Saturday, February 27, 2016

Penerbangan dalam era perubahan iklim lebih cepat sampai tujuan??

Artikel dalam harian Detik edisi 26 Pebruari 2016 ini menarik untuk dibaca. Disampaikan bahwa perubahan iklim karena meningkatnya gas rumah kaca khususnya karbon dioksida menyebabkan cuaca menjadi berubah yang berakibat pada waktu tempuh dan kecepatan pesawat terbang khususnya di Amerika dan Inggris. Kecepatan terbang menuju ke arah timur akan menghemat 5 jam terbang sedangkan bila sebaliknya yakni penerbangan menuju ke barat mengakibatkan delay waktu selama 7 jam khususnya pada ketinggian 35000 kaki (11-12 km). Penelitian ini hanya melihat kota terbang yakni New York dan London. Sebenarnya menurut saya pribadi, hal ini tidaklah aneh mengingat ini merupakan ketinggian jet stream, suatu arus udara yang sangat kencang yang terjadi di sekitar tropopause antara wilayah tropis dan subtropis. Arus udara kencang ini mengarah ke Timur sehingga wajar saja bila penerbangan ke timur melalui arus udara ini akan menyebabkan pesawat terdorong dan bisa lebih cepat sampai. Dengan demikian maka ia akan bisa menghemat bahan bakar. Sebaliknya jika melawan arah arus udara  ini maka dibutuhkan bahan bakar yang lebih banyak.

https://climate.ncsu.edu/secc_edu/images/jet_streams_Polar&Sub.jpg
 https://climate.ncsu.edu/secc_edu/images/jet_streams_Polar&Sub.jpg
 Perhatikan gambar di atas. Gambar tersebut menunjukkan kedua jet stream yakni yang ada di wilayah subtropis dan kutub. Keduanya mengelilingi bumi dan arahnya tidak lurus namun seolah-olah bergelombang terhadap ruang (secara spasial) dan mungkin juga terhadap waktu. Yang dimaksud terhadap ruang adalah seperti terlihat pada gambar di atas sedangkan terhadap waktu mungkin kecepatan jet stream ini tidak terus menerus konstan namun bervariasi. Kadang lebih cepat dan kadang lebih lambat.Oleh karena itu adalah wajar jika semula hitung-hitungan kasar dalam kondisi normal antara kota A dan B berjarak 5000 km dengan kecepatan pesawat 1000 km/jam maka dapat ditempuh dalam waktu 5 jam. Namun dengan bantuan alam semacam jet stream dengan kecepatan tertentu maka bisa jauh lebih cepat sampai tujuan.

Saturday, February 13, 2016

Pawang hujan ....

Pada sebagian masyarakat kita, orang yang akan melaksanakan hajat tertentu misalnya pernikahan, sunatan, kampanye dsb meminta bantuan pawang hujan agar selama hajatan tersebut tidak sampai turun hujan. Orang-orang seperti ini masih percaya bahwa hujan bisa dihalau dengan mantra-mantra atau doa-doa tertentu. Percaya tidak percaya kadangkala itu berhasil. Entah benar entah tidak pada kenyataannya hal tersebut kadang terjadi. Melalui kekuatan gaib awan-awan yang berpotensi hujan dihalau ke tempat lain. Hal seperti ini sebenarnya secara ilmiah sulit untuk dibuktikan kebenarannya mengingat metode yang diterapkan tidak ilmiah. Suku-suku Indian jaman dahulu (mungkin masih ada sampai sekarang ??) mendatangkan hujan dilakukan melalui tarian-tarian atau ritual tertentu. Bahkan orang Islam pun bila kekeringan melanda dalam waktu lama, biasanya dilakukan sholat istisqo
http://cdn.tmpo.co/data/2011/10/02/id_92451/92451_620.jpg
mendatangkan hujan. Namun untuk membalikkan keadaan dari akan ada hujan menjadi tidak hujan, rasa-rasanya tidak ada tuntunannya dalam agama Islam. Secara ilmiah cara "mendatangkan" hujan adalah melalui kegiatan modifikasi cuaca yang dalam hal ini disebut hujan buatan. Awan-awan potensial disemai dengan menggunakan garam dapur atau perak iodida agar jatuh menjadi hujan. Sedangkan cara untuk mengurungkan hujan, negara kita belum bisa melakukannya, belum mempunyai teknologinya. Modifikasi cuaca bisa juga dilakukan melalui menjatuhkan hujan di tempat lain, misalnya seperti upaya mencegah terjadinya banjir di Jakarta. Hujan dijatuhkan di wilayah perairan selat Sunda sehingga hujan yang terjadi tidak sampai menjadi masalah di Jakarta.
Profesi pawang hujan sampai sekarang masih eksis karena masih banyak yang membutuhkannya. Bahkan ada orang-orang tertentu yang membuka kursus pawang hujan. Anda percaya atau tidak, silahkan. Yang harus dicegah adalah agar tidak ada anggapan bahwa bila ada pawang hujan maka pasti tidak akan ada hujan jatuh di tempat tersebut.

