Sudah menjadi kebiasaan kita bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan cuaca
dan musim pada saat itu. Dana pembangunan biasanya turun pada saat-saat
menjelang pertengahan bahkan akhir tahun. Ketika sudah akhir tahun, sibuk
dengan berbagai kegiatan yang dipaksakan untuk dilaksanakan agar dana tidak
hangus. Itu kalau kita mau jujur. Semua instansi pemerintah melakukan hal
tersebut. Ini sebenarnya membuktikan bahwa tidak ada perencanaan yang matang
dalam mengelola penggunaan dana pembangunan. Celakanya lagi ketika
pembangunan infrastruktur dilaksanakan seringkali memasuki musim hujan
khususnya bagi daerah-daerah yang bertipe curah hujan monsoonal. Hal ini tidak
saja membuat pembangunan tidak efektif dan efisien namun juga membentuk
karakter asal jadi sehingga keluarlah ilmu kepepet dimana semua dipercepat pada
akhir tahun tidak begitu memperdulikan kualitas hasil.
Negara kita adalah
Negara tropis yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai
pulau Rote. Merupakan wilayah kepulauan yang indah yang berada di antara
samudra Hindia dan Pasifik, antara benua Asia dan Australia. Mengalami
pemanasan sepanjang tahun (12 jam/hari) dengan suhu yang cukup tinggi,
kelembapan tinggi, dan tekanan yang rendah serta mengalami sirkulasi Hadley,
Walker dan lokal. Kombinasi berbagai faktor inilah yang menyebabkan wilayah
kita mempunyai perawanan (awan-awan) vertical
yang terbesar di dunia, mengalahkan yang berada di atas Amerika Selatan
dan Afrika tropis. Keberadaan transfer panas melalui udara inilah yang turut
menyumbang pada pola cuaca di belahan bumi berlintang lebih tinggi. Boleh
dikatakan bahwa Indonesia merupakan jantungnya cuaca , musim dan iklim global.
Keberadaan wilayah kontinen maritim ini membawa pengaruh pada terbentuknya
osilasi dan gelombang di atmosfer yang bisa berdampak global.
Gerak semu matahari di
antara lintang 23,5o LU sampai dengan 23,5o LS memberi
pengaruh nyata pada pembentukan pola curah hujan di tanah air. Kita mengenal 3
pola curah hujan yakni monsoonal, ekuatorial, dan lokal. Pola monsoonal
ditandai dengan tingginya curah hujan selama Desember-Januari-Pebruari dan rendahnya curah hujan selama bulan
Juni-Juli-Agustus. Dengan kata lain, bentuk monsoonal ini bila diplot antara
besarnya curah hujan dan waktu (bulan) maka menyerupai bentuk huruf V. Pola
ekuatorial ditandai dengan bentuk plot yang menyerupai huruf M dimana bulan
Maret-April-Mei dan September-Oktober-November curah hujannya tinggi dibanding
bulan-bulan lainnya. Sedangkan tipe curah hujan lokal ditunjukkan dengan pola
yang berkebalikan dengan pola monsoonal. Umumnya wilayah Indonesia bertipe
curah hujan monsoonal diikuti oleh tipe ekuatorial dan paling sedikit yang
bertipe lokal. Area dari tipe curah hujan monsoonal adalah sebagian besar
Sumatera khususnya bagian selatan, seluruh Jawa sampai Nusa Tenggara,
Kalimantan bagian Selatan, sebagian besar Sulawesi, dan Papua bagian tengah.
Pola ekuatorial membentang di sekitar ekuator/katulistiwa dari barat sampai
timur sedangkan pola lokal banyak terjadi di wilayah sekitar pegunungan.
Dengan kondisi semacam
di atas sudah seharusnya hal tersebut diperhitungkan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan. Di antara sekian banyak parameter cuaca dan iklim maka
curah hujanlah yang paling terlihat dampaknya. Negara-negara di lintang tengah
dan tinggi seluruhnya mempertimbangkan cuaca dan musim dalam keseharian
aktivitas pembangunan. Pada saat musim dingin praktis semua pembangunan
infrastruktur luar ruangan dihentikan sedangkan pada saat musim panas semuanya
dipercepat. Kita kurang belajar dari pengalaman Negara-negara lain tersebut.
Tidak heran kalau pembangunan infrastruktur sering boros anggaran. Seharusnya
dengan 3 tipe hujan tersebut maka ada 3 tipe penganggaran.
