Sunday, September 4, 2016

Cuaca di Indonesia makin sulit diramal??

Pernah dengar pertanyaan demikian? Pasti pernah khan? Ya ...memang pada kenyataannya demikian. Meskipun teknik dan metode prakiraan cuaca makin canggih yang didukung dengan peralatan baik observasi maupun modelling yang makin canggih pula, namun pada faktanya tetap saja masih sulit mendapatkan hasil prakiraan yang 99% tepat. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya fenomena alam yang belum bisa dinyatakan dengan persamaan pengatur, akumulasi ketidakpastian penggambaran kondisi awal dan syarat batas, dan keterbatasan pemahaman perilaku alam oleh manusia. Superkomputer masih sebatas pada mempercepat proses peramalan dan membantu meningkatkan ketelitian/keakurasian ramalan. Tetapi hal ini tidaklah cukup karena superkomputer juga membutuhkan sumber daya manusia yang canggih pula. Tanpa sumber daya manusia yang terlatih dengan baik maka mustahil diperoleh hasil ramalan yang tepat.

Wednesday, June 22, 2016

Jawaban, mengapa saat ini Indonesia masih mengalami ....

Pertanyaan yang saya ajukan beberapa waktu yang lalu terasa memang cukup sulit untuk dijelaskan, mengingat berbagai anomali yang terjadi saat ini di perairan sekitar Indonesia dari samudra Pasifik sampai dengan samudra Hindia, dari pola angin yang sedang berlangsung, dengan letak semu matahari yang hampir mendekati lintang maksimumnya di belahan bumi utara, dan dengan distribusi perawanan saat ini. Perairan yang ada di Indonesia dan sekitarnya menunjukkan trend penurunan temperatur. Samudra Pasifik  menunjukkan bahwa El Nino sudah berakhir bulan Mei 2016 kemarin dan sekarang menunjukkan pola di sekitar netral. Ini artinya pola umum monsoon yang biasa terjadi di atas wilayah Indonesia akan kembali seperti biasanya. Untuk pertamakalinya di 2016, pola angin streamline dan tekanan konsisten dengan kondisi netral. Prediksi dari NOAA, La Nina akan berlangsung pada musim gugur dan dingin di BBU  tahun 2016/2017 dengan peluang 75%. Saat ini nilai temperatur rata-rata berada dekat atau di bawah rata-rata di 3 dari 4 tempat wilayah monitoring ENSO. 
Samudra Hindia juga menunjukkan pola adanya IOD yang negatif yang ditunjukkan oleh menurunnya suhu permukaan laut di sebelah Barat Sumatra. Seharusnya akibatnya adalah terdapat sedikit perawanan di wilayah tersebut. Namun kenyataannya hari ini (22/6/2016) banyak perawanan di sebagian besar Sumatra dan Barat Barat Daya Kalimantan.
Dari citra satelit Himawari 8 yang diunduh hari ini jam 10 WIB, perawanan yang berpeluang besar menyebabkan hujan banyak terbentuk di ekuator dan sekitarnya khususnya untuk wilayah Asia Tenggara. Awan terbentuk di sebagian besar Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, seluruh Maluku, sebagian NTB, dan wilayah Papua terutama Kepala Burung.
 http://weather.is.kochi-u.ac.jp/SE/00Latest.jpg
Streamline pada jam 07.00 WIB tadi pada ketinggian 3000 feet versi BMKG adalah bahwa umumnya angin berasal dari arah Timur sampai Tenggara dengan kecepatan 10-15 knot, sedangkan di sebagian kecil dari arah Barat Daya khususnya di Sumatera dan sebagian besar pulau Kalimantan. Mengingat bahwa saat ini matahari terletak semu di hampir maksimum belahan bumi utara, maka pada kondisi normal angin akan bertiup ke arah Barat Laut di Selatan ekuator dan Barat Daya di Utara ekuator. Faktor lokal mungkin juga cukup berpengaruh pada kondisi di atas.
Rupa-rupanya interaksi yang demikian kompleks inilah yang menyebabkan bahwa masih banyak wilayah Indonesia yang masih mengalami musim hujan.

Friday, June 10, 2016

Mengapa saat ini masih banyak hujan di wilayah Indonesia???

Pertanyaan tersebut muncul dari seorang kolega dosen yang sangat perhatian pada masalah cuaca, musim dan iklim di Indonesia. Beliau mengaku heran mengapa hal itu terjadi padahal biasanya bila sudah menginjak bulan Juni, Indonesia khususnya Bandung sudah memasuki musim kemarau. Menurut kalian mengapa hal ini terjadi?? Kutunggu jawaban kalian ya. Nanti bila benar akan saya posting di web ini. Ditunggu sampai dengan hari Minggu.

Saturday, May 28, 2016

Mengapa Palembang Sumatera Selatan gerah dan panas ...

Baru beberapa hari yang lalu ajang kegiatan OSN (olimpiade sains nasional) diselenggarakan di propinsi Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang. Salah satu yang dipertanyakan dalam kompetisi tersebut adalah tentang kondisi kota Palembang yang pada bulan April dan Mei ini begitu gerah dan panas. Menurut kalian apa sebabnya? Jawabannya sebenarnya sangat mudah. Ada tiga sebab mengapa hal tersebut terjadi. Yang pertama adalah bahwa kota Palembang terdapat di dekat lintang ekuator dimana sepanjang tahun mengalami pemanasan. Gerak semu matahari dari lintang 23,5 derajat lintang utara dan selatan menyebabkan radiasi matahari di wilayah dekat ekuator mendapatkan jumlah yang besar. 


http://beritadaerah.co.id/wp-content/uploads/2015/05/antarafoto-jembatan-ampera-palembang-040515-nw-3.jpg

Yang kedua adalah adanya efek orografi yang terdapat di sebelah barat kota Palembang. Orografi tersebut menyebabkan Palembang dalam waktu-waktu tertentu khususnya selama musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia mengalami efek Fohn. Efek orografi  ini menyebabkan sisi barat Sumatera khususnya Palembang mendapatkan curah hujan lebih banyak daripada sisi sebelah timur-nya. Daerah bayang-bayang hujan terjadi di sebelah timur Bukit Barisan.  Penyebab ketiga adalah penguapan yang tinggi akibat radiasi matahari sepanjang tahun. Tanah gambut yang banyak terdapat di sana memberi kesempatan uap air akan teruapkan. Kita akan seperti mengalami mandi sauna. Hal-hal lain yang turut menyumbang kondisi di atas adalah makin berkurangnya jumlah pohon dan daerah yang banyak pohonnya. Pohon memberikan efek mengurangi radiasi yang sampai ke permukaan bumi dan menyegarkan karena menghasilkan oksigen.