Wednesday, February 10, 2016

Mengapa di Indonesia tidak pernah terbentuk hujan salju ??

Pernahkah terpikirkan oleh anda bahwa di Indonesia terbentuk hujan salju? Kok belum pernah kedengaran ya hal demikian? Tulisan ini berusaha untuk menjawab pertanyaan pada judul di atas. Kita tahu bahwa jenis-jenis presipitasi antara lain adalah hujan, hujan salju, hujan es, hujan beku, dan lain-lain. Di wilayah Indonesia biasanya hujan berwujud air yang sering terjadi, dan hujan es yang sangat jarang terjadi. Hujan tersebut datang dari awan-awan kumulus, nimbostratus, dan kumulonimbus. Masing-masing awan tersebut menghasilkan presipitasi dengan intensitas dan durasi serta besar hujan yang berbeda. Awan jenis nimbostratus biasanya menghasilkan hujan yang deras dan dalam waktu yang lama, yang berbeda dengan karakteristik hujan akibat awan kumulonimbus.
http://uniqpost.com/wp-content/uploads/2011/12/salju-640x360.png
Awan kumulonimbus biasanya menghasilkan hujan yang tidak lama namun dengan intensitas hujan yang besar. Ukuran tetes hujan di antara kedua awan ini juga berbeda. Awan kumulonimbus menghasilkan ukuran tetes hujan yang lebih besar. Hujan es juga seringkali dihasilkan oleh awan ini karena awan ini mengandung kristal-kristal es yang ketika jatuh ke permukaan bumi tidak habis diuapkan kembali meskipun sudah bergesekan dengan udara. Es ini cukup besar ukurannya sehingga bisa mencapai permukaan bumi. Hujan salju biasanya dihasilkan oleh awan-awan stratus yang cukup banyak terdapat di lintang lebih dari 30 derajat, baik utara maupun selatan. Awan stratus termasuk awan rendah sehingga ketika temperatur udara di lapisan antara permukaan tanah sampai ketinggian dasar awan cukup rendah (di bawah 0oC) maka salju yang jatuh akan tetap berwujud salju. Proses Bergeron terjadi dalam awan ini. Berbeda halnya di wilayah tropis khususnya Indonesia, suhu udara di bawah permukaan dasar awan lebih tinggi dari 0 derajat Celcius sehingga bila terjadi turun salju maka sampai ke permukaan tanah akan berwujud air karena terpanaskan. Begitulah kira-kira jawaban atas pertanyaan di atas. Masih ingin ada yang ditanyakan?? 

Sunday, February 7, 2016

Mengapa setiap imlek turun hujan ??