Sebenarnya pihak yang
berwenang untuk mengeluarkan ramalan musim (BMKG) telah jauh-jauh hari
mengumumkan ramalannya. Ramalan cuaca bahkan setiap hari disampaikan dalam
media masa cetak dan elektronik. Masyarakat pun diberi keleluasaan untuk
mendapatkan informasi cuaca gratis melalui situs yang dimilikinya. Namun
sayangnya informasi yang diberikan tersebut belum mendapatkan perhatian serius
dari pemerintah dalam semua kegiatan pembangunan. Hanya beberapa instansi saja
yang sudah cukup melek (sadar) akan
pentingya informasi cuaca, musim dan iklim (cusiklim) sedangkan yang lain
kurang begitu peduli. Barangkali BMKG belum menyuguhkan informasi yang bisa
dicerna oleh instansi-instansi tersebut untuk operasional kesehariannya. Bisa
pula disebabkan oleh kasarnya resolusi informasi yang diberikan, dengan kata
lain keakuratannya masih kasar karena mencakup daerah yang luas sementara yang
dibutuhkan adalah yang beresolusi tinggi. Dengan sumber daya manusia yang sudah
makin meningkat namun dengan dukungan instrument dan super computer yang belum
memadai menyebabkan belum optimalnya ramalan yang diberikan.
Sebenarnya dengan
sedikit memodifikasi lembaga semacam BMKG ini maka akan diperoleh hasil yang
optimal. Kebijakan-kebijakan yang mengekang dan membatasi terhadap keterbukaan
data seharusnya dihilangkan. Negara-negara maju banyak menganut sistem “open
data” dimana masyarakat luas dapat mengakses data cuaca dan iklim dengan sangat
mudah. Hal ini berbeda dengan di Negara kita dimana kebijakan/peraturan
perundang-undangan membatasi masyarakat luas untuk memperoleh data. Bahkan
dikeluarkan keppres untuk mengatur harga data. Seharusnya sudah kewajiban
pemerintah untuk mengalokasikan dana bagi “data collecting, processing and
analyzing” yang dilakukan oleh BMKG. Masyarakat yang menggunakan data BMKG
seharusnya cukup dengan mencantumkan bahwa sumber data adalah dari BMKG, misal
dalam makalah-makalah yang ditulisnya. Ini tidak saja merupakan sosialisasi
peran BMKG dalam pembangunan namun juga pelibatan masyarakat dalam peningkatan
mutu layanan kepada masyarakat melalui kegiatan penelitian.
Penelitian-penelitian yang baik akan menunjang pada peningkatan kualitas
layanan informasi cuaca, musim dan iklim sehingga akan terjadi proses simbosis
mutualisma (saling menguntungkan). Sudah saatnya peraturan/keppres tersebut
dicabut.
Kejadian kebakaran
hutan dan lahan tahun 2015 kemarin sudah seharusnya membuka wawasan, cakrawala
berpikir pemerintah dan masyarakat akan begitu pentingnya informasi cuaca,
musim dan iklim. Bila sejak awal pemerintah menyadari pentingnya informasi
cusiklim tersebut maka kejadian kebakaran hutan dan lahan kemarin tidak akan
terlalu parah. Usaha yang dilakukan pemerintah seperti water bombing dan hujan buatan oleh UPT hujan buatan BPPT akan
lebih efektif dan efisien. LAPAN, BMKG, Departemen LHK, BNPB, dan TNI bisa
lebih focus dan tidak saling tunggu komando, apalagi kalau sudah menyangkut
anggaran yang cukup riskan pertanggungjawabannya. Pada saat kunjungan kerja ke
Sumatera Selatan pada saat itu Bapak Presiden tampaknya juga kurang memperoleh
pemahaman yang utuh tentang cusiklim sehingga dengan sangat yakinnya menyatakan
dalam satu pekan kebakaran hutan dan lahan akan teratasi. Semoga saja hal ini
tidak terjadi lagi.
Selain masalah “open
data” di atas, pemerintah harus menambah resolusi spasial dan temporal untuk
data cusiklim dengan mempercanggih teknologi pengumpulan data misalnya dengan
mengotomatisasikan pengambilan data cuaca, penyimpanannya, dan pengolahannya.
Dengan perbanyakan AWS (automatic weather station) di seluruh wilayah tanah
air, katakanlah satu kota mempunyai
10 AWS saja maka resolusi spasial
bisa ditingkatkan dengan signifikan. Meskipun kita mendapatkan citra satelit
namun hasilnya masih harus dikalibrasi dengan data pengamatan permukaan, misal
dengan AWS ini. Industri instrument meteorologi dan klimatologi juga akan makin
berkembang dengan penerapan alat-alat meteorologi dan AWS di seluruh tanah air,
tidak lagi berorientasi impor. Bahkan mungkin akan banyak software-software
produk lokal yang mampu memproses data cusiklim dengan akurat, dan banyak
dampak positif lainnya.