Tuesday, May 10, 2016

Etihad dan turbulensi di ruang udara Indonesia

Beberapa hari yang lalu, Etihad mengalami peristiwa turbulensi di ruang udara Indonesia khususnya di antara Medan dan Palembang yang mengakibatkan sejumlah penumpang pesawat mengalami luka-luka, bahkan 9 orang di antaranya mengalami luka parah. Namun beruntunglah bahwa pesawat Etihad tersebut tidak sampai mengalami kecelakaan. Pesawat terbang tersebut mendarat mulus di bandara Soekarno Hatta Tangerang Banten. Pesawat ini melayani penerbangan Abu Dhabi - Jakarta.
Otoritas AirNav mengatakan bahwa tidak ada laporan dari pesawat adanya masalah tersebut pada saat kejadian. Ini menimbulkan tanda tanya besar bagi saya. Kok bisa ya?
Saya tidak mempermasalahkan hal di atas, namun ingin mengulasnya dari sisi meteorologi sesuai kepakaran saya. Peristiwa turbulensi atau gerak udara acak akibat suatu halangan tertentu atau sebab lain merupakan peristiwa yang biasa terjadi di manapun di dunia ini. Adanya halangan seperti bukit, gunung atau pada skala kecil adanya bangunan, gedung, pepohonan dan lain-lain bisa memicu terjadinya turbulensi. Ada lagi peristiwa di atmosfer yang sulit untuk dideteksi adalah CAT (clear air turbulence). Turbulensi jenis ini tidak kentara/terlihat jelas mengingat udara terlihat cerah. Berbeda halnya dengan peristiwa turbulensi akibat keberadaan awan. Dalam awan-awan bentuk kumulus (cumuliform), turbulensi terjadi akibat perbedaan tekanan udara di dalam awan dan di luar awan. Gerak acak dalam awan akibat updraft dan kumpulan perbedaan tekanan uap di antara tetes-tetes awan, tetes air hujan, dan kristal es bisa memicu timbulnya turbulensi. Barangkali yang terjadi pada pesawat Etihad tersebut adalah adanya kombinasi dari semua yang saya sebutkan di atas. Namun untuk itu harus diteliti lebih lanjut.
Peristiwa semacam tersebut di atas akan semakin sering terjadi mengingat pemanasan global yang saat ini terjadi. Peningkatan suhu udara yang bisa makin memperbanyak awan-awan yang pertumbuhannya vertikal akan makin meningkat di masa mendatang. Oleh sebab itu peningkatan kemampuan  sumber daya manusia baik pilot pesawat, operator (pengatur) penerbangan dan badan pengamat dan penganalisa cuaca harus makin ditumbuhkan mengingat jasa angkutan udara merupakan moda transportasi yang sangat sensitif terhadap cuaca.

Saturday, April 9, 2016

Mengapa awan konvektif di Indonesia bisa mencapai ...

Pertanyaan menarik terkait dengan pembentukan awan di Indonesia adalah mengapa awan konvektifnya bisa mencapai ketinggian stratosfer bawah? Seperti telah kita ketahui bahwa awan konvektif adalah awan-awan yang pertumbuhannya vertikal. Awan ini terbentuk ketika terjadi pemanasan matahari yang kuat yang mencapai permukaan, baik daratan maupun badan-badan air seperti laut, sungai, waduk dll. Pemanasan tersebut menyebabkan terjadinya penguapan dan bila uap air telah mencapai kejenuhan maka terbentuklah awan. Selama pemanasan masih terjadi maka awan konvektif ini akan terus tumbuh ke atas. Wilayah Indonesia yang merupakan wilayah tropis (baca pada postingan sebelumnya) mengalami pemanasan sepanjang tahun sehingga penguapan yang terjadi juga demikian besar. Dengan demikian maka awan-awan yang tumbuh vertikal akan mencapai ketinggian yang tinggi. Hal ini berbeda dengan wilayah tropis Afrika dan Amerika Selatan dimana wilayahnya kebanyakan adalah daratan, sementara Indonesia merupakan wilayah benua maritim yang terjadi dari banyak pulau. Kombinasi antara pemanasan matahari sepanjang tahun dan wilayah kepulauan serta kekuatan up draft yang besar inilah yang menyebabkan pembentukan awan konvektif di Indonesia paling tinggi di dunia, bisa mencapai stratosfer bawah. Mengapa hanya sampai stratosfer bawah? Ini tidak lain karena lapisan ini merupakan lapisan yang sangat stabil. Kekuatan up draft yang besar hanya akan menyebabkan awan berwujud dempak dimana pada lapisan tropopause menjadi semacam "leher" dari awan-awan konvektif kumulonimbus (Cb).

Thursday, March 31, 2016

Bagaimana hujan es bisa terjadi??

