Obyektif, Independen, Sportif, Berpikir Positif, Berjiwa BESAR
Wednesday, October 4, 2017
Tuesday, September 26, 2017
Kekeringan di Indonesia diprediksi tidak akan berlangsung terlalu lama
Beberapa waktu terakhir ini media
massa tidak terkecuali harian PR memberitakan tentang kekeringan yang melanda
khususnya sebagian wilayah di Jawa Barat dan umumnya di beberapa wilayah di
tanah air. Keluhan dari warga yang mengalaminya memang sebagian ditanggapi
dengan cepat oleh pemerintah daerah
namun tidak jarang penanganannya terkesan lambat. Wilayah-wilayah yang sulit
terjangkau kendaraan roda empat merupakan wilayah yang paling menderita
mengingat bantuan air dari pemerintah daerahnya selalu terlambat sehingga
masyarakat harus berjuang sendiri untuk beradaptasi dengan kekeringan. Sebenarnya
terdapat 3 jenis kekeringan yakni kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian.
Tujuan dari tulisan ini adalah mengungkapkan peluang / kemungkinan sampai kapan
kekeringan ini berlangsung dan bagaimana upaya yang semestinya dilakukan agar
dampak kekeringan pada masyarakat semacam ini bisa diminimalisasi.
Faktor-faktor
pengontrol musim di Indonesia
Di
Indonesia terdapat 3 jenis pola sirkulasi atmosfer yang berpengaruh pada proses
pembentukan hujan. Ketiganya adalah sirkulasi Hadley yang berarah Utara –
Selatan, sirkulasi Walker yang berarah Barat – Timur, dan sirkulasi lokal
seperti angin darat, laut, lembah, dan gunung. Interaksi ini berlangsung
sedemikian kompleks sehingga menghasilkan tiga jenis pola curah hujan yakni
pola monsoonal, ekuatorial dan lokal atau disebut masing-masing sebagai pola A,
B, dan C. Ketiga pola sirkulasi di atas dikendalikan pula oleh kondisi monsoon,
ENSO (El Nino and Southern Oscillation) dan Dipole Mode. Wilayah Jawa Barat
mempunyai tipe curah hujan monsoonal artinya pada bulan-bulan Juni-Juli-Agustus
curah hujannya kecil bahkan mungkin tidak ada hujan sama sekali. Sedangkan
puncak musim hujan berkisar bulan Desember-Januari-Pebruari. Mengingat hal
demikian maka kesetimbangan air dalam tanah juga akan terpengaruh yang memicu
adanya surplus dan defisit air di tanah.
Bagaimana kondisi saat ini?
Secara klimatologis, indeks AUSMI
(Australian Monsoon Index) menunjukkan nilai negatif sehingga kemunculan
monsoon yang menghasilkan hujan kemungkinan sangat kecil terjadi. Indeks ini
dikembangkan antara lain bisa digunakan untuk mengetahui kira-kira kapan musim
kemarau dan hujan di Indonesia terjadi. Ia meliputi area sebagian wilayah
Indonesia bagian Tenggara dan sebagian wilayah Utara Australia.
El Nino yang berulang dengan intensitas
berbeda setiap 2-7 tahun juga membawa dampak yang cukup signifikan bagi musim
di Indonesia. Umumnya El Nino membawa dampak pengurangan curah hujan yang
signifikan khususnya di Indonesia bagian Timur. Wilayah yang biasanya digunakan
sebagai patokan untuk menentukan indeks El Nino adalah wilayah Nino 3.4 yang
kurang lebih sempit yang dibatasi dengan 5o LU – 5o LS
yang membujur sekitar ekuator di tengah-tengah samudra Pasifik. Sampai bulan
Juli 2017 kemarin, anomali suhu permukaan laut di wilayah tersebut menunjukkan
tren penurunan positif. Ini berarti peluang terjadinya El Nino agak menurun.
Hal tersebut dikuatkan oleh prediksi peluang terjadinya El Nino yang menurun
dari 46% menjadi 40% di bulan Juli – Agustus – September. Sementara itu kondisi
normal berpeluang lebih besar yakni sebesar 56%, jauh dibanding prakiraan La
Nina yang hanya 4% saja. Peluang pola normal juga masih akan berlangsung di
atas 50% sampai Oktober – November mendatang sementara peluang El Nino sedikit
mengalami penurunan dan La Nina menguat sampai sedikit di atas 10%. Prediksi
model ENSO (El Nino and Southern Oscillation) dari banyak instansi menunjukkan
kemungkinan anomali suhu permukaan laut yang bernilai positif sampai dengan
akhir tahun ini. Ini berarti ada
kemungkinan El Nino terjadi tapi lebih
besar kemungkinannya untuk terjadi kondisi normal.
Faktor besar ketiga yang penting
untuk dipantau keberadaannya adalah suhu permukaan laut di samudra Hindia
ekuator bagian barat dan timur yakni pantai timur Afrika dan pantai barat Sumatera
Indonesia yang dinyatakan dengan Indeks
Dipole Mode (IODM). Prediksi yang dilakukan oleh 6 badan dunia 80% menunjukkan
bahwa nilai IODM netral/normal sedangkan dua lainnya yakni badan meteorologi
Kanada dan Inggris meramalkan nilai yang positif. Secara rata-rata dapat
dikatakan bahwa kondisi saat ini adalah normal.
Salah satu
model peramalan peluang presipitasi (salah satu bentuknya adalah curah hujan)
global menunjukkan bahwa wilayah Indonesia berpeluang 40-50% hujan di atas
normal. Wilayah Jawa Barat sendiri berpeluang hujan di atas normal sebesar
40an% pada bulan September – Oktober – November 2017. Ini berarti bahwa peluang
kondisi di bawah normal sampai normal mendekati 60%.
Dengan demikian maka mengingat
kondisi kliimatologis dan hasil prediksi berbagai lembaga dunia (dengan catatan: bila itu benar) menunjukkan
bahwa peluang terbesar saat ini adalah berada dalam kondisi normal. Yang
menarik adalah mengapa pada saat kondisi normal justru saat ini sebagian
wilayah mengalami kekeringan?? Beberapa jawaban yang mungkin tidak memuaskan adalah
sebagai berikut. Pertama, kesetimbangan air di alam terganggu akibat interaksi
yang kompleks antara proses-proses di alam dan manusia. Kedua adalah kondisi
iklim yang berubah. Pemanasan global yang dipicu oleh keberadaan peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menghasilkan perubahan iklim di banyak
tempat di bumi. Perusakan lingkungan menyebabkan neraca air di alam terganggu
yang memicu terjadinya 3 jenis kekeringan di atas. Oleh sebab itu untuk
beberapa waktu ke depan kita masih harus bersabar agar musim hujan segera
terjadi.
Saat ini yang harus dilakukan
dalam jangka pendek adalah gerakan hemat air. Instansi terkait melakukanmanajemen air yang lebih baik agar surplus dan defisit air bisa dikontrol.
Dalam jangka panjang harus mendidik masyarakat untuk mencintai lingkungannya
karena sekecil apapun yang manusia lakukan, dalam jangka panjang ada imbasnya
ke diri manusia.