Besok merupakan tahun baru imlek bagi rakyat China. Di seluruh dunia, warga negara China dan keturunannya biasanya merayakannya dengan meriah layaknya perayaan tahun baru Masehi. Di Indonesia kebiasaan ini makin tumbuh subur setelah era reformasi. Saya tidak ingin membahas lebih lanjut tentang hal tersebut namun mencoba menjawab keingintahuan masyarakat mengapa pada saat imlek sering terjadi hujan. Saya katakan "sering" artinya tidak selalu kejadian imlek terjadi hujan. Jawabnya sederhana saja. Bulan-bulan imlek biasanya adalah bulan dimana merupakan musim hujan.
Jadi wajar toh kalau terjadi hujan? Apalagi pada tahun ini jatuh pada tanggal 8 Pebruari yang bertepatan dengan musim hujan khususnya di wilayah bertipe curah hujan monsoon. Pola streamline dengan jelas menunjukkan hal tersebut. Jadi bila kalian tinggal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya maka besar kemungkinan akan terjadi hujan. Demikian pula bila kalian tinggal di Bandarlampung, Palembang, Banjarmasin, Makasar maka peluang terjadinya hujan besok tentu akan jauh lebih besar dibanding dengan di Singkawang, Malinau, dan Pare-pare serta Biak. Oleh karena itu nikmati saja-lah peristiwa hujan, tidak perlu berpikir aneh-aneh mengapa pada saat imlek terjadi hujan. Toh juga bila terjadi hujan maka merupakan berkah bagi kita semua. Pada kepercayaan orang China atau Tionghoa, hujan merupakan rejeki ... mungkin karena pada masa lalu banyak penduduk China merupakan petani sehingga bila terjadi hujan maka mereka bisa bercocok tanam, artinya rejeki bagi mereka. Selamat merayakan imlek bagi yang merayakan.  Semoga kedamaian dan kesejahteraan merengkuh kita semua. Amin. 

Friday, February 5, 2016

Pergeseran zone ...

Beberapa hari yang lalu, dalam kuliahku ada pertanyaan menarik tentang lokasi turunnya salju di Arab Saudi beberapa waktu yang lalu yang mengingatkanku pada hal yang lebih umum sifatnya. Hal tersebut adalah mengenai pergeseran zone konvergensi dan divergensi dunia. Pada umumnya wilayah ekuator dan kurang lebih lintang 60 derajat baik utara maupun selatan merupakan zone konvergensi sedangkan zone divergensi di permukaan terjadi pada lintang 30 derajat dan kutub. Naik dan turunnya massa udara pada wilayah tersebut sangat berpengaruh pada pembentukan awan-awan. Pada lokasi naiknya massa udara bila disertai dengan banyaknya uap air yang terkandung akan menyebabkan mudahnya terjadi pembentukan awan-awan. Berbeda halnya bila terjadi subsidensi dimana tekanan udara di permukaan tinggi yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan. Wilayah Indonesia merupakan wilayah pertumbuhan awan khususnya awan konvektif karena tingginya radiasi yang sampai di permukaan dan ditambah lagi dengan merupakan wilayah konvergensi yang membentuk awan-awan. Selain itu juga banyaknya pegunungan memberi kemungkinan terbentuknya awan orografis dan efek lokal lainnya seperti angin darat dan laut juga berkontribusi pada pembentukan awan. Sedangkan wilayah di 30 derajat lintang yang merupakan wilayah perbatasan zone tropis dan sub tropis seperti yang terjadi di Arab Saudi merupakan zone divergensi. Perlu diketahui bahwa Arab Saudi terletak antara lintang 15 sampai 32 derajat utara yang menyebabkannya mempunyai kawasan tropis dan sub tropis. Oleh sebab itu wilayah Tarbuk misalnya, biasa mengalami musim dingin yang berbeda dengan Mekkah dan Madinah. Terbentuknya salju di wilayah Tarbuk sudah bukan hal yang luar biasa namun kejadian serupa yang mencapai perbatasan Medinah dan Mekkah merupakan kejadian yang agak luar biasa. Terdapat tiga penyebab yang mungkin menghasilkan kejadian tersebut yakni terbentuknya gelombang dingin, pengaruh gelombang  Rossby, dan perbedaan tekanan yang tinggi antara Arab Saudi dan kutub. Kejadian-kejadian terbentuknya salju di padang pasir tersebut bersamaan kejadiannya dengan keberadaan matahari di selatan ekuator, misalnya bulan Januari. Jadi merupakan hal yang wajar jika di belahan bumi utara sebagian besar mengalami musim dingin. Namun bila kejadiannya bulan Mei seperti tahun lalu, hal ini menjadi luar biasa. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa hal tersebut bisa terjadi? Interaksi ketiga hal yang telah disebut di atas mungkin adalah jawabannya. Tapi bagaimana mekanismenya? Interaksi yang kompleks di antara ketiganya dan bergesernya zone divergensi mungkin menyebabkan terbentuknya awan-awan jenis stratus yang berpotensi menghasilkan hujan salju. Aku duga demikian. Oleh karena itu, kutunggu masukan dan kritikan kalian semua terhadap informasi yang kusampaikan di atas. Terimakasih.