Hari ini (Sabtu, 26 Maret 2016) diberitakan di harian online PR bahwa di beberapa tempat di Bandung dan Cimahi terjadi hujan. Tapi hujan yang dimaksud adalah hujan yang disertai batu es (hail). Batu es (beda dengan es batu) ini berukuran 2-3 cm, meskipun tidak terlalu besar namun ketika menimpa genting apalagi kalau atapnya seng maka akan terdengar keras suaranya. Anak-anak bahkan orang dewasa yang tertimpa kepalanya oleh batu es ini juga akan merasakan kesakitan. Ini tidak lain karena batu es ini ditimbulkan oleh awan-awan yang pertumbuhannya vertikal. Hujan batu es ini kadang disertai oleh angin kencang yang menimbulkan banyak pohon tumbang, seperti juga diberitakan baik media ini maupun media sosial yang lain.
Yang menarik adalah bagaimana hujan es bisa terjadi. Dari kacamata meteorologi fenomena ini memang sering terjadi apalagi di wilayah tropis semacam Indonesia. Hujan batu es umumnya terjadi pada saat di langit banyak terbentuk awan-awan yang pertumbuhan vertikalnya tinggi semacam kumulus (Cu) atau kumulonimbus (Cb). Permukaan bumi baik yang berupa daratan maupun air yang terkena terik matahari akan teruapkan airnya menjadi uap air. Uap air ini akan  melayang-layang di atmosfer sebagai awan bila kelembapannya menjadi jenuh. Kelembapan uap air tersebut menjadi jenuh atau 100% ketika uap air mengalami pendinginan atau peningkatan jumlah uap airnya.
Ketika awan cumulus atau kumulonimbus,  yang ketinggian dasarnya umumnya sekitar 1,5 km di atas permukaan tanah,  terjadi maka parsel udara mengalami polarisasi. Ada yang tetap menjadi tetes air dingin dan adapula yang membentuk kristal es. Kristal es terbentuk ketika dalam awan tersebut ada wilayah yang pertumbuhan dalam awannya mencapai kurang dari 0 oC.  Di wilayah lintang menengah dan tinggi (lebih dari 30o lintang utara atau selatan) fenomena pembentukan Kristal es ini sering terjadi mengingat banyak dijumpai awan-awan yang temperaturnya kurang dari 0 oC. Hal ini sedikit berbeda di wilayah tropis dimana ketinggian suhu 0oC  pasti ketinggiannya di atas 500 milibar. Karena tekanan uap di atas permukaan es lebih rendah daripada tekanan uap di atas permukaan air cair maka tetes air dingin tersebut menguap seirring dengan meningkatnya ukuran Kristal es. Seperti diketahui akan ada gerakan massa uap air dari tetes air cair dingin menuju Kristal es bila terjadi perbedaan tekanan. Dengan demikian maka tetes air menjadi berukuran makin kecil sedangkan Kristal es akan meningkat ukurannya.  Proses semacam ini disebut proses Wegener-Bergeron-Feindesen atau yang sering disingkat menjadi proses Bergeron. Kristal batu es ini akibat melampaui gaya angkatnya dan juga karena gaya gravitasi maka akan jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan es (hail). Inilah yang terjadi pada hari Sabtu ini di Bandung dan Cimahi.
Sedangkan angin kencang timbul karena perbedaan tekanan antara wilayah Bandung dan Cimahi dengan wilayah-wilayah sekitarnya. Perbedaan tekanan yang besar akan menyebabkan anginnya makin kencang. Sebaliknya bila perbedaan tekanannya rendah maka akan terjadi angin yang lemah dan tidak kuat. Menilik dari akibat yang ditimbulkannya yakni ranting-ranting yang patah, maka besar kemungkinan skala 8 yang besarnya kira-kira lebih dari 62 km/jam.  Skala ini adalah skala Beaufort yakni skala yang digunakan untuk mengira kira besarnya kecepatan angin berdasarkan fenomena yang terjadi baik di darat maupun di laut. Di darat bisa dilihat dari kepulan asap pabrik, goyangan angin yang mengenai dedaunan pohon, kibaran bendera, bahkan sampai terangkatnya rumah oleh karena angin. Di laut bisa dilihat dari besarnya kilauan air laut ketika tertimpa cahaya matahari, deburan ombak yang tinggi  dll. Semakin besar kecepatan anginnya semakin kuat pula anginnya.
Saat ini memang sedang banyak cuaca buruk. Perawanan banyak terbentuk di banyak tempat di Indonesia sehingga ketika menaiki pesawat, goncangan juga banyak terjadi. Melihat citra satelit Himawari 8 Jepang, hari ini tampak bahwa di atas pulau Jawa terbentuk awan-awan yang massif pertumbuhannya. Sebagian besar awan yang terjadi adalah awan vertikal yang berpeluang menjadi hujan, tidak terkecuali di atas Jawa Barat khususnya Bandung dan sekitarnya. Dengan demikian, bukan tidak mungkin bahwa hujan es masih akan terjadi di kota-kota di Jawa Barat. Apalagi menurut BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) Bandung menyatakan bahwa puncak musim hujan semester ini adalah bulan Maret. Pola streamline yang dikeluarkan oleh BMKG menunjukkan bahwa arus udara (angin) banyak berasal dari arah utara sampai timur laut yang mempertinggi peluang kejadian hujan. Streamline atau garis arus adalah garis yang menghubungkan garis singgung kecepatan angin dalam arah tertentu.  Ramalan cuaca bisa dilakukan menggunakan pola streamline ini yang diperkuat dengan model  cuaca numerik dan citra satelit serta radar. Ukuran batu es yang pernah tercatat adalah sebesar hampir 1 kg di Amerika Serikat. Untuk ukuran batu es yang lebih kecil saja bisa menyebabkan lubang pada kaca mobil, apalagi bila batu es tersebut mengenai manusia …tentu kepala juga akan bisa pecah. Oleh karena itu bilamana terjadi hujan es, segeralah berlindung. 

Tuesday, March 29, 2016

Pedulilah pada masalah perubahan iklim

Tulisan ini merupakan tanggapan dari artikel berjudul “ Pesan Leonardo bagi pemimpin negeri” yang dimuat dalam harian Kompas pada hari ini (Minggu 27 Maret 2016). Tulisan tersebut mengupas tentang berbagai masalah terkait perubahan iklim yang melanda dunia saat ini sampai-sampai mengundang aktor Hollywood Leonardo de Caprio untuk turut berpartisipasi menyuarakannya. Bahkan beberapa waktu yang lalu ia menyampaikan akan menyumbang pemerintah Indonesia untuk tujuan reklamasi dan reboisasi hutan di negeri kita. Bukan kali ini saja para artis Hollywood menyuarakan kepeduliannya pada hutan di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, aktor Harrison Ford bahkan sempat marah-marah kepada Menteri Kehutanan waktu itu (Ir. Zulkifli Hasan) yang dinilainya tidak serius memberantas penjarahan dan pembalakan hutan di Riau dan berbagai propinsi yang lain. Berita tersebut bisa dilihat di youtube.
Memang harus kita sadari bahwa saat ini perubahan iklim sepertinya makin meningkat lajunya seiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya. Menurut para ahli cuaca dan iklim, perubahan iklim saat ini selain disebabkan oleh faktor alam, juga disebabkan faktor antropogenik. Menurut IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) perubahan iklim ini lebih banyak disebabkan faktor manusia. Setiap tahun, pemanasan dan perubahan iklim global dibahas oleh para pemimpin dunia meskipun dari waktu ke waktu tidak banyak perkembangannya. Bisa dimaklumi karena pengereman laju emisi karbon dioksida yang diluncurkan ke atmosfer mempunyai dampak ekonomi. Setidaknya banyak pelaku usaha ekonomi yang harus mengeluarkan dana ekstra untuk mengurangi laju peningkatan gas buang yang mencemari lingkungan. Seperti yang anda ketahui terdapat korelasi yang erat antara peningkatan karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya dengan pemanasan dan perubahan iklim global.  Gas rumah kaca akan menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang dari bumi sehingga suhu atmosfer menjadi meningkat. Inilah yang disebut sebagai pemanasan global, yang ternyata berpengaruh pada terjadinya perubahan iklim global. Meskipun ada sebagian peneliti dan pelaku ekonomi yang apatis terhadap masalah ini, tapi bukti menunjukkan bahwa perubahan iklim telah terjadi dimana-mana yang disertai dengan dampak luasnya.
Berdasarkan catatan pengamatan permukaan, tahun 2015 merupakan tahun terpanas dibanding rata-rata tahun 1880 sampai 1899. Pengamatan permukaan tersebut dilaporkan dari 6300 stasiun cuaca, pengamatan menggunakan kapal, buoy (pelampung untuk tujuan riset), dan stasiun-stasiun riset di Antartika. Peningkatan temperature rata-rata permukaan global sebesar 1oC terjadi sejak akhir abad 19 akibat peningkatan konsentrasi karbon dioksida dan emisi antropogenik ke atmosfer. Kebanyakan pemanasan terjadi sejak 35 tahun terakhir dimana 15 dari 16 tahun-tahun terpanas terjadi sejak tahun 2001. Menurut IPCC, abad yang lalu kenaikan temperature rata-rata global mencapai 0,8oC.
Peristiwa El Nino dan La Nina juga mempengaruhi pada temperature global. Peristiwa El Nino dan La Nina yang terjadi di lautan Pasifik tropis ternyata dapat menyumbang pada variasi jangka pendek temperature rata-rata global. Variasi yang dimaksud adalah perubahan fluktuasi terhadap nilai rata-rata temperature global. Hal ini bisa dilihat bahwa pada saat El Nino terjadi maka banyak Negara yang kelimpungan mengatasi peningkatan kekeringan dan suhu udara permukaan yang dirasakan cukup panas. Bahkan tahun 2015 kemarin, Indonesia mengalami dampak yang luar biasa dari kekeringan yang terjadi yang berakibat pada sulitnya pemadaman kebakaran hutan, yang disumbang oleh lapisan tanah yang terdiri dari gambut. Kebakaran hutan inipun juga menyumbang pada peningkatan gas rumah kaca di atmosfer yang memicu peningkatan laju pemanasan global di bumi. Bayangkan berapa banyak aerosol dan gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer oleh peristiwa tersebut, pasti jutaan meter kubik ekuivalen karbon.
Pesan yang dikemukakan para pemimpin dunia seperti misalnya Ban Ki Moon (sekretaris jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada berbagai kesempatan seharusnya juga bisa menggugah kepedulian kita bersama terhadap ancaman nyata perubahan iklim bagi kelangsungan kehidupan makhluk di bumi. Sayangnya hal ini masih belum mampu diwujudkan dalam kehidupan nyata. Pembangunan sarana dan prasarana yang sering merusak hutan, tidak diimbangi dengan laju penanaman kembali tanaman-tanaman yang berdaun lebar dan banyak. Tidak sedikit kerusakan hutan ini menyebabkan banjir. Jadi sebenarnya kalau dirunut sejak awal, aktivitas  manusia akan berpengaruh pada alam, dan aktivitas alam berpengaruh pada manusia sehingga  dapat dikatakan fenomena tersebut merupakan peristiwa feed back positif perubahan iklim. Semakin intensif kegiatan manusia merusak alam, semakin menguat perubahan iklim yang terjadi. Semoga ke depan kita makin bijaksana dalam menggunakan energi dan mengurangi kerusakan alam lingkungan serta makin peduli pada alam sekitar.