Kampus Ganesha Bandung, 18 September 2017
Sunday, September 10, 2017
Weather and climate literacy forum
Baktiku pada negeri ini sebagai ungkapan rasa syukur terhadap berbagai nikmat yang telah kami peroleh dan keinginanku untuk berbagi dan memberdayakan masyarakat khususnya generasi muda di Indonesia terhadap berbagai bencana alam yang terkait dengan cuaca, musim dan iklim. Mulai Oktober 2017, kegiatan ini kuperluas untuk seluruh penjuru wilayah tanah air. Silahkan manfaatkan kesempatan ini dengan baik. Hubungi contact person nya ya.
Friday, June 16, 2017
Kemarau basah lagi??
Beberapa waktu terakhir menunjukkan bahwa masih banyak curah hujan terjadi di banyak wilayah, padahal bulan ini seharusnya sudah memasuki musim kemarau. Adalah wajar bila saat ini terjadi banyak curah hujan khususnya di wilayah berpola curah hujan lokal (tipe C), namun untuk yang bertipe A, tentu ini merupakan hal yang cukup janggal. Apakah ini pertanda bahwa terjadi kemunduran waktu atau perpanjangan musim hujan? Ataukah tahun ini merupakan tahun dimana kemarau basah terjadi lagi?? Mungkinkah karena telah terjadi perubahan iklim akibat pemanasan global yang makin cepat?? Ini semua memaksa kita untuk meneliti banyak faktor yang berpengaruh pada curah hujan. Moga-moga pelatihan 11-12 Juli 2017 bisa menjawab keingintahuan kita bersama. Salam lestari.
Wednesday, May 17, 2017
Pelatihan pemberdayaan masyarakat tanggap bencana alam
Memenuhi permintaan masyarakat akan pelatihan bencana hidrometeorologi, maka kami akan mengadakan Pelatihan "pemberdayaan masyarakat tanggap bencana banjir, longsor, dan kekeringan" yang akan dilaksanakan pada 11-12 Juli 2017. Diskon khusus untuk para guru SMP dan SMA dimana pendaftar yang membawa 10 orang rekannya dengan biaya @ Rp. 1,5 juta, diberikan 1 kursi gratis. Bagi masyarakat lainnya yang membawa 10 orang pendaftar @ Rp. 2,5 juta, diberikan 1 kursi gratis. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada leaflet terlampir. Anda berminat dan tertarik untuk mengikuti pelatihan ini?? Silahkan segera mendaftar. Kuota peserta terbatas. Sampai jumpa dalam pelatihan ini. Salam.
Friday, May 5, 2017
Bencana lagi di Bandung Jawa Barat
Sumber: Youtube, banjir Ciwidey 3 Mei 2017
Kembali lagi Bandung dilanda bencana alam seperti terlihat pada video di atas. Kali ini hujan deras yang menyapu Bandung selatan menyebabkan banjir yang menghanyutkan beberapa rumah semi permanen. Di pusat kota hujan deras, hujan es dan angin kencang yang menumbangkan pohon, pagar lapangan tenis sehingga menimpa mobil dan menerbangkan apa saja yang ringan. Mengapa sampai terjadi semacam ini?? Pemanasan global, perubahan iklim, kerusakan lingkungan??? Tampaknya kita harus berpikir pada berbagai skala ruang dan waktu. Tidak hanya melihat dalam skala lokal saja, tetapi juga regional dan bahkan global. Mengapa hanya Bandung saja sementara kota-kota di sekitarnya tidak?? Rentang waktunyapun tidak berselang lama. Dua minggu yang lalu hal yang kurang lebih sama juga terjadi.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan peristiwa semacam ini. Untuk menjawabnya secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, dibutuhkan data yang baik. Citra radar, satelit, observasi permukaan pada skala mikro sampai makro mutlak diperlukan. Ke depan para pekerja meteorologi harus makin sering duduk bersama memecahkan masalah prediksi cuaca, musim dan iklim beserta analisisnya sehingga masyarakat makin tercerahkan dan menyadari bahwa kita makin rentan dan berisiko terhadap fenomena cuaca dan iklim. Bila masing-masing bekerja parsial dan tidak terinstitusikan maka masyarakat akan kurang memperoleh manfaat keberadaan para pakar meteorologi dan klimatologi. Gerak institusi yang luwes dan tidak terkungkung oleh faktor birokrasi dan administrasi akan menghadirkan hasil-hasil penelitian yang makin mampu menjawab keinginan masyarakat dan memuaskan semua pihak. Kreativitas dan kritivitas harus dipelihara dan ditingkatkan tanpa terganggu oleh berbagai macam aturan. Semoga.
Thursday, April 20, 2017
Peristiwa hujan deras, hujan es (hail) dan angin kencang
Kemarin sekitar jam 13-15 wib, terjadi hujan deras dan angin kencang di Bandung. Peristiwa ini agak tidak biasanya karena disertai dengan hujan es (hail). Biasanya hujan deras disertai dengan angin kencang tidak membawa hujan es. Setelah kejadian tersebut diketahui bahwa di banyak tempat terdapat ranting pohon patah, pohon-pohon bertumbangan, baliho papan reklame roboh, atap-atap seng berterbangan entah kemana dll. Bisa diduga bahwa kecepatan anginnya cukup tinggi. Coba kalian lihat, berapa skala kecepatan angin menurut Beoufort. Di salah satu kecamatan di Bandung bahkan hujan es nya menyerupai butiran-butiran salju dan menjadi mainan anak-anak. Pertanyaan yang menarik untuk dijawab adalah bagaimana hal ini bisa terjadi. Coba simak tulisan saya yang diposting pada tanggal 31 Maret 2016 berikut ini. Peristiwa yang mirip yang juga terjadi di Bandung.
Tuesday, April 11, 2017
Rencana pemindahan ibukota negara Indonesia
Rencana pemindahan ibukota negara Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Hal ini diwacanakan presiden Jokowi terkait berbagai permasalahan yang mendera ibukota negara yang tidak kunjung terselesaikan. Kemacetan lalu lintas, banjir, dan berbagai permasalahan sosial sudah makin sulit untuk diatasi. Bayangkan saja jika siang hari penduduk Jakarta mencapai 12 juta jiwa, bagaimana bisa mengurai benang kusut tersebut. Jalan raya yang pertumbuhannya tidak secepat pertumbuhan kendaraan pribadi memberikan andil yang besar pada masalah transportasi. Transportasi menjadi tidak ekonomis dan pencemaran udara meningkat pesat. Tidak adanya batasan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadikan pada jam-jam sibuk, kemacetan lalu lintas terjadi dimana-mana. Rencana Light Mass Transport tampaknya juga membutuhkan waktu yang lama mengingat kondisi keuangan negara yang masih compang-camping. Pemasukan negara-pun masih banyak yang bocor karena korupsi berjamaah. Penuntasan kasus korupsi pun membutuhkan waktu yang lama karena tidak adanya efek jera. Mungkin jika pelaku korupsi yang sudah terbukti diberikan hukuman mati maka akan mengurangi tindak pidana korupsi tersebut secara signifikan.