Friday, January 22, 2016

Sesuaikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dengan kondisi cuaca dan musim

Sudah menjadi kebiasaan kita bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak sesuai dengan cuaca dan musim pada saat itu. Dana pembangunan biasanya turun pada saat-saat menjelang pertengahan bahkan akhir tahun. Ketika sudah akhir tahun, sibuk dengan berbagai kegiatan yang dipaksakan untuk dilaksanakan agar dana tidak hangus. Itu kalau kita mau jujur. Semua instansi pemerintah melakukan hal tersebut. Ini sebenarnya membuktikan bahwa tidak ada perencanaan yang matang dalam mengelola penggunaan dana pembangunan. Celakanya lagi ketika pembangunan  infrastruktur  dilaksanakan seringkali memasuki musim hujan khususnya bagi daerah-daerah yang bertipe curah hujan monsoonal. Hal ini tidak saja membuat pembangunan tidak efektif dan efisien namun juga membentuk karakter asal jadi sehingga keluarlah ilmu kepepet dimana semua dipercepat pada akhir tahun tidak begitu memperdulikan kualitas hasil.
Negara kita adalah Negara tropis yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote. Merupakan wilayah kepulauan yang indah yang berada di antara samudra Hindia dan Pasifik, antara benua Asia dan Australia. Mengalami pemanasan sepanjang tahun (12 jam/hari) dengan suhu yang cukup tinggi, kelembapan tinggi, dan tekanan yang rendah serta mengalami sirkulasi Hadley, Walker dan lokal. Kombinasi berbagai faktor inilah yang menyebabkan wilayah kita mempunyai perawanan (awan-awan) vertical  yang terbesar di dunia, mengalahkan yang berada di atas Amerika Selatan dan Afrika tropis. Keberadaan transfer panas melalui udara inilah yang turut menyumbang pada pola cuaca di belahan bumi berlintang lebih tinggi. Boleh dikatakan bahwa Indonesia merupakan jantungnya cuaca , musim dan iklim global. Keberadaan wilayah kontinen maritim ini membawa pengaruh pada terbentuknya osilasi dan gelombang di atmosfer yang bisa berdampak global.
Gerak semu matahari di antara lintang 23,5o LU sampai dengan 23,5o LS memberi pengaruh nyata pada pembentukan pola curah hujan di tanah air. Kita mengenal 3 pola curah hujan yakni monsoonal, ekuatorial, dan lokal. Pola monsoonal ditandai dengan tingginya curah hujan selama Desember-Januari-Pebruari  dan rendahnya curah hujan selama bulan Juni-Juli-Agustus. Dengan kata lain, bentuk monsoonal ini bila diplot antara besarnya curah hujan dan waktu (bulan) maka menyerupai bentuk huruf V. Pola ekuatorial ditandai dengan bentuk plot yang menyerupai huruf M dimana bulan Maret-April-Mei dan September-Oktober-November curah hujannya tinggi dibanding bulan-bulan lainnya. Sedangkan tipe curah hujan lokal ditunjukkan dengan pola yang berkebalikan dengan pola monsoonal. Umumnya wilayah Indonesia bertipe curah hujan monsoonal diikuti oleh tipe ekuatorial dan paling sedikit yang bertipe lokal. Area dari tipe curah hujan monsoonal adalah sebagian besar Sumatera khususnya bagian selatan, seluruh Jawa sampai Nusa Tenggara, Kalimantan bagian Selatan, sebagian besar Sulawesi, dan Papua bagian tengah. Pola ekuatorial membentang di sekitar ekuator/katulistiwa dari barat sampai timur sedangkan pola lokal banyak terjadi di wilayah sekitar pegunungan.
Dengan kondisi semacam di atas sudah seharusnya hal tersebut diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Di antara sekian banyak parameter cuaca dan iklim maka curah hujanlah yang paling terlihat dampaknya. Negara-negara di lintang tengah dan tinggi seluruhnya mempertimbangkan cuaca dan musim dalam keseharian aktivitas pembangunan. Pada saat musim dingin praktis semua pembangunan infrastruktur luar ruangan dihentikan sedangkan pada saat musim panas semuanya dipercepat. Kita kurang belajar dari pengalaman Negara-negara lain tersebut. Tidak heran kalau pembangunan infrastruktur sering boros anggaran. Seharusnya dengan 3 tipe hujan tersebut maka ada 3 tipe penganggaran.