Friday, March 18, 2016

Mungkinkah??

Sebagai satu-satunya instansi yang berhak mengeluarkan informasi cuaca, musim dan iklim di Indonesia, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) mempunyai cara dalam menentukan awal musim. Biasanya mereka merilis berita tentang awal musim tersebut pada bulan Maret dan Agustus karena sebagian besar wilayah Indonesia khususnya yang menganut pola monsoonal mengalami musim kemarau mulai bulan April dan musim hujan mulai bulan September/Oktober. Untuk menentukan awal musim kemarau dan hujan biasanya mereka menentukan ambang batas curah hujan dasa harian (10 harian) minimal 50 mm. Bila suatu dasa harian telah mencapai nilai minimal 50 mm yang kemudian diikuti oleh minimal 2 dasa harian berikutnya juga minimal 50 mm, maka awal mula dasa harian menunjukkan angka lebih dari 50 mm tersebut disebut awal musim hujan. Untuk menentukan awal musim kemarau, digunakan angka kurang dari 50 mm.
Sebenarnya ada cara lain untuk menentukan awal musim dari kemunculan monsoon khususnya di wilayah tropis, salah satunya yakni metode HOWI (Hydorological Onset and Withdrawal Index) yakni suatu metode yang memperhitungkan berapa precipitable water di atmosfer dari ketinggian permukaan sampai ketinggian tertentu, bergantung pada rentang ketinggian atau tekanan yang kita tinjau. Mengingat bahwa umumnya awan-awan terbentuk dalam rentang antara 850 dan 500 mb, mungkin ketinggian inilah yang kita tinjau. Kebasahan dalam rentang isobar tersebut menunjukkan seberapa besar jumlah air dalam kolom udara yang terdapat di dalamnya. Bila telah mencapai nilai tertentu maka awal monsoon musim hujan atau kemarau bisa diketahui dengan lebih tepat. Metode ini digunakan di India dan beberapa negara di Afrika tropis. Namun yang patut menjadi catatan adalah bahwa awal kemunculan monsoon belum tentu sama dengan awal kemunculan musim (baik musim hujan maupun kemarau seperti di wilayah kita).  Sayangnya litbang BMKG tampaknya belum mencari dan membanding-bandingkan metode yang tepat dan cepat dalam penentuan awal monsoon dan awal musim. Mungkin dengan memperbanyak kerjasama antara BMKG dengan perguruan tinggi maka tujuan tersebut bisa tercapai. Perguruan tinggi sebagai think tank penelitian mereka. Sayangnya hal ini belum terlaksana dengan baik mengingat masalah komitmen dan pendanaan. Meski harus diakui bahwa sejak tsunami di Aceh banyak berseliweran dana mengalir ke BMKG namun mereka kebingungan dalam mengaplikasikan dan memanfaatkannya. Mungkinkah BMKG bisa melakukan revolusi berpikir??

Saturday, February 27, 2016

Penerbangan dalam era perubahan iklim lebih cepat sampai tujuan??

Artikel dalam harian Detik edisi 26 Pebruari 2016 ini menarik untuk dibaca. Disampaikan bahwa perubahan iklim karena meningkatnya gas rumah kaca khususnya karbon dioksida menyebabkan cuaca menjadi berubah yang berakibat pada waktu tempuh dan kecepatan pesawat terbang khususnya di Amerika dan Inggris. Kecepatan terbang menuju ke arah timur akan menghemat 5 jam terbang sedangkan bila sebaliknya yakni penerbangan menuju ke barat mengakibatkan delay waktu selama 7 jam khususnya pada ketinggian 35000 kaki (11-12 km). Penelitian ini hanya melihat kota terbang yakni New York dan London. Sebenarnya menurut saya pribadi, hal ini tidaklah aneh mengingat ini merupakan ketinggian jet stream, suatu arus udara yang sangat kencang yang terjadi di sekitar tropopause antara wilayah tropis dan subtropis. Arus udara kencang ini mengarah ke Timur sehingga wajar saja bila penerbangan ke timur melalui arus udara ini akan menyebabkan pesawat terdorong dan bisa lebih cepat sampai. Dengan demikian maka ia akan bisa menghemat bahan bakar. Sebaliknya jika melawan arah arus udara  ini maka dibutuhkan bahan bakar yang lebih banyak.

https://climate.ncsu.edu/secc_edu/images/jet_streams_Polar&Sub.jpg
 https://climate.ncsu.edu/secc_edu/images/jet_streams_Polar&Sub.jpg
 Perhatikan gambar di atas. Gambar tersebut menunjukkan kedua jet stream yakni yang ada di wilayah subtropis dan kutub. Keduanya mengelilingi bumi dan arahnya tidak lurus namun seolah-olah bergelombang terhadap ruang (secara spasial) dan mungkin juga terhadap waktu. Yang dimaksud terhadap ruang adalah seperti terlihat pada gambar di atas sedangkan terhadap waktu mungkin kecepatan jet stream ini tidak terus menerus konstan namun bervariasi. Kadang lebih cepat dan kadang lebih lambat.Oleh karena itu adalah wajar jika semula hitung-hitungan kasar dalam kondisi normal antara kota A dan B berjarak 5000 km dengan kecepatan pesawat 1000 km/jam maka dapat ditempuh dalam waktu 5 jam. Namun dengan bantuan alam semacam jet stream dengan kecepatan tertentu maka bisa jauh lebih cepat sampai tujuan.