Banjir yang berkali-kali terjadi tidak menyebabkan masyarakat kapok datang ke Jakarta. Wilayah-wilayah yang praktis setiap kali musim hujan banjir tidak menyebabkan penduduk pindah ke lain tempat. Harga tanah di tempat langganan banjir tersebut tidak pernah turun bahkan cenderung tetap naik. Ini mengingat tanah bernilai investasi tinggi dan tidak ada di dunia ini pabrik yang memproduksi tanah/lahan. Hal ini berbeda dengan bahan-bahan atau material bergerak yang selalu cenderung turun karena aus dan sebagainya. Harga rumah horizontal juga cenderung membumbung sehingga harus diatasi dengan pembangunan rumah vertikal. Jakarta masih merupakan magnet yang sangat kuat untuk mendorong seseorang mengais rejeki di sana. Rencana pemerintah untuk merelokasi pusat pemerintahan ke wilayah lain patut mendapatkan apresiasi mengingat sudah tidak mungkin lagi mengharapkan kondisi metropolitan yang rapi, teratur, bebas bencana alam, dan nyaman untuk melaksanakan pekerjaan pemerintahan. Meskipun pusat perekonomian masih tetap dipertahankan namun kemungkinan pertumbuhannya tidak akan sepesat seperti saat sekarang ini. Biasanya pusat pertumbuhan ekonomi akan mengikuti kemana pusat pemerintahan akan dilaksanakan.
Dahulu saat bung Karno masih berkuasa, sudah ada wacana untuk memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya Kalimantan Tengah. Barangkali hal ini merupakan salah satu strategi perang menghadapi kolonial Belanda. Palangkaraya dianggap sebagai tengah-tengah nusantara sehingga ke Barat, Selatan, dan Timur wilayah kita lebih cepat dijangkau, tidak seperti saat ini. Permasalahannya adalah bahwa wilayah Kalimantan merupakan wilayah banyak hutan sehingga dikhawatirkan akan makin merusak hutan-hutan tropis yang tumbuh subur di sana. Di era reformasi, laju perusakan kawasan hutan di wilayah Kalimantan dan berbagai pulau lainnya terjadi dengan cepat sehingga diduga pemindahan pusat pemerintahan bisa berakibat makin menyuburkan pembalakan hutan. Di sisi lain, mungkin pula pengawasan kawasan hutan akan makin membaik bila Palangkaraya jadi ibukota negara. Pembangunan infrastruktur hampir pasti akan merusak tanah dan kawasan hutan.
Saat pemerintahan orde baru pimpinan Soeharto, persiapan pemindahan pusat pemerintahan ke Jonggol Bogor Jawa Barat juga sudah dilakukan sejak lama. Namun sayangnya karena krisis moneter tahun 1998 berakibat pada tumbangnya orde baru dan menyebabkan berantakannya rencana semula. Pada era SBY, wacana ini pun sudah disampaikan ke publik tetapi tidak mendapatkan respon yang memadai dari masyakat.
Bila dasar dari pemindahan tersebut adalah seperti disampaikan di atas dan terkait dengan masalah efektifitas dan efisiensi pemerintahan maka adalah wajar-wajar saja meskipun untuk itu dibutuhkan kajian yang komprehensif dan holistik. Beberapa negara telah melakukannya seperti pemindahan dari Bombay ke Mumbay India, Rio de Janeiro ke Brazilia di Brazil, dll. Semuanya bertujuan untuk meningkatkan layanan masyarakat dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Pada jaman Habibie, untuk meningkatkan pemerataan kue pembangunan maka telah ditetapkan beberapa pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai pulau di Indonesia. Sayang beribu sayang bahwa rencana yang bagus ini tidak dilanjutkan oleh presiden berikutnya. Mungkin karena khawatir dan takut dibilang mengekor. Pembangunan yang kita laksanakan masih merupakan pembangunan kelompok/dinasti/regime suatu pemerintahan sehingga pembangunan sistem tidak berjalan dengan lancar. Setiap ganti pemerintahan ganti kebijakan sehingga resultan pembangunan jalan di tempat. Euforia demokrasi juga berkembang dan kadangkala menghancurkan tatanan yang sudah ada. Demokrasi diartikan sebagai berbuat semau gue. Bila demokrasi ini masih berada dalam bingkai 4 pilar kebangsaan maka kekhawatiran banyak pihak akan pecahnya NKRI tidak akan pernah terjadi. Di sinilah peran pendidikan turut bermain seperti tercantum dalam pembukaan UUD 45 yang asli.
Masih kita tunggu realisasi kajian holistik pemindahan pusat pemerintahan ini dalam beberapa waktu ke depan. Apakah akan jalan di tempat, hangat-hangat kotoran ayam, atau benar-benar ditindaklanjuti secara nyata??
Thursday, March 23, 2017
Hari meteorologi sedunia
Hari ini tanggal 23 Maret merupakan hari meteorologi sedunia. Banyak kegiatan dilaksanakan untuk memperingatinya meskipun tidak mendapat sorotan media masa secara luas. Seminar-seminar dilaksanakan untuk mengingatkan kembali peran penting bidang meteorologi dalam kehidupan sehari-hari. Tema peringatan tahun ini, seperti yang disampaikan oleh WMO (World Meteorological Organization), adalah "Understanding clouds"mengingat peran penting perawanan dalam memahami siklus hidrologi, cuaca, dan iklim. Awan penting dalam peramalan cuaca dan juga pemahaman tentang perubahan iklim. Anda bisa baca mengapa awan penting dan menjadi sorotan WMO kali ini di sini. Himpunan Mahasiswa Meteorologi ITB "Atmospheira" mengadakan acara lomba foto awan yang menurut ketuanya direncanakan hari ini pengumuman pemenangnya.
Yang menjadi perhatian saya kali ini justru pada peran yang harus dimainkan oleh institusi-institusi yang terkait Meteorologi untuk menjawab berbagai permasalahan yang dijumpai masyarakat sehari-hari. Tidak jarang muncul issue-issue terkait meteorologi yang harus segera mendapatkan respon agar tidak menjadi berita menyesatkan. Berita hoax yang "sengaja" dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan tertentu yang beredar di media masa dan media sosial harus dilawan dengan memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat. Tugas ini merupakan tugas besar yang tidak hanya merupakan tugas pemerintah saja tetapi juga semua elemen masyarakat kampus dan institusi-institusi resmi bidang meteorologi. Perhatian kita sering pada wilayah Jawa saja padahal banyak permasalahan penting yang terjadi di nun jauh di wilayah-wilayah pelosok tanah air. Oleh karena itu wajar bila sumber daya manusia yang handal harus juga ditempatkan di wilayah-wilayah pelosok agar kemanfaatan meteorologi dapat dirasakan masyarakat secara langsung. Semoga pada peringatan hari meteorologi tahun depan sudah banyak kemajuan yang dicapai agar masyarakat luas makin menyadari arti penting mempelajari meteorologi. Aamiin.
Tuesday, March 21, 2017
Gerak semu matahari ...solstice dan equinox
Beberapa hari yang lalu (tepatnya tanggal 17 Maret 2017 jam 12.30 WIB) melalui facebook seorang sobat kental Prof. Dewayany (BIG) menanyakan tentang heboh equinox. Pertanyaan tersebut muncul saat saya memposting tentang "Apa kabar monsoon ??" yang ada di blog ini saya sharing ke FB. Beberapa hari masih timbul tanda tanya bagi saya ... heboh equinox yang mana ya ... saya tidak mendengar ada heboh tentang hal tersebut. Saya malu mau tanya ke beliau maksud heboh equinox (ekuinoks) itu yang bagaimana karena ekuinoks ya biasa-biasa saja menurut saya. Malu bertanya ... mosok di bidang sendiri kok nggak dengar ada heboh begitu. Saya baru ngeh waktu hari ini rekan saya dari Fakultas Geografi UGM Dr. Emilya di Detik.com menyinggung tentang heboh-heboh itu. Geli rasanya.