Sebenarnya pihak yang berwenang untuk mengeluarkan ramalan musim (BMKG) telah jauh-jauh hari mengumumkan ramalannya. Ramalan cuaca bahkan setiap hari disampaikan dalam media masa cetak dan elektronik. Masyarakat pun diberi keleluasaan untuk mendapatkan informasi cuaca gratis melalui situs yang dimilikinya. Namun sayangnya informasi yang diberikan tersebut belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam semua kegiatan pembangunan. Hanya beberapa instansi saja yang sudah cukup melek (sadar) akan pentingya informasi cuaca, musim dan iklim (cusiklim) sedangkan yang lain kurang begitu peduli. Barangkali BMKG belum menyuguhkan informasi yang bisa dicerna oleh instansi-instansi tersebut untuk operasional kesehariannya. Bisa pula disebabkan oleh kasarnya resolusi informasi yang diberikan, dengan kata lain keakuratannya masih kasar karena mencakup daerah yang luas sementara yang dibutuhkan adalah yang beresolusi tinggi. Dengan sumber daya manusia yang sudah makin meningkat namun dengan dukungan instrument dan super computer yang belum memadai menyebabkan belum optimalnya ramalan yang diberikan.
Sebenarnya dengan sedikit memodifikasi lembaga semacam BMKG ini maka akan diperoleh hasil yang optimal. Kebijakan-kebijakan yang mengekang dan membatasi terhadap keterbukaan data seharusnya dihilangkan. Negara-negara maju banyak menganut sistem “open data” dimana masyarakat luas dapat mengakses data cuaca dan iklim dengan sangat mudah. Hal ini berbeda dengan di Negara kita dimana kebijakan/peraturan perundang-undangan membatasi masyarakat luas untuk memperoleh data. Bahkan dikeluarkan keppres untuk mengatur harga data. Seharusnya sudah kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan dana bagi “data collecting, processing and analyzing” yang dilakukan oleh BMKG. Masyarakat yang menggunakan data BMKG seharusnya cukup dengan mencantumkan bahwa sumber data adalah dari BMKG, misal dalam makalah-makalah yang ditulisnya. Ini tidak saja merupakan sosialisasi peran BMKG dalam pembangunan namun juga pelibatan masyarakat dalam peningkatan mutu layanan kepada masyarakat melalui kegiatan penelitian. Penelitian-penelitian yang baik akan menunjang pada peningkatan kualitas layanan informasi cuaca, musim dan iklim sehingga akan terjadi proses simbosis mutualisma (saling menguntungkan). Sudah saatnya peraturan/keppres tersebut dicabut.
Kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 kemarin sudah seharusnya membuka wawasan, cakrawala berpikir pemerintah dan masyarakat akan begitu pentingnya informasi cuaca, musim dan iklim. Bila sejak awal pemerintah menyadari pentingnya informasi cusiklim tersebut maka kejadian kebakaran hutan dan lahan kemarin tidak akan terlalu parah. Usaha yang dilakukan pemerintah seperti water bombing dan hujan buatan oleh UPT hujan buatan BPPT akan lebih efektif dan efisien. LAPAN, BMKG, Departemen LHK, BNPB, dan TNI bisa lebih focus dan tidak saling tunggu komando, apalagi kalau sudah menyangkut anggaran yang cukup riskan pertanggungjawabannya. Pada saat kunjungan kerja ke Sumatera Selatan pada saat itu Bapak Presiden tampaknya juga kurang memperoleh pemahaman yang utuh tentang cusiklim sehingga dengan sangat yakinnya menyatakan dalam satu pekan kebakaran hutan dan lahan akan teratasi. Semoga saja hal ini tidak terjadi lagi.
Selain masalah “open data” di atas, pemerintah harus menambah resolusi spasial dan temporal untuk data cusiklim dengan mempercanggih teknologi pengumpulan data misalnya dengan mengotomatisasikan pengambilan data cuaca, penyimpanannya, dan pengolahannya. Dengan perbanyakan AWS (automatic weather station) di seluruh wilayah tanah air, katakanlah satu kota mempunyai  10  AWS saja maka resolusi spasial bisa ditingkatkan dengan signifikan. Meskipun kita mendapatkan citra satelit namun hasilnya masih harus dikalibrasi dengan data pengamatan permukaan, misal dengan AWS ini. Industri instrument meteorologi dan klimatologi juga akan makin berkembang dengan penerapan alat-alat meteorologi dan AWS di seluruh tanah air, tidak lagi berorientasi impor. Bahkan mungkin akan banyak software-software produk lokal yang mampu memproses data cusiklim dengan akurat, dan banyak dampak positif lainnya.