Saturday, February 13, 2016

Pawang hujan ....

Pada sebagian masyarakat kita, orang yang akan melaksanakan hajat tertentu misalnya pernikahan, sunatan, kampanye dsb meminta bantuan pawang hujan agar selama hajatan tersebut tidak sampai turun hujan. Orang-orang seperti ini masih percaya bahwa hujan bisa dihalau dengan mantra-mantra atau doa-doa tertentu. Percaya tidak percaya kadangkala itu berhasil. Entah benar entah tidak pada kenyataannya hal tersebut kadang terjadi. Melalui kekuatan gaib awan-awan yang berpotensi hujan dihalau ke tempat lain. Hal seperti ini sebenarnya secara ilmiah sulit untuk dibuktikan kebenarannya mengingat metode yang diterapkan tidak ilmiah. Suku-suku Indian jaman dahulu (mungkin masih ada sampai sekarang ??) mendatangkan hujan dilakukan melalui tarian-tarian atau ritual tertentu. Bahkan orang Islam pun bila kekeringan melanda dalam waktu lama, biasanya dilakukan sholat istisqo
http://cdn.tmpo.co/data/2011/10/02/id_92451/92451_620.jpg
mendatangkan hujan. Namun untuk membalikkan keadaan dari akan ada hujan menjadi tidak hujan, rasa-rasanya tidak ada tuntunannya dalam agama Islam. Secara ilmiah cara "mendatangkan" hujan adalah melalui kegiatan modifikasi cuaca yang dalam hal ini disebut hujan buatan. Awan-awan potensial disemai dengan menggunakan garam dapur atau perak iodida agar jatuh menjadi hujan. Sedangkan cara untuk mengurungkan hujan, negara kita belum bisa melakukannya, belum mempunyai teknologinya. Modifikasi cuaca bisa juga dilakukan melalui menjatuhkan hujan di tempat lain, misalnya seperti upaya mencegah terjadinya banjir di Jakarta. Hujan dijatuhkan di wilayah perairan selat Sunda sehingga hujan yang terjadi tidak sampai menjadi masalah di Jakarta.
Profesi pawang hujan sampai sekarang masih eksis karena masih banyak yang membutuhkannya. Bahkan ada orang-orang tertentu yang membuka kursus pawang hujan. Anda percaya atau tidak, silahkan. Yang harus dicegah adalah agar tidak ada anggapan bahwa bila ada pawang hujan maka pasti tidak akan ada hujan jatuh di tempat tersebut.

Wednesday, February 10, 2016

Mengapa di Indonesia tidak pernah terbentuk hujan salju ??

Pernahkah terpikirkan oleh anda bahwa di Indonesia terbentuk hujan salju? Kok belum pernah kedengaran ya hal demikian? Tulisan ini berusaha untuk menjawab pertanyaan pada judul di atas. Kita tahu bahwa jenis-jenis presipitasi antara lain adalah hujan, hujan salju, hujan es, hujan beku, dan lain-lain. Di wilayah Indonesia biasanya hujan berwujud air yang sering terjadi, dan hujan es yang sangat jarang terjadi. Hujan tersebut datang dari awan-awan kumulus, nimbostratus, dan kumulonimbus. Masing-masing awan tersebut menghasilkan presipitasi dengan intensitas dan durasi serta besar hujan yang berbeda. Awan jenis nimbostratus biasanya menghasilkan hujan yang deras dan dalam waktu yang lama, yang berbeda dengan karakteristik hujan akibat awan kumulonimbus.
http://uniqpost.com/wp-content/uploads/2011/12/salju-640x360.png
Awan kumulonimbus biasanya menghasilkan hujan yang tidak lama namun dengan intensitas hujan yang besar. Ukuran tetes hujan di antara kedua awan ini juga berbeda. Awan kumulonimbus menghasilkan ukuran tetes hujan yang lebih besar. Hujan es juga seringkali dihasilkan oleh awan ini karena awan ini mengandung kristal-kristal es yang ketika jatuh ke permukaan bumi tidak habis diuapkan kembali meskipun sudah bergesekan dengan udara. Es ini cukup besar ukurannya sehingga bisa mencapai permukaan bumi. Hujan salju biasanya dihasilkan oleh awan-awan stratus yang cukup banyak terdapat di lintang lebih dari 30 derajat, baik utara maupun selatan. Awan stratus termasuk awan rendah sehingga ketika temperatur udara di lapisan antara permukaan tanah sampai ketinggian dasar awan cukup rendah (di bawah 0oC) maka salju yang jatuh akan tetap berwujud salju. Proses Bergeron terjadi dalam awan ini. Berbeda halnya di wilayah tropis khususnya Indonesia, suhu udara di bawah permukaan dasar awan lebih tinggi dari 0 derajat Celcius sehingga bila terjadi turun salju maka sampai ke permukaan tanah akan berwujud air karena terpanaskan. Begitulah kira-kira jawaban atas pertanyaan di atas. Masih ingin ada yang ditanyakan?? 

Sunday, February 7, 2016

Mengapa setiap imlek turun hujan ??

Besok merupakan tahun baru imlek bagi rakyat China. Di seluruh dunia, warga negara China dan keturunannya biasanya merayakannya dengan meriah layaknya perayaan tahun baru Masehi. Di Indonesia kebiasaan ini makin tumbuh subur setelah era reformasi. Saya tidak ingin membahas lebih lanjut tentang hal tersebut namun mencoba menjawab keingintahuan masyarakat mengapa pada saat imlek sering terjadi hujan. Saya katakan "sering" artinya tidak selalu kejadian imlek terjadi hujan. Jawabnya sederhana saja. Bulan-bulan imlek biasanya adalah bulan dimana merupakan musim hujan.
Jadi wajar toh kalau terjadi hujan? Apalagi pada tahun ini jatuh pada tanggal 8 Pebruari yang bertepatan dengan musim hujan khususnya di wilayah bertipe curah hujan monsoon. Pola streamline dengan jelas menunjukkan hal tersebut. Jadi bila kalian tinggal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya maka besar kemungkinan akan terjadi hujan. Demikian pula bila kalian tinggal di Bandarlampung, Palembang, Banjarmasin, Makasar maka peluang terjadinya hujan besok tentu akan jauh lebih besar dibanding dengan di Singkawang, Malinau, dan Pare-pare serta Biak. Oleh karena itu nikmati saja-lah peristiwa hujan, tidak perlu berpikir aneh-aneh mengapa pada saat imlek terjadi hujan. Toh juga bila terjadi hujan maka merupakan berkah bagi kita semua. Pada kepercayaan orang China atau Tionghoa, hujan merupakan rejeki ... mungkin karena pada masa lalu banyak penduduk China merupakan petani sehingga bila terjadi hujan maka mereka bisa bercocok tanam, artinya rejeki bagi mereka. Selamat merayakan imlek bagi yang merayakan.  Semoga kedamaian dan kesejahteraan merengkuh kita semua. Amin. 

Friday, February 5, 2016

Pergeseran zone ...

