Akhir-akhir ini sering terjadi banjir di banyak kota di Indonesia. Mulai dari yang menggenangi jalan-jalan dengan ketinggian beberapa centimeter sampai menggenangi pemukiman dengan kedalaman dua meter lebih. Sebagai contoh di wilayah Bandung Selatan, Jawa Barat. Setiap tahun sudah dapat dipastikan bahwa kawasan tersebut selalu dilanda banjir. Pemerintah daerahpun sepertinya sudah bosan menangani masalah ini, terbukti sampai sekarang tidak ada upaya yang sangat serius untuk menanggulanginya. Masyarakat sendiri sudah apatis dan memandang banjir sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Herannya mereka tetap tinggal di tempat tersebut meskipun selalu dilanda banjir. Tak ada upaya pindah lokasi atau bahkan transmigrasi bila memungkinkan. Walaupun memang ada masyarakat juga yang kreatif seperti misalnya memanfaatkan kelebihan air untuk beternak lele dan ikan.
Bila kita tinjau bagaimana suatu banjir bisa terjadi maka kita akan berkesimpulan bahwa banyak banjir diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak menjaga keharmonisan dengan alam. Mereka tidak memperdulikan kerusakan lingkungan yang terjadi; mereka hanya menyalahkan pihak-pihak penyebab banjir skala besar. Tak ada upaya untuk memperbaiki lingkungan sendiri dengan memanfaatkan semangat gotong royong.Banjir di Jakarta, misalnya. Selain memang diakibatkan kiriman air dari Bogor, juga karena lingkungan Jakarta sudah rusak dan tidak mampu menampung jutaan meter kubik air hujan yang jatuh. Setiap wilayah Jakarta sudah penuh oleh gedung dan lantai beton atau aspal. Ruang terbuka hijau makin sempit, saluran-saluran air dan sungai tidak dapat berfungsi normal akibat pendangkalan dan sampah yang menumpuk yang menyumbat. Tidak ada wilayah peresapan air yang memadai yang mampu menampung air dalam jumlah besar. Permukaan lautpun makin lama makin naik akibat pemanasan global. Air sungai tidak mampu menggelontor ke laut karena kemiringan permukaan dasar sungai yang makin sejajar dengan permukaan laut. Pengambilan air dalam skala besar-besaran sudah lama terjadi dan mengakibatkan intrusi air laut ke darat. Beberapa waktu yang lalu diberitakan bahwa intrusi air laut sudah berkilo-kilometer ke arah daratan Jakarta. Ini sesuatu yang mengerikan. Jadi adalah wajar ada wacana bahwa ibukota negara Indonesia dipindahkan dari Jakarta, selain karena masalah kemacetan lalu lintas seperti dirilis dalam posting sebelumnya.
Tidak ada rumusan yang jitu untuk mengatasi banjir ini. Pembenahan aspek lingkungan memang merupakan salah satu solusi, tetapi seringkali hanya menyangkut ruang lingkup mikro. Yang diinginkan adalah pembenahan ruang lingkup makro dengan penataan kota yang lebih terintegrasi dengan daerah-daerah lainnya. Tidak boleh ada ego sektoral dalam menangani kasus seperti masalah banjir ini. Kebijakan di tingkat nasional haruslah didorong dan diterapkan dengan law enforcement yang konsisten. Dalam era perubahan iklim global dimana di Indonesia diproyeksikan banyak terjadi hujan lebat dengan intensitas tinggi di banyak wilayah setidaknya harus membenahi lingkungannya dari ruang lingkup mikro sampai makro. Kita tidak dapat mengharapkan terlalu banyak jika persoalan lingkungan hanya dibicarakan dalam taraf makro atau mikro saja. Tentu saja kita tidak bisa berharap alam akan bersahabat dengan kita dan mengharapkan hujan terjadi sesuai dengan yang kita butuhkan saja. Semua kementrian harus bahu membahu dalam mengelola masalah lingkungan ini, tidak hanya kementrian kehutanan, pekerjaan umum, pertanian, atau pertambangan dan energi saja. Oleh karena itu diperlukan leadership yang kuat untuk membawa Indonesia sesuai dengan cita-cita kita bersama. Tak lupa, keterlibatan masyarakat dalam seluruh upaya pembangunan harus pula mendapatkan perhatian serius.