Friday, January 15, 2016

Pertanyaan-pertanyaan tentang El Nino dan La Nina

Sidang pembaca yang budiman ... saya diminta oleh Penerbit ITB untuk memperbarui buku kecil saya "Sudah benarkah pemahaman Anda tentang El Nino dan La Nina?" yang saya tulis tahun 1998. Berkaitan dengan hal tersebut, saya minta bantuan kalian untuk mengajukan berbagai pertanyaan kepada saya terkait dengan El Nino dan La Nina. In sya allah saya akan jawab melalui buku yang akan diterbitkan tahun 2016.
Kunanti ya di: joko.wiratmo@meteo.itb.ac.id
Salam hangat penuh semangat dariku di Bandung, Jawa Barat, Indonesia.

Media masa sangat dibutuhkan untuk ...

Saat sekarang ini peran media masa sangat meningkat tajam. Semua berita baik menyangkut kegiatan politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pertahanan dan keamanan dan lain-lain sudah merupakan sajian sehari-hari dan tidak mengenal waktu. Dari mulai pagi hari, siang, sore, malam bahkan dini hari kita terpapar oleh segala macam berita baik dari media cetak maupun elektronik. Sayangnya kadangkala (atau bahkan mungkin terlalu sering) sisipan-sisipan pesan dari pemilik media terpampang luas di depan mata. Bukan hal sulit untuk membuktikan adanya pertentangan arus antara pihak media yang pro pemerintah dan yang kontra pemerintah. Di media sosial seperti twitter dan facebook juga banyak bertebaran pendapat atau berita antara pendukung dan yang kontra. Ini semua adalah berkah dari efek globalisasi dan keterbukaan informasi di negara kita. Jarang ada orang yang ditangkap karena pendapat-pendapat pribadinya yang menyudutkan pihak tertentu. Meskipun demikian sudah merupakan hal yang wajar jika media masa tidak malah mengompori suatu kasus tertentu namun harus lebih bertanggungjawab atas segala isi yang disampaikan kepada masyarakat. Masyarakat juga seharusnya kritis terhadap berita yang beredar.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, teknologi dan seni peran media ini juga sangat dibutuhkan. Ilmu dan teknologi kebumian sangat penting perannya dalam memahami tentang kondisi bumi dan perilakunya. Bencana alam yang sering terjadi di bumi Indonesia dan belahan bumi lainnya seringkali tidak diberitakan dengan baik karena keterbatasan sudut pandang para awak media. Dengan latar belakang yang sangat beragam, maka sulit untuk para awak media mampu mengemas berita tentang bencana alam dengan manis dan kaya informasi. Substansi berita jauh lebih sering memberitakan aspek-aspek sosialnya, bukan masalah bencana alam itu sendiri. Tidak salah memang hal seperti disebut di atas, namun bila aspek-aspek bencana alamnya juga turut dikupas maka masyarakat bisa tercerdaskan dan bisa turut berperanserta dalam mitigasi dan adaptasi terhadap kemungkinan bencana alam serupa terjadi. Oleh karena itu maka pendidikan dan pelatihan untuk awak media sangat diperlukan untuk  meningkatkan kemasan berita yang kaya informasi tentang suatu peristiwa bencana alam. Konsultasi dengan para pakar yang didukung oleh pemahaman wartawan yang lebih baik tentang fenomena bencana bisa mengurangi kesalahan dalam pemberitaan.