Beberapa hari yang lalu, dalam kuliahku ada pertanyaan menarik tentang lokasi turunnya salju di Arab Saudi beberapa waktu yang lalu yang mengingatkanku pada hal yang lebih umum sifatnya. Hal tersebut adalah mengenai pergeseran zone konvergensi dan divergensi dunia. Pada umumnya wilayah ekuator dan kurang lebih lintang 60 derajat baik utara maupun selatan merupakan zone konvergensi sedangkan zone divergensi di permukaan terjadi pada lintang 30 derajat dan kutub. Naik dan turunnya massa udara pada wilayah tersebut sangat berpengaruh pada pembentukan awan-awan. Pada lokasi naiknya massa udara bila disertai dengan banyaknya uap air yang terkandung akan menyebabkan mudahnya terjadi pembentukan awan-awan. Berbeda halnya bila terjadi subsidensi dimana tekanan udara di permukaan tinggi yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan. Wilayah Indonesia merupakan wilayah pertumbuhan awan khususnya awan konvektif karena tingginya radiasi yang sampai di permukaan dan ditambah lagi dengan merupakan wilayah konvergensi yang membentuk awan-awan. Selain itu juga banyaknya pegunungan memberi kemungkinan terbentuknya awan orografis dan efek lokal lainnya seperti angin darat dan laut juga berkontribusi pada pembentukan awan. Sedangkan wilayah di 30 derajat lintang yang merupakan wilayah perbatasan zone tropis dan sub tropis seperti yang terjadi di Arab Saudi merupakan zone divergensi. Perlu diketahui bahwa Arab Saudi terletak antara lintang 15 sampai 32 derajat utara yang menyebabkannya mempunyai kawasan tropis dan sub tropis. Oleh sebab itu wilayah Tarbuk misalnya, biasa mengalami musim dingin yang berbeda dengan Mekkah dan Madinah. Terbentuknya salju di wilayah Tarbuk sudah bukan hal yang luar biasa namun kejadian serupa yang mencapai perbatasan Medinah dan Mekkah merupakan kejadian yang agak luar biasa. Terdapat tiga penyebab yang mungkin menghasilkan kejadian tersebut yakni terbentuknya gelombang dingin, pengaruh gelombang  Rossby, dan perbedaan tekanan yang tinggi antara Arab Saudi dan kutub. Kejadian-kejadian terbentuknya salju di padang pasir tersebut bersamaan kejadiannya dengan keberadaan matahari di selatan ekuator, misalnya bulan Januari. Jadi merupakan hal yang wajar jika di belahan bumi utara sebagian besar mengalami musim dingin. Namun bila kejadiannya bulan Mei seperti tahun lalu, hal ini menjadi luar biasa. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa hal tersebut bisa terjadi? Interaksi ketiga hal yang telah disebut di atas mungkin adalah jawabannya. Tapi bagaimana mekanismenya? Interaksi yang kompleks di antara ketiganya dan bergesernya zone divergensi mungkin menyebabkan terbentuknya awan-awan jenis stratus yang berpotensi menghasilkan hujan salju. Aku duga demikian. Oleh karena itu, kutunggu masukan dan kritikan kalian semua terhadap informasi yang kusampaikan di atas. Terimakasih.

Friday, January 22, 2016

Sesuaikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dengan kondisi cuaca dan musim