Rasanya saya pun tidak perlu lagi menjelaskan panjang lebar karena setidaknya jawaban bu Emilya sudah cukup. Tambahan sedikit dari saya ... ada istilah aphelium (aphelion) dan perihelium (perihelion). Aphelium untuk menyatakan jarak terjauh antara bumi matahari dan perihelium adalah jarak terdekat antara bumi dan matahari. Mengapa bisa timbul kedua hal tersebut?? Ini tidak lain karena lintasan edar bumi mengelilingi matahari berbentuk elips (lonjong). Bila lintas edar tersebut berbentuk bulat maka tidak ada kedua istilah tersebut. Aphelium (152 juta km) terjadi pada bulan Januari dan perihelium (147 juta km) terjadi pada Juli. Di BBU justru pada saat bulan Januari merupakan musim panas sedangkan bulan Juli merupakan musim dingin. Lho padahal pada saat jarak terdekat matahari - bumi kok justru musim dingin sedangkan pada saat terjauh kok musim panas?? Entar heboh lagi ??..... Tunggu jawabannya ya ...
Rasanya saya pun tidak perlu lagi menjelaskan panjang lebar karena setidaknya jawaban bu Emilya sudah cukup. Tambahan sedikit dari saya ... ada istilah aphelium (aphelion) dan perihelium (perihelion). Aphelium untuk menyatakan jarak terjauh antara bumi matahari dan perihelium adalah jarak terdekat antara bumi dan matahari. Mengapa bisa timbul kedua hal tersebut?? Ini tidak lain karena lintasan edar bumi mengelilingi matahari berbentuk elips (lonjong). Bila lintas edar tersebut berbentuk bulat maka tidak ada kedua istilah tersebut. Aphelium (152 juta km) terjadi pada bulan Januari dan perihelium (147 juta km) terjadi pada Juli. Di BBU justru pada saat bulan Januari merupakan musim panas sedangkan bulan Juli merupakan musim dingin. Lho padahal pada saat jarak terdekat matahari - bumi kok justru musim dingin sedangkan pada saat terjauh kok musim panas?? Entar heboh lagi ??..... Tunggu jawabannya ya ...
Tuesday, March 14, 2017
Apa kabar monsoon ??
Monsoon, monsun, atau muson pada dasarnya sama saja. Beda lafalnya saja, makhluknya sama. Monsoon merupakan angin yang berbalik arah secara musiman akibat perbedaan pemanasan antara daratan dan lautan. Ini berbeda dengan angin darat dan angin laut yang tidak berbalik arah secara musiman tapi harian. Angin disebut monsoon bila ia berbalik arah hampir setiap 6 bulan sekali dan harus memenuhi beberapa hal lainnya, misalnya kecepatannya minimal 3 m/s, pembalikan arahnya lebih dari 120 derajat, dan mempunyai kemantapan (persistensi) angin yang tinggi (lebih dari 60%). Beberapa wilayah yang mempunyai pola monsoon antara lain Afrika Barat dan Timur, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara dan Australia, dan Amerika. Di antara semua wilayah monsoon tersebut yang paling berkembang adalah monsoon Asia Tenggara dan Australia bagian Utara. Pembahasan tentang monsoon ini sudah diperkenalkan sejak SD dan dapat digambarkan dengan sederhana. Saat matahari di BBU (belahan bumi utara) maka tekanan udara di BBU lebih rendah daripada di BBS (belahan bumi selatan). Akibatnya bertiup angin dari BBS ke BBU dan ketika melewati ekuator maka angin tenggara ini akan berbelok menjadi angin barat daya. Sebaliknya pada saat matahari di BBS maka pola yang berbalikan terjadi. Pada kasus pertama dampak yang ditimbulkannya biasanya adalah musim hujan di banyak wilayah di tanah air, sebaliknya pada kasus kedua curah hujan akan jauh berkurang karena pembentukan awan hujan tidak banyak terjadi sehingga kemarau atau musim kering berkembang di sebagian wilayah di tanah air. Pembahasan yang lebih komprehensif tersedia di sini.
Indeks monsoon merupakan salah satu indikator untuk melihat apakah pola monsoon mulai berkembang, apakah untuk Indonesia telah memasuki musim kemarau ataukah hujan. Salah satu indeks yang digunakan adalah indeks monsoon Australia (AUSMI) yang memperlihatkan bagaimana rata-rata wilayah indeks tersebut pada ketinggian 850 mb di wilayah 110 - 130 E dan 5 - 15 S.
Untuk tahun 2017 ini kondisinya diramalkan mulai menurun seperti terlihat pada gambar di atas.
Ini menunjukkan bahwa pola curah hujan wilayah kajian (sebagian Indonesia dan Australia) telah mengalami tren penurunan. Dengan demikian maka kondisi ini adalah kondisi yang normal dimana pada bulan-bulan mendatang curah hujannya mulai menurun dan mungkin wilayah Indonesia mengalami musim kemarau dalam waktu dekat. Indeks monsoon yang cocok untuk memperkirakan awal musim di Indonesia ini juga merupakan salah satu topik penelitian saya yang sangat menarik untuk dikaji. Ok segini dulu, lain waktu akan disampaikan kondisi ENSO di lautan Pasifik ekuator yang berpengaruh pada cuaca dan musim di Indonesia.
Sunday, March 12, 2017
Prediksi Dipole mode sampai dengan pertengahan tahun 2017
Anda pernah dengar istilah Dipole Mode kan?? Dalam bahasa asalnya sering disebut sebagai IODM Indian Ocean Dipole Mode. Benar bahwa DM ini terjadi di samudra Hindia sesuai dengan namanya. Ia merupakan peristiwa yang kurang lebih sama seperti El Nino dan La Nina namun dengan beberapa perbedaan. Pertama adalah bahwa DM membandingkan antara kejadian anomali suhu permukaan laut di perairan ekuator sebelah Timur Afrika dan di sebelah Barat Sumatera. Bila selisih keduanya adalah positif maka disebut DM (+), sedangkan bila selisihnya negatif maka disebut DM (-). Bila selisih nilainya berada dalam range plus minus 0,4 maka dikatakan sebagai kondisi netral. Dampak peristiwa DM pada wilayah Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
Kedua adalah bahwa tidak ada istilah wilayah Dipole 1,2,3, 3.4, dan 4 dimana pada saat kita membicarakan El Nino dan La Nina di samudra Pasifik dikenal istilah wilayah Nino 1,2,3, 3.4, dan 4. Ketiga bahwa tidak dikenal istilah DM Modoki di wilayah samudra Hindia ini. Yang keempat adalah dampak Dipole Mode lebih dirasakan untuk wilayah Indonesia bagian Barat dibandingkan dengan ENSO yang lebih berpengaruh pada kondisi cuaca, musim, dan iklim di wilayah Indonesia bagian Timur. Point kedua dan ketiga ini merupakan bahan kajian ilmiah dan penelitian saya saat ini.
