Membaca berita
Republika tanggal 9 Oktober 2015 tentang
target Presiden agar kabut asap hilang dalam dua pekan ke depan, menimbulkan
sejumlah pertanyaan dalam diri saya. Alasannya menurut Bapak Presiden adalah
karena luas lahan yang terbakar lebih besar dan panas El Nino yang kering. Meskipun
istilah panas El Nino yang kering kurang tepat tapi saya tidak bermaksud
mempermasalahkannya. In sya Allah saya akan tulis hal tersebut lain waktu.
Kembali ke pernyataan di atas, apakah beliau benar-benar sudah dibekali atau
setidaknya diberi masukan tentang musim di Sumatera Selatan? Apakah yang
diucapkannya sudah benar-benar dipikirkan, atau hanya sekedar tebak-tebakan?
Atau seperti yang sudah-sudah seperti pernah beliau katakanan dan seringkali
menjadi cibiran orang dalam media sosial yang katanya “ndak mikir” alias asal ngomong atau asal bertindak tanpa
mikir? Saya berpikir positif bahwa ucapan beliau benar-benar telah melalui
pemikiran yang matang.
Tujuan tulisan ini
adalah setidaknya memberi pandangan bahwa hampir mustahil dengan upaya manusia,
misal dengan water bombing, yang akan
coba dilakukan pemerintah dengan bantuan Negara-negara lain tanpa memperhitungkan musim hujan.
Kejadian kabut asap (kabas) yang terjadi di Indonesia sangat berbeda dengan
kejadian asap yang terjadi di Negara lain karena wilayah mereka tidak
bergambut. Di Negara kita, kabas banyak diakibatkan oleh masih membaranya
gambut di bawah permukaan. Jadi meskipun di atas permukaan titik api sudah
tidak terlihat, namun di bawah permukaan masih tersisa titik-titik api yang
membutuhkan waktu lama untuk padam bila di atas permukaan tidak benar-benar
basah. Pengusahaan areal pertanian, perkebunan, dan hutan yang tidak tepat
sering mengakibatkan kejadian yang berulang setiap musim kemarau panjang
tersebut. Banyak para pengusaha perkebunan dan pertanian di sana yang membangun
saluran air untuk mengeringkan lahan sehingga air dari sekitarnya masuk ke
saluran air tersebut. Masalahnya ketika air tersebut terus menerus dialirkan
tanpa ditampung/dibendung maka air tidak tersedia ketika saat dibutuhkan seperti misalnya pada saat
kebakaran. Mengingat lahan gambut mempunyai karakteristik tersendiri maka asap
masih tetap mengepul meskipun di atas permukaan sudah padam.
Jumlah dua belas ton
memang cukup banyak namun bila dibandingkan dengan hasil hujan buatan yang bisa
mencapai milyaran liter, tentu bukan angka yang besar. Dengan beberapa (misal
10 pesawat water bombing) dengan kapasitas 12-15 ton, dibutuhkan lebih dari
sepuluh ribu kali penerbangan untuk memperoleh jumlah air yang sama dengan
hasil yang dicapai dengan hujan buatan. Namun bukan tidak ada salahnya cara ini
juga dilakukan mengingat awal musim hujan juga nampaknya belum bisa dengan
pasti kita tentukan meskipun
klimatologinya kita sudah tahu. Optimis dengan mengatakan bahwa dalam 2 pekan
ke depan permasalahan kabas bisa kita atasi merupakan pernyataan yang
berlebihan dan hanya tebak-tebakan belaka. Coba kita lihat bagaimana pola
streamline dan satelit di bawah ini. Streamline atau mudahnya garis arah angin
bertiup dengan kecepatan tertentu untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan
menunjukkan bahwa pola angin tenggara yang kurang membawa uap air bertiup di
atas wilayah ini. Saya menduga dalam dua minggu ke depan pola angin ini masih
dominan semacam ini. Menguatnya suhu permukaan laut di Pasifik tropis yang
diduga sampai bulan Pebruari 2016 mendatang ditambah sedikit lebih rendahnya suhu
permukaan laut di Samudra Hindia khususnya di barat Sumatera dibanding wilayah
ekuatorial sebelah timur Afrika kurang memberi dampak positif bagi perkembangan
awan hujan di Sumatera bagian selatan dan Kalimantan. Namun demikian kita masih
bersyukur bahwa pengaruh monsoon/monsun/muson masih jauh lebih perkasa
dibanding dengan El Nino, Dipole mode atau yang lain. Pola curah hujan monsunal
yang dialami oleh sebagian wilayah Indonesia bagian selatan ekuator memang akan
diperlemah oleh keberadaan El Nino, namun bukan tidak mungkin untuk tahun ini
akan berbeda dengan dampak El Nino seperti sebelum sebelumnya. Ini mengingat
karakteristik El Nino yang tidak sama untuk setiap kejadiannya atau bersifat
unik.
BMKG telah melakukan
prakiraan atau ramalan musim dimana untuk bulan Oktober ini wilayah Sumatera
Selatan masih kecil peluang terjadinya hujan. Hujan yang mungkin terjadi adalah
hujan rendah yang kurang dari 100 mm. Dilihat sebarannya maka makin ke arah
pantai barat curah hujan bulan Oktober diramal meningkat. Kebanyakan wilayah
Sumatera Selatan memang masih akan kurang sekali curah hujannya. Sedangkan
makin ke utara dari Sumatera selatan kemungkinan sudah mulai banyak mengalami
hujan cukup besar. Meskipun kondisi di Sumatera Selatan belum menggembirakan
namun bila wilayah konvergensi makin bergerak ke selatan seiring dengan posisi
matahari yang mulai beranjak ke selatan ekuator, maka bukan tidak mungkin
ramalan musim akan terjungkirbalikkan. Semoga saja bukan hanya hujan saja yang
datang namun musim hujan segera
berkunjung ke tanah air tercinta. Bila ini benar maka boleh saja menganggap
bahwa kabas segera hilang dari pandangan, namun yang harus diingat bahwa ini
bukan hanya atas usaha seseorang atau instansi atau bantuan Negara lain namun terutama karena memang alam.(dan penciptanya!)
memang sudah menunjukkan kuasanya.
Bandung, 10 Oktober
2015