Sudah menjadi kebiasaan kita bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan cuaca dan musim pada saat itu. Dana pembangunan biasanya turun pada saat-saat menjelang pertengahan bahkan akhir tahun. Ketika sudah akhir tahun, sibuk dengan berbagai kegiatan yang dipaksakan untuk dilaksanakan agar dana tidak hangus. Itu kalau kita mau jujur. Semua instansi pemerintah melakukan hal tersebut. Ini sebenarnya membuktikan bahwa tidak ada perencanaan yang matang dalam mengelola penggunaan dana pembangunan. Celakanya lagi ketika pembangunan  infrastruktur  dilaksanakan seringkali memasuki musim hujan khususnya bagi daerah-daerah yang bertipe curah hujan monsoonal. Hal ini tidak saja membuat pembangunan tidak efektif dan efisien namun juga membentuk karakter asal jadi sehingga keluarlah ilmu kepepet dimana semua dipercepat pada akhir tahun tidak begitu memperdulikan kualitas hasil.
Negara kita adalah Negara tropis yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote. Merupakan wilayah kepulauan yang indah yang berada di antara samudra Hindia dan Pasifik, antara benua Asia dan Australia. Mengalami pemanasan sepanjang tahun (12 jam/hari) dengan suhu yang cukup tinggi, kelembapan tinggi, dan tekanan yang rendah serta mengalami sirkulasi Hadley, Walker dan lokal. Kombinasi berbagai faktor inilah yang menyebabkan wilayah kita mempunyai perawanan (awan-awan) vertical  yang terbesar di dunia, mengalahkan yang berada di atas Amerika Selatan dan Afrika tropis. Keberadaan transfer panas melalui udara inilah yang turut menyumbang pada pola cuaca di belahan bumi berlintang lebih tinggi. Boleh dikatakan bahwa Indonesia merupakan jantungnya cuaca , musim dan iklim global. Keberadaan wilayah kontinen maritim ini membawa pengaruh pada terbentuknya osilasi dan gelombang di atmosfer yang bisa berdampak global.
Gerak semu matahari di antara lintang 23,5o LU sampai dengan 23,5o LS memberi pengaruh nyata pada pembentukan pola curah hujan di tanah air. Kita mengenal 3 pola curah hujan yakni monsoonal, ekuatorial, dan lokal. Pola monsoonal ditandai dengan tingginya curah hujan selama Desember-Januari-Pebruari  dan rendahnya curah hujan selama bulan Juni-Juli-Agustus. Dengan kata lain, bentuk monsoonal ini bila diplot antara besarnya curah hujan dan waktu (bulan) maka menyerupai bentuk huruf V. Pola ekuatorial ditandai dengan bentuk plot yang menyerupai huruf M dimana bulan Maret-April-Mei dan September-Oktober-November curah hujannya tinggi dibanding bulan-bulan lainnya. Sedangkan tipe curah hujan lokal ditunjukkan dengan pola yang berkebalikan dengan pola monsoonal. Umumnya wilayah Indonesia bertipe curah hujan monsoonal diikuti oleh tipe ekuatorial dan paling sedikit yang bertipe lokal. Area dari tipe curah hujan monsoonal adalah sebagian besar Sumatera khususnya bagian selatan, seluruh Jawa sampai Nusa Tenggara, Kalimantan bagian Selatan, sebagian besar Sulawesi, dan Papua bagian tengah. Pola ekuatorial membentang di sekitar ekuator/katulistiwa dari barat sampai timur sedangkan pola lokal banyak terjadi di wilayah sekitar pegunungan.
Dengan kondisi semacam di atas sudah seharusnya hal tersebut diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Di antara sekian banyak parameter cuaca dan iklim maka curah hujanlah yang paling terlihat dampaknya. Negara-negara di lintang tengah dan tinggi seluruhnya mempertimbangkan cuaca dan musim dalam keseharian aktivitas pembangunan. Pada saat musim dingin praktis semua pembangunan infrastruktur luar ruangan dihentikan sedangkan pada saat musim panas semuanya dipercepat. Kita kurang belajar dari pengalaman Negara-negara lain tersebut. Tidak heran kalau pembangunan infrastruktur sering boros anggaran. Seharusnya dengan 3 tipe hujan tersebut maka ada 3 tipe penganggaran.
Sebenarnya pihak yang berwenang untuk mengeluarkan ramalan musim (BMKG) telah jauh-jauh hari mengumumkan ramalannya. Ramalan cuaca bahkan setiap hari disampaikan dalam media masa cetak dan elektronik. Masyarakat pun diberi keleluasaan untuk mendapatkan informasi cuaca gratis melalui situs yang dimilikinya. Namun sayangnya informasi yang diberikan tersebut belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam semua kegiatan pembangunan. Hanya beberapa instansi saja yang sudah cukup melek (sadar) akan pentingya informasi cuaca, musim dan iklim (cusiklim) sedangkan yang lain kurang begitu peduli. Barangkali BMKG belum menyuguhkan informasi yang bisa dicerna oleh instansi-instansi tersebut untuk operasional kesehariannya. Bisa pula disebabkan oleh kasarnya resolusi informasi yang diberikan, dengan kata lain keakuratannya masih kasar karena mencakup daerah yang luas sementara yang dibutuhkan adalah yang beresolusi tinggi. Dengan sumber daya manusia yang sudah makin meningkat namun dengan dukungan instrument dan super computer yang belum memadai menyebabkan belum optimalnya ramalan yang diberikan.
Sebenarnya dengan sedikit memodifikasi lembaga semacam BMKG ini maka akan diperoleh hasil yang optimal. Kebijakan-kebijakan yang mengekang dan membatasi terhadap keterbukaan data seharusnya dihilangkan. Negara-negara maju banyak menganut sistem “open data” dimana masyarakat luas dapat mengakses data cuaca dan iklim dengan sangat mudah. Hal ini berbeda dengan di Negara kita dimana kebijakan/peraturan perundang-undangan membatasi masyarakat luas untuk memperoleh data. Bahkan dikeluarkan keppres untuk mengatur harga data. Seharusnya sudah kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan dana bagi “data collecting, processing and analyzing” yang dilakukan oleh BMKG. Masyarakat yang menggunakan data BMKG seharusnya cukup dengan mencantumkan bahwa sumber data adalah dari BMKG, misal dalam makalah-makalah yang ditulisnya. Ini tidak saja merupakan sosialisasi peran BMKG dalam pembangunan namun juga pelibatan masyarakat dalam peningkatan mutu layanan kepada masyarakat melalui kegiatan penelitian. Penelitian-penelitian yang baik akan menunjang pada peningkatan kualitas layanan informasi cuaca, musim dan iklim sehingga akan terjadi proses simbosis mutualisma (saling menguntungkan). Sudah saatnya peraturan/keppres tersebut dicabut.
Kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 kemarin sudah seharusnya membuka wawasan, cakrawala berpikir pemerintah dan masyarakat akan begitu pentingnya informasi cuaca, musim dan iklim. Bila sejak awal pemerintah menyadari pentingnya informasi cusiklim tersebut maka kejadian kebakaran hutan dan lahan kemarin tidak akan terlalu parah. Usaha yang dilakukan pemerintah seperti water bombing dan hujan buatan oleh UPT hujan buatan BPPT akan lebih efektif dan efisien. LAPAN, BMKG, Departemen LHK, BNPB, dan TNI bisa lebih focus dan tidak saling tunggu komando, apalagi kalau sudah menyangkut anggaran yang cukup riskan pertanggungjawabannya. Pada saat kunjungan kerja ke Sumatera Selatan pada saat itu Bapak Presiden tampaknya juga kurang memperoleh pemahaman yang utuh tentang cusiklim sehingga dengan sangat yakinnya menyatakan dalam satu pekan kebakaran hutan dan lahan akan teratasi. Semoga saja hal ini tidak terjadi lagi.
Selain masalah “open data” di atas, pemerintah harus menambah resolusi spasial dan temporal untuk data cusiklim dengan mempercanggih teknologi pengumpulan data misalnya dengan mengotomatisasikan pengambilan data cuaca, penyimpanannya, dan pengolahannya. Dengan perbanyakan AWS (automatic weather station) di seluruh wilayah tanah air, katakanlah satu kota mempunyai  10  AWS saja maka resolusi spasial bisa ditingkatkan dengan signifikan. Meskipun kita mendapatkan citra satelit namun hasilnya masih harus dikalibrasi dengan data pengamatan permukaan, misal dengan AWS ini. Industri instrument meteorologi dan klimatologi juga akan makin berkembang dengan penerapan alat-alat meteorologi dan AWS di seluruh tanah air, tidak lagi berorientasi impor. Bahkan mungkin akan banyak software-software produk lokal yang mampu memproses data cusiklim dengan akurat, dan banyak dampak positif lainnya.

Friday, January 15, 2016

Pertanyaan-pertanyaan tentang El Nino dan La Nina

Sidang pembaca yang budiman ... saya diminta oleh Penerbit ITB untuk memperbarui buku kecil saya "Sudah benarkah pemahaman Anda tentang El Nino dan La Nina?" yang saya tulis tahun 1998. Berkaitan dengan hal tersebut, saya minta bantuan kalian untuk mengajukan berbagai pertanyaan kepada saya terkait dengan El Nino dan La Nina. In sya allah saya akan jawab melalui buku yang akan diterbitkan tahun 2016.
Kunanti ya di: joko.wiratmo@meteo.itb.ac.id
Salam hangat penuh semangat dariku di Bandung, Jawa Barat, Indonesia.

Media masa sangat dibutuhkan untuk ...

Saat sekarang ini peran media masa sangat meningkat tajam. Semua berita baik menyangkut kegiatan politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pertahanan dan keamanan dan lain-lain sudah merupakan sajian sehari-hari dan tidak mengenal waktu. Dari mulai pagi hari, siang, sore, malam bahkan dini hari kita terpapar oleh segala macam berita baik dari media cetak maupun elektronik. Sayangnya kadangkala (atau bahkan mungkin terlalu sering) sisipan-sisipan pesan dari pemilik media terpampang luas di depan mata. Bukan hal sulit untuk membuktikan adanya pertentangan arus antara pihak media yang pro pemerintah dan yang kontra pemerintah. Di media sosial seperti twitter dan facebook juga banyak bertebaran pendapat atau berita antara pendukung dan yang kontra. Ini semua adalah berkah dari efek globalisasi dan keterbukaan informasi di negara kita. Jarang ada orang yang ditangkap karena pendapat-pendapat pribadinya yang menyudutkan pihak tertentu. Meskipun demikian sudah merupakan hal yang wajar jika media masa tidak malah mengompori suatu kasus tertentu namun harus lebih bertanggungjawab atas segala isi yang disampaikan kepada masyarakat. Masyarakat juga seharusnya kritis terhadap berita yang beredar.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, teknologi dan seni peran media ini juga sangat dibutuhkan. Ilmu dan teknologi kebumian sangat penting perannya dalam memahami tentang kondisi bumi dan perilakunya. Bencana alam yang sering terjadi di bumi Indonesia dan belahan bumi lainnya seringkali tidak diberitakan dengan baik karena keterbatasan sudut pandang para awak media. Dengan latar belakang yang sangat beragam, maka sulit untuk para awak media mampu mengemas berita tentang bencana alam dengan manis dan kaya informasi. Substansi berita jauh lebih sering memberitakan aspek-aspek sosialnya, bukan masalah bencana alam itu sendiri. Tidak salah memang hal seperti disebut di atas, namun bila aspek-aspek bencana alamnya juga turut dikupas maka masyarakat bisa tercerdaskan dan bisa turut berperanserta dalam mitigasi dan adaptasi terhadap kemungkinan bencana alam serupa terjadi. Oleh karena itu maka pendidikan dan pelatihan untuk awak media sangat diperlukan untuk  meningkatkan kemasan berita yang kaya informasi tentang suatu peristiwa bencana alam. Konsultasi dengan para pakar yang didukung oleh pemahaman wartawan yang lebih baik tentang fenomena bencana bisa mengurangi kesalahan dalam pemberitaan.