Hasil prediksi oleh 5 institusi besar dunia yakni BoM Australia, METEO Perancis, ECMWF Eropa, NASA Amerika Serikat dan UKMO Inggris menunjukkan bahwa sampai dengan pertengahan tahun ini nilai indeks dipole mode menunjukkan angka di antara plus dan minus 0,4. Ini berarti sampai dengan bulan Juli 2017, kondisi DM adalah netral. Dengan demikian bila prediksi lembaga-lembaga tersebut benar maka di sebagian wilayah Indonesia akan mengalami hujan yang cukup karena terdapat pola konvergensi dan konveksi yang cukup kuat. Namun demikian kita juga harus meninjau pola monsoon dan ENSO di samudra Pasifik. Pembahasan tentang kedua fenomena ini akan disampaikan pada tulisan berikutnya. Oke segini dulu ya, nanti kita lanjutkan lagi. Salam hangat penuh semangat.
Tuesday, February 28, 2017
Monday, February 20, 2017
Thursday, February 16, 2017
Buku Anomali cuaca dan iklim Indonesia
Sidang pembaca yang budiman, Pebruari 2017 ini saya meluncurkan buku "Anomali cuaca dan iklim Indonesia" yang merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan saya dalam blog-blog yang saya miliki. Anda bisa beli di toko-toko buku atau bisa dipesan di Penerbit ITB jl. Ganesha 10 Bandung tlp. (022) 2504257 atau fax. (022) 2534155 email: itbpress@penerbit.itb.ac.id
Ditunggu kritikan dan sarannya di : joko.wiratmo@meteo.itb.ac.id
Ditunggu kritikan dan sarannya di : joko.wiratmo@meteo.itb.ac.id
Thursday, February 2, 2017
Hubungan Pilkada dengan cuaca
Gegap gempita akan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di seluruh tanah air dalam waktu dekat ini menguras energi bangsa Indonesia. Saling serang saling tuntut saling membully dilakukan oleh pasangan calon dan para pendukungnya dalam upaya memenangkan pilkada. Kadangkala cara-cara yang tidak fair, menggunakan tangan-tangan yang tidak tampak, sering dilakukan. Para buzzer di media sosial saling hujat dan menjelekkan pasangan calon pihak lain. Euforia demokrasi yang ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi memang menjadi kekuatan yang sangat dahsyat untuk menggiring opini masyarakat. Bila pemerintah tidak cepat tanggap pada hal ini maka bisa-bisa persatuan dan kesatuan bangsa menjadi taruhannya apalagi banyak berita hoax berseliweran di masyarakat.
Kampanye-kampanye terbuka di luar ruangan sangat dipengaruhi oleh cuaca. Hujan bisa menghambat para pasangan calon dalam mengkampanyekan program-programnya dan menggiring massa untuk menghadirinya. Bahkan hujan bisa membatalkan kampanye di lapangan terbuka. Musim hujan yang saat ini banyak terjadi khususnya di wilayah monsoon (baca pola hujan di Indonesia) dapat pula menjadi topik pembicaraan pasangan calon. Program mengatasi banjir bisa ditawarkan kepada warga masyarakat karena memang program-program semacam ini adalah program yang riil dan menyangkut kehidupan masyarakat sehari-hari. Program kali bersih, program rain water harvesting, program pemberantasan sarang dan jentik-jentik nyamuk merupakan program-program yang bisa disosialisasikan kepada penduduk.
Hal yang paling penting adalah saat pencoblosan. Bila hari hujan, maka biasanya masyarakat akan malas untuk keluar rumah dan mencoblos kartu pemilihan. Bulan Pebruari merupakan bulan basah dan banyak hujan maka bersiaplah untuk kecewa bila partisipasi warga masyarakat pada pilkada tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat kita makin cerdas dan rasional serta tidak terlalu paternalistik apalagi masyarakat perkotaan. Mereka akan memilih calon kepala daerah yang track record nya baik, mampu menunjukkan prestasi nyata, santun, dan tidak neko-neko (aneh-aneh, membuat onar) dsb. Faktor agama juga sering membawa pengaruh tersendiri. Kita harapkan pada saat hari pemungutan suara, cuaca cerah sehingga masyarakat akan berbondong-bondong ke bilik suara memilih pasangan calon yang mereka sukai. Semoga pula tidak terjadi keonaran atau huru-hara setelah pencoblosan dan pengumuman pemenang disampaikan karena cuaca juga meneduhkan. Aamiin.
Suasana saat pemilihan kepala daerah (https://www.babatpost.com)
Kembali ke judul di atas. Adakah hubungan antara pilkada dengan cuaca?? Jelas ada! Kondisi cuaca mempengaruhi psikologis manusia. Cuaca yang panas, terik, dan banyak debu beterbangan menyebabkan manusia mudah tersulut emosinya. Oleh karena itu biasanya temperamen orang kota lebih tinggi dibandingkan orang desa. Iklim yang kering seperti yang banyak ditemui di wilayah pantai menyebabkan temperamen orang pantai (misal nelayan) lebih tinggi dibandingkan orang desa (petani). Masyarakat yang berada di wilayah padang pasir lebih tinggi temperamennya dibanding masyarakat agraris di wilayah tropis. Dalam hal pilkada, temperamen orang-orang yang sudah tinggi akan menjadi lebih tinggi lagi kalau cuaca panas dan terik.Kampanye-kampanye terbuka di luar ruangan sangat dipengaruhi oleh cuaca. Hujan bisa menghambat para pasangan calon dalam mengkampanyekan program-programnya dan menggiring massa untuk menghadirinya. Bahkan hujan bisa membatalkan kampanye di lapangan terbuka. Musim hujan yang saat ini banyak terjadi khususnya di wilayah monsoon (baca pola hujan di Indonesia) dapat pula menjadi topik pembicaraan pasangan calon. Program mengatasi banjir bisa ditawarkan kepada warga masyarakat karena memang program-program semacam ini adalah program yang riil dan menyangkut kehidupan masyarakat sehari-hari. Program kali bersih, program rain water harvesting, program pemberantasan sarang dan jentik-jentik nyamuk merupakan program-program yang bisa disosialisasikan kepada penduduk.
Hal yang paling penting adalah saat pencoblosan. Bila hari hujan, maka biasanya masyarakat akan malas untuk keluar rumah dan mencoblos kartu pemilihan. Bulan Pebruari merupakan bulan basah dan banyak hujan maka bersiaplah untuk kecewa bila partisipasi warga masyarakat pada pilkada tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat kita makin cerdas dan rasional serta tidak terlalu paternalistik apalagi masyarakat perkotaan. Mereka akan memilih calon kepala daerah yang track record nya baik, mampu menunjukkan prestasi nyata, santun, dan tidak neko-neko (aneh-aneh, membuat onar) dsb. Faktor agama juga sering membawa pengaruh tersendiri. Kita harapkan pada saat hari pemungutan suara, cuaca cerah sehingga masyarakat akan berbondong-bondong ke bilik suara memilih pasangan calon yang mereka sukai. Semoga pula tidak terjadi keonaran atau huru-hara setelah pencoblosan dan pengumuman pemenang disampaikan karena cuaca juga meneduhkan. Aamiin.
