut curah hujannya kurang dari 150 mm. Di wilayah-wilayah tertentu yang topografinya mempunyai pengaruh kuat maka dampak lokal tersebut bisa berwujud pada terbentuknya curah hujan lokal khususnya di bagian depan gunung (wind ward) sedangkan di wilayah belakang gunung (lee ward) tidak terbentuk hujan dan massa udaranya kering. Biasanya di saat musim kemarau seperti saat ini, sisi  Sumatra bagian barat lebih lembab dan berhujan dibanding bagian timurnya mengingat massa udara yang berasal dari Australia mempunyai arah angin barat daya sehingga pengaruh hujan orografis bisa terbentuk di sisi sebelah barat dari Pegunungan Bukit Barisan. Kalau melihat ramalan cuaca yang berlaku hari ini maka tampak bahwa angin tenggara begitu dominan sehingga sulit terbentuk hujan lokal di sisi barat Sumatra. Melihat pola-pola tekanan rendah yang terdapat di barat dan utara Kalimantan memungkinkan adanya cuaca buruk di wilayah-wilayah sekitarnya meskipun kalau dilihat pada jam 9 WIB
prakiraan tersebut kurang terdukung oleh fakta sebenarnya karena gradien tekanannya tidak begitu besar. Pembentukan perawanan pada hari ini justru terjadi di sebelah barat pulau Sumatera dan Jawa yang demikian masif dan berpeluang besar untuk terjadinya hujan di atas lautan. Bergesernya matahari meninggalkan titik balik di lintang utara namun masih berada di lintang utara menyebabkan perawanan juga tetap masih banyak yang berada di belahan bumi utara. Awan-awan rendah banyak terdapat di sebagian besar wilayah Indonesia meskipun ada sebagian Jawa sampai Nusa Tenggara yang bersih dari awan.
Peluang terjadinya curah hujan seperti yang ditunjukkan gambar di bawah ini juga memperlihatkan bahwa 
curah hujan kemungkinan besar terjadi di barat Lampung dan selat Karimata, sebagian perairan antara Sulawesi dan Maluku serta Utara Papua dengan peluang sebesar lebih dari 80%. Masih adanya awan yang berpotensi untuk diturunkan menjadi hujan memungkinkan proyek hujan buatan atau modifikasi cuaca masih berpeluang untuk diadakan meskipun harus diingat bahwa bila awan-awan potensial lebih banyak di atas daratan dan anginnya memungkinkan, maka peluang keberhasilannya akan jauh lebih besar. Semoga kesiapsiagaan instansi seperti TNI, Polri, KLHK, Depdagri, BMKG, dan BPPT dll tidak sia-sia. Syukur-syukur bahwa tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan serta kemarau terjadi "biasa-biasa saja" sehingga terjadi penghematan biaya yang cukup besar dan bisa dialokasikan untuk kegiatan lain.