Saturday, January 9, 2016

Negeri tanggap bencana

Wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai pulau Rote terletak pada kawasan yang rawan bencana alam, baik dari pengaruh dari dalam bumi maupun dari luar permukaan bumi. Istilah geofisik yang keren untuk itu adalah dalam kawasan "rings of fire". Terletak di wilayah retakan-retakan antara lempeng benua dan lempeng samudra yang sangat aktif. Gempa bumi baik akibat gunung api meletus maupun gempa tektonik merupakan peristiwa yang sudah biasa terjadi dan sering menimbulkan kerusakan hebat. Akhir-akhir ini tsunami juga sering terjadi mengingat sesar turun atau naik yang terjadi di patahan-patahan tersebut pada kedalaman episenter kurang dari 10 km yang mempunyai skala Richter lebih dari 5. Peristiwa di atas permukaan bumi tidak kalah serunya. Imbas dari siklon baik di Australia maupun di Philippina sering menyebabkan ombak besar yang sangat mengganggu aktivitas nelayan dan pelayaran baik di wilayah selatan maupun utara negeri. El Nino di samudra Pasifik juga mempunyai dampak yang kurang baik bagi musim di Indonesia. Kekeringan sering terjadi khususnya untuk wilayah yang berpola curah hujan monsoon. Kebalikan dari El Nino adalah peristiwa La Nina yang sering membawa dampak peningkatan curah hujan di tanah air. Banjir, longsor dan banyaknya petir sering mengiringi kejadian La Nina di samudra Pasifik tropis ini. Kombinasi kejadian El Nino dengan Dipole Mode positif akan lebih memperparah kejadian kekeringan di tanah air yang bisa memicu dan memperparah kejadian kebakaran hutan. Sedangkan bila terjadi La Nina dan Dipole Mode negatif maka peluang peningkatan curah hujan yang besar meningkat tajam. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila pemerintah kita tanggap akan bencana-bencana yang sering terjadi ini. Penguatan kelembagaan yang terkait dengan bencana alam ini harus makin ditingkatkan dan sosialisasi serta pendidikan publik terkait dengan hal ini juga harus dilaksanakan sejak usia dini. Kesadaran semacam ini sudah harus dibangun  melalui pendidikan formal dan non formal, melalui semua media yang dapat menjangkau masyarakat luas baik di perkotaan maupun tempat-tempat terpencil. Bila hal ini bisa terwujud maka kerugian harta benda dan jiwa akan bisa diminimalisir. Alat-alat early warning system terjaga dari kerusakan dan dari tangan-tangan jahil sehingga ketika saat digunakan dapat berfungsi dengan baik. Sering tidak begitu disadari bahwa kita mampu mengadakan dan membangun sistem peringatan dini namun tidak mampu merawatnya. Sekali lagi, penyadaran masyarakat akan pentingnya alat-alat ini juga harus dibangun. Tanpa keterlibatan aktif mereka, hampir mustahil tujuan mulia tanggap bencana alam akan tercapai.

Wednesday, January 6, 2016

Sudah saatnya ada keterbukaan akses data cusiklim di Indonesia

Menarik mengamati dan memperhatikan jawaban para mahasiswa dalam ujian kuliah Meteorologi Tropis yang saya ajarkan. Salah satu pertanyaan yang saya ujikan adalah tentang apa yang sebaiknya pemerintah lakukan agar informasi cuaca, musim dan iklim (cusiklim) mendapatkan perhatian serius dalam proses pembangunan. Masih disadari bahwa informasi cusiklim ini merupakan informasi yang tidak diperhatikan serius dalam proses pembangunan sehingga banyak terjadi pemborosan anggaran. Ambil contoh misalnya pembangunan infrastruktur luar ruangan seperti jalan raya, jembatan, rel kereta api, bandar udara, pelabuhan dan lain-lain yang sering  tidak mempertimbangkan masalah cusiklim. Keterlambatan pencairan dana sehingga pembangunan infrastruktur terjadi pada saat musim hujan tentu menjadikan kegiatan tersebut tidak efektif dan efisien. Di sisi lain informasi tentang ramalan cuaca juga masih harus ditingkatkan. BMKG sebagai ujung tombak dalam layanan ramalan cuaca memang mesti didorong untuk meningkatkan keakuratan pelayanannya. Negara-negara maju amat sangat menyadari pentingnya informasi cusiklim ini, seperti misalnya Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jerman, Perancis, Inggris dan lain-lain yang memperhitungkan dengan amat sangat serius dalam proses pembangunan. Lembaga cuaca dan iklim di negara-negara tersebut memiliki data yang mereka buka secara luas. Lembaga-lembaga pemerintah memberikan akses yang mudah bagi masyarakat dunia yang membutuhkan informasi cusiklim melalui berbagai website yang mereka luncurkan. Di Indonesia, keterbukaan data ini baru dilakukan beberapa tahun terakhir, misalnya oleh LAPAN yang memungkinkan  para mahasiswa dan peneliti dapat dengan mudah mengakses data. Penelitian-penelitian yang dilakukan akan bisa mendukung pada akurasi ramalan cuaca dengan cukup mencantumkan sumber datanya diperoleh dari mana. Simple!
Di Amerika Serikat ada sebuah program yang mengajak masyarakat untuk ikut menyumbangkan informasi atau data cuaca dari manapun mereka berada. Di kitapun ada, yang diinisiasi oleh para mahasiswa program studi Meteorologi ITB. Sebagai bentuk kepedulian para mahasiswa ITB pun diluncurkan program early warning system untuk banjir di wilayah Bandung bekerjasama dengan pemerintah kota Bandung. Oleh karena itu sudah seharusnya jika setiap lembaga pemerintah yang melayani publik melibatkan masyarakat untuk perbaikan pelayanannya dan tidak sekedar mencari untung dengan menetapkan harga tertentu untuk memperoleh data. Bila itu terjadi maka lembaga-lembaga layanan masyarakat dan penelitian akan makin dicintai masyarakat. Semoga demikian.