Saturday, January 21, 2017
Monsoon di Afrika
Membicarakan tentang monsoon tidak hanya membicarakan wilayah Asia Tenggara dan Australia bagian utara saja ini karena monsoon banyak terjadi di wilayah tropis. Monsoon merupakan pembalikan arah angin musiman yang terjadi karena perbedaan pemanasan antara daratan dan lautan. Kriteria Ramage (1971) masih digunakan sampai dengan saat ini untuk mengkatagorikan suatu kawasan sebagai wilayah monsoon. Kriteria tersebut menyatakan bahwa wilayah monsoon adalah wilayah dimana angin berbalik arah secara musiman lebih dari 120 derajat antara musim panas dan musim dingin, persistensi angin lebih dari 40%, kecepatan anginnya rata-rata lebih dari 3 m/s, dan distribusi tekanannya renggang. Terdapat 5 wilayah monsoon yakni monsoon Afrika (Barat dan Timur), Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara dan Australia, dan Amerika ekuator. Salah satu daerah yakni monsoon Afrika menarik untuk ditinjau karena mempunyai karakteristik yang unik. Monsoon Afrika barat terjadi saat BBU sedang mengalami musim panas yang terjadi pada bulan Juni sampai September sedangkan monsoon Afrika timur terjadi ketika BBU sedang mengalami musim semi dan musim gugur atau pada bulan-bulan MAM dan OND. Monsoon Afrika barat terjadi karena adanya pergerakan massa udara dari arah barat daya Samudra Atlantik yang banyak membawa uap air dan adanya pergerakan ITCZ (intertropical convergence zone) di bagian utara katulistiwa. Monsoon ini membawa pengaruh kekeringan khususnya di sebelah utara ITCZ. Perhatikan gambar di bawah ini. Tampak bahwa pertemuan massa udara basah dari barat daya dan massa udara sangat panas dan kering yang terjadi di ITCZ lebih banyak terdapat di BBU. Wilayah antara 0 dan 20 derajat khususnya di bagian barat dan barat daya Afrika mengalami hujan yang bervariasi antara 0 cm sampai lebih dari 80 cm dalam kurun waktu Juni sampai September. Sementara itu untuk monsoon di Afrika timur berkaitan juga dengan pergerakan ITCZ di selatan ekuator dimana membawa curah hujan dengan volume yang besar karena transport kelembapan dari Samudra Hindia dan Atlantik. Curah hujan terbesar terbentuk pada lintang 10 sampai 20 derajat lintang selatan.
Sumber: http://www.clivar.org/sites/default/files/Africa-Rainfall-Wind-Patterns.jpg
Setiap lokasi terjadinya hujan baik saat monsoon
barat maupun timur merupakan lokasi dimana tekanan rendah yang bersifat semi
permanen terbentuk. Hal ini karena garis ITCZ yang berubah-ubah akibat
pergerakan semu matahari. Garis ITCZ menggambarkan pertemuan antara angin utama
dari utara dan selatan yang menyebabkan banyaknya uap air yang naik dan curah
hujan yang lebat. Mengingat kondisi yang demikian maka mayoritas penduduk di Afrika
berprofesi sebagai petani. Penentuan musim tanam dan panen sangat bergantung
pada curah hujan yang dibentuk oleh sistem monsoon ini. Dari kedua monsoon ini,
efek yang paling berpengaruh pada bidang pertanian adalah monsoon barat.
Pertanian di Afrika umumnya dilakukan di sekitar daerah aliran sungai Nil.
Wednesday, January 4, 2017
Negeri tanggap bencana
Dua
belas tahun yang lalu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, terjadi bencana alam
tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya dan menelan korban jiwa ratusan ribu
orang. Bencana yang diawali gempa besar di lepas pantai Aceh tersebut dirasakan
dampaknya pada Negara-negara yang berada di seputar samudra Hindia. Suatu
bencana yang sampai sekarang masih menyisakan trauma bagi sebagian masyarakat
Aceh yang mengalaminya. Bahkan siaran langsung yang terus menerus di televisi
nasional bukan tidak mungkin menyebabkan pula trauma bagi masyarakat Indonesia
lainnya yang terpapar oleh berita tersebut.
Indonesia
merupakan Negara yang dilalui oleh sirkum mediterania yang membentang di
Sumatera (Bukit Barisan), Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Selain itu dilalui pula
oleh sirkum Pasifik yang melalui Sulawesi dan Papua. Sirkum Mediterania dan Pasifik ini berupa
barisan pegunungan akibat pertemuan lempeng benua dan samudra di bawahnya.
Seperti diketahui bahwa tumbukan antar lempeng tersebut akan menyebabkan
kemunculan gunung di atasnya. Oleh karena itu wajar bila Indonesia merupakan
wilayah “ring of fire” karena banyaknya gunung api yang terbentuk
sepanjang pertemuan lempeng tersebut.
Tsunami
yang selama ini terjadi biasanya muncul akibat gempa yang terjadi di laut
dengan kedalaman kurang dari 10 km, merupakan akibat dari sesar naik atau
turun, dan gempa yang ditimbulkannya mempunyai amplitude lebih dari 5 skala
Richter. Ketentuan-ketentuan itulah yang selama ini dipakai oleh BMKG dalam
memberikan warning adanya tsunami
atau bukan kepada masyarakat.
Tidak
kalah dahsyatnya adalah pengaruh dari atmosfer di atasnya. Atmosfer di
Indonesia mempunyai perilaku yang unik dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Atmosfer kita mendapatkan tiga pengaruh sirkulasi, yakni yang berarah
meridional (Utara-Selatan) yang disebut sel Hadley, sirkulasi yang berarah
zonal (Barat-Timur) yang disebut sel Walker dan sirkulasi yang sifatnya lokal.
Dalam arah meridional ini kita juga mengenal monsoon, monsun atau muson. Monsun
ini mempunyai pengaruh kuat pada curah hujan di Indonesia khususnya pada
wilayah-wilayah selatan ekuator/khatulistiwa dan sedikit wilayah di Utara
ekuator. Kita mengenal monsun Asia yang
banyak menyebabkan musim hujan di banyak wilayah di tanah air dan monsun
Australia yang membawa pengaruh musim kemarau. Pola hujan selain monsun adalah
pola lokal dan ekuatorial. Pola lokal kebalikan dari pola monsun dimana
biasanya pada bulan-bulan Juni-Juli-Agustus justru curah hujannya tinggi. Pola
lokal bisa juga dicirikan oleh curah hujan sepanjang tahun, hampir dikatakan
tidak ada bulan kering. Pola ekuatorial biasanya terdapat pada wilayah-wilayah
yang terletak di sekitar ekuator. Pola ini mempunyai ciri khas dua kali puncak
musim hujan, yakni sekitar Maret-April-Mei dan September-Oktober-November. Jawa Barat mempunyai pola curah hujan monsun,
dengan demikian maka biasanya pada bulan-bulan Oktober sampai Maret merupakan
musim hujan sedangkan pada bulan April sampai September merupakan musim kemarau.
Puncak kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus.
Pola
monsun yang telah disebut di atas biasanya tidak berpengaruh sendirian. Ada
pengaruh lain yang berskala besar yang turut berperan yakni kejadian di
perairan Indonesia dan sekitarnya. Di perairan Pasifik ekuator ada fenomena
yang dinamakan El Nino dan La Nina, sedangkan di perairan Samudra Hindia
ekuator ada fenomena yang disebut Dipole Mode. Fenomena-fenomena tersebut saat
ini juga sedang berlangsung yakni La Nina (yang diperkirakan akan berlangsung
sampai dengan Pebruari 2017) dan Dipole Mode negatif. Perairan Indonesia yang
juga menghangat juga menyumbang pada besarnya curah hujan di tanah air. Oleh
karena itu tidak heran bahwa akibat meningkatnya curah hujan di tanah air
menyebabkan banjir dan longsor terjadi dimana-mana. Kewaspadaan yang tinggi
harus terus diupayakan agar dampaknya tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Tanggal
24 Oktober 2016 yang baru lalu, banjir besar melanda Bandung dimana biasanya
wilayah seperti jalan Pasteur dan Pagarsih tidak dilanda banjir semacam itu.
Curah hujan di stasiun pengamat cuaca di Program studi Meteorologi Institut
Teknologi Bandung menunjukkan angka 71 mm/jam. Intensitas hujan sebesar itu
masuk pada kategori sangat sangat deras. Ketika tanggul di Citepus bobol, maka
hujan yang sudah demikian deras ditambah dengan aliran air dari atas yang tidak
mampu ditampung oleh saluran drainase menyebabkan banjir di wilayah-wilayah
yang lebih rendah. Banjir tersebut dalam beberapa waktu kemudian berulang meskipun
tidak sebesar yang pertama.
Banjir
bandang di Garut beberapa bulan yang lalu juga menghancurkan beberapa kawasan
dan menyebabkan hilangnya sebanyak 19 orang. Peristiwa ini juga dipicu oleh
hujan deras yang menimpa bukit-bukit yang sudah gundul/tidak ada tanaman
penguatnya sehingga timbullah banjir bandang. Longsor yang menutupi jalan raya beberapa
waktu yang lalu juga terjadi, misal di antara jalan Tanjungsari menuju Sumedang atau di Bandung barat.
Bencanahidrometeorologis yang lain adalah puting beliung. Puting beliung yang umumnya
disebabkan oleh perbedaan tekanan di beberapa ketinggian dari massa udara
hangat dan dingin yang berlawanan arah menyebabkan pusaran. Pusaran inilah yang
bila terangkat akibat sedotan oleh awan kumulonimbus menyebabkan timbulnya
puting beliung. Di banyak tempat di Jawa Barat hal ini terjadi, dimana beberapa
kali juga menimpa wilayah Bandung baik kabupaten maupun kotamadya. Pada skala
yang lebih besar ada fenomena yang disebut tornado dan siklon. Siklon yang
beberapa waktu ini juga sering terjadi di wilayah sekitar Indonesia sering
membawa dampak pada buruknya cuaca. Hujan deras, petir, atau gelombang besar di
pantai biasanya akibat imbas dari kehadiran siklon di Australia atau di wilayah
Philippina. Siklon di Australia banyak membawa dampak buruk pada
wilayah-wilayah Indonesia bagian selatan seperti Jawa sampai Nusa Tenggara
bagian selatan. Siklon atau topan di Philippina biasanya membawa dampak buruk
pada cuaca dan gelombang di Sulawesi bagian Utara.
Mengingat
bahwa hal-hal di atas tersebut akan terus menerus berlangsung maka sudah
sewajarnya bila masyarakat harus makin dicerdaskan. Hal-hal yang sifatnya
takhayul yang seringkali berhembus ketika suatu peristiwa bencana alam terjadi
harus makin dikikis. Gempa besar, ombak tinggi, tsunami yang terjadi di pantai
Selatan kadangkala dikaitkan dengan kemarahan sang Ratu laut Selatan. Pemahaman
demikian ini harus dihapus agar masyarakat makin rasional dalam menghadapi
sesuatu. Jangan pula bencana di Pidie Jaya Aceh juga diakibatkan oleh ikan lele
raksasa yang menyangga bumi bergerak, seperti sebagian masyarakat tradisional
Jepang yakini. Gerhana bulan atau matahari kadangkala juga diyakini oleh
masyarakat tradisional kita sebagai raksasa yang sedang menelan bulan atau
matahari sehingga perlu dibunyikan kentongan bertalu-talu agar raksasa tidak
memakannya/menghalau raksasa (buta hejo).
Masyarakat harus dididik secara rasional tanpa menghilangkan local wisdom dalam memandang peristiwa
alam dan bencana. Tugas pemerintah melalui instansi atau badan seperti BNPB
(Badan Nasional Penanggulangan Bencana), BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), BIG (Badan Informasi
Geospasial) dan kementrian terkait lainnya termasuk perguruan tinggi. Kegiatan
mitigasi dan adaptasi harus diupayakan disosialisasikan kepada semua lapisan
masyarakat mulai pada usia dini. Di Jepang misalnya, seseorang yang mengalami
gempa bumi sudah diajarkan sejak kecil untuk berlindung di bawah meja atau lari
keluar mencari tempat yang bebas dari bangunan sekitarnya. Di Negara kita hal
ini belum sampai mencapai taraf semacam itu. Pendidikan kebencanaan sudah
seharusnya didorong oleh pemerintah untuk didirikan minimal di
wilayah-wilayah/propinsi-propinsi yang mempunyai potensi bencana alam baik
darat, laut maupun udara. Jika ini terjadi maka masyarakat akan makin tanggap
bencana dan bisa hidup harmoni dengan alam. Semoga!
Dimuat dalam harian Pikiran Rakyat edisi 4 Januari 2017.
Dimuat dalam harian Pikiran Rakyat edisi 4 Januari 2017.
Tuesday, December 20, 2016
Membangun kesadaran publik, membangunkan singa tidur
Berbagai bencana yang saat ini timbul seperti di Pidie Jaya Aceh (lihat gambar di bawah) makin menguatkan kesadaran bahwa negeri ini adalah negeri yang rawan bencana. Coba lihat artikel yang saya tulis bulan Januari 2016 ini. Boleh kita menangis, boleh kita teriak, boleh kita bersedih tapi tidak pada tempatnya jika kita menyerah dan pasrah begitu saja terhadap berbagai peristiwa alam yang merusak dan merugikan baik harta benda dan nyawa ini. Tantangan alam yang demikian besar ini seharusnya membangunkan diri kita yang selama ini terlelap tidur akibat berbagai kenikmatan alam yang Allah berikan ini.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38246454
Zamrud khatulistiwa ...istilah yang selama ini untuk menggambarkan kondisi kekayaan alam Indonesia merupakan nikmat Illahi yang sungguh meninabobokkan kita semua. Sudah sepantasnya kita bangunkan kesadaran publik tentang wilayah kita dan kecintaan kita terhadap NKRI. Di Jepang, kesadaran akan bencana alam dibangun sejak usia dini. Anak-anak diperkenalkan bagaimana meminimalkan dampak bencana alam pada diri mereka, misal berlindung di bawah meja ketika terjadi gempa dsb. Mari kita bangun kesadaran tersebut bersama-sama. Media massa bisa sangat membantu tujuan tersebut.Saturday, December 3, 2016
Sadar cuaca ekstrem
Beberapa waktu ini di banyak tempat di tanah air terjadi banjir dan tanah longsor. Tidak mengherankan karena memang beberapa bulan terakhir sudah memasuki musim hujan dan melihat sebaran awan di banyak pulau menunjukkan rapatnya awan khususnya pada siang hari. Meskipun tidak selalu awan menimbulkan hujan, namun dari citra satelit tampak bahwa umumnya awan-awan yang terbentuk menjulang tinggi ke atmosfer. Ini berarti bahwa peluang adanya peristiwa tumbukan dan gabungan tetes-tetes air di awan menjadi lebih besar dan hujan yang terbentuk juga akan deras dan butir-butir air hujannya juga akan lebih besar.
Secara klimatologis, Indonesia mengalami dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Namun beberapa wilayah di tanah air mengalami pola curah hujan yang berbeda yakni pola curah hujan lokal. Bisa jadi dalam satu tahun curah hujannya lebih dari 150 mm tiap bulannya sehingga bisa dikatakan tidak pernah mengalami musim kemarau. Ada pula wilayah dengan pola curah hujan yang berbalikan dengan pola monsoonal yakni pola lokal. Satu lagi yang juga banyak wilayah di tanah air alami adalah pola curah hujan ekuatorial, misal wilayah Riau.
Peristiwa-peristiwa di atas berdasarkan penelitian banyak pula disokong oleh meningkatnya suhu bumi atau pemanasan global. Semuanya itu membutuhkan perhatian dan kesadaran kita bersama agar kerugian dan kerusakan yang ditimbulkannya bisa diminimalkan. Cuaca-cuaca ekstrem yang telah disebut di atas harus makin menyadarkan kita pada masalah lingkungan yang saat ini makin rusak. Banjir dan longsor yang sering mengiringinya biasanya selain faktor lingkungan yang rusak juga adanya hujan yang cukup deras. Oleh karena itu maka kesadaran tentang informasi cuaca ekstrem harus ditingkatkan.
Secara klimatologis, Indonesia mengalami dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Namun beberapa wilayah di tanah air mengalami pola curah hujan yang berbeda yakni pola curah hujan lokal. Bisa jadi dalam satu tahun curah hujannya lebih dari 150 mm tiap bulannya sehingga bisa dikatakan tidak pernah mengalami musim kemarau. Ada pula wilayah dengan pola curah hujan yang berbalikan dengan pola monsoonal yakni pola lokal. Satu lagi yang juga banyak wilayah di tanah air alami adalah pola curah hujan ekuatorial, misal wilayah Riau.
http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1287108901/waspada-cuaca-ekstrem
Dengan kondisi yang bermacam-macam pola hujan ini maka hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah saat musim hujan. Ini karena biasanya pada musim hujan banyak peristiwa yang mengakibatkan kerugian dan kerusakan bahkan bisa membahayakan atau merenggut jiwa manusia. Pada musim hujan, selain hujan air juga bisa disertai petir, kilat, guruh bahkan sering ada puting beliung, angin kencang, hujan es dll. Peristiwa ini bisa bersamaan, misal saat hujan deras disertai petir dan angin kencang. Peristiwa kilat dan guruh bersamaan waktunya dengan hujan es. Puting beliung meskipun lebih sering terjadi pada masa pancaroba atau transisi kemarau ke musim hujan atau sebaliknya bisa pula disertai angin kencang di wilayah sekitarnya. Di lintang tropis yang lebih tinggi lintangnya atau di wilayah lintang tengah sering terjadi fenomena yang lebih besar dampaknya yakni tornado dan siklon.Peristiwa-peristiwa di atas berdasarkan penelitian banyak pula disokong oleh meningkatnya suhu bumi atau pemanasan global. Semuanya itu membutuhkan perhatian dan kesadaran kita bersama agar kerugian dan kerusakan yang ditimbulkannya bisa diminimalkan. Cuaca-cuaca ekstrem yang telah disebut di atas harus makin menyadarkan kita pada masalah lingkungan yang saat ini makin rusak. Banjir dan longsor yang sering mengiringinya biasanya selain faktor lingkungan yang rusak juga adanya hujan yang cukup deras. Oleh karena itu maka kesadaran tentang informasi cuaca ekstrem harus ditingkatkan.
Friday, November 18, 2016
Tsunami terjadi pada musim hujan??
Pertanyaan ini disampaikan oleh seseorang kepada saya pada suatu kesempatan. Pertanyaan ini muncul berkaitan dengan berita bahwa di Selandia Baru terjadi tsunami kecil beberapa hari yang lalu. Musim hujan di sini maksudnnya adalah musim hujan di Indonesia, sedangkan di Selandia Baru mengalami musim semi. Menurut anda adakah kaitannya?? Secara teoritis tidak ada kaitannya sama sekali. Tsunami terjadi ketika terdapat gempa di laut dengan kedalaman kurang dari 10 km, merupakan akibat dari sesar naik/turun, dengan magnitudo gempa lebih dari 5 skala Richter. Kriteria ini digunakan BMG untuk memberikan warning kemungkinan terjadinya tsunami. Tentu saja tidak ada kaitan antara kejadian di lempeng benua/samudra ini dengan kejadian di atmosfer, dalam hal ini musim hujan. Moga-moga bisa menjawab keraguan akan kaitan antara tsunami dengan musim hujan/musim semi.
Tuesday, October 25, 2016
Banjir di kota Bandung ... kok bisa ya?
Senin kemarin (24/10/2016) selama dua jam hujan lebat mengguyur kota Bandung dari jam 11.30 sampai dengan 13.30 WIB dan tanpa diduga sebelumnya sebagian wilayah Bandung khususnya wilayah yang selama ini tidak pernah dilanda banjir besar mengalami banjir. Tidak tanggung-tanggung, ketinggiannya mencapai lebih dari satu meter. Pasteur atau jalan Junjunan yang merupakan mulut tol memasuki Bandung dilanda banjir besar. Dari banyak berita media sosial yang tersebar secara berantai menunjukkan bagaimana kendaraan seperti Livina terbawa arus dan di Pagarsih bahkan ada mobil dan kendaraan roda dua yang terbawa arus sungai. Sampai dengan malam ini masih ada kendaraan yang tidak diketemukan keberadaannya. Saat saya tulis postingan ini, hujan masih mengguyur kota Bandung meski tidak begitu deras. Sore tadi hujan cukup deras di beberapa tempat.
Siang tadi dalam kesempatan kuliah Meteorologi Tropis yang saya asuh, saya mengajak para mahasiswa untuk menganalisis kejadian tersebut, memberikan prediksi, dan memberikan solusi bagaimana sebaiknya ke depan bermitigasi dan beradaptasi terkait banjir. Waktu kuliah 2 jam serasa terlalu cepat untuk mencapai tujuan tersebut. Berikut ini sebagian analisis, prediksi dan solusi yang disampaikan oleh para mahasiswa.
"Menurut weather.meteo.itb.ac.id, curah hujan di kota Bandung pada tanggal 21 sampai dengan 24 Oktober 2016 tercatat masing-masing sebesar 17, 6, 13, dan 36 mm. Akumulasi jumlah curah hujan dalam beberapa hari tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir di Bandung. Menurut BMKG, intensitas curah hujan ringan adalah sebesar 5-20 mm/hari dan curah hujan sedang sebesar 20-50 mm/hari. Data BMKG menyatakan bahwa pada hari kejadian (Senin), curah hujan tercatat 77,5 mm dalam waktu satu jam yang merupakan kategori sangat lebat. Berdasarkan citra satelit Himawari 8 (weather.is.kochi-u.ac.jp) menunjukkan bahwa pada hari kejadian, wilayah Jawa khususnya Jawa Barat tertutup awan rendah yang diduga adalah awan-awan yang berpotensi menimbulkan hujan yakni Nimbostratus dan Kumulus. Selain itu berdasarkan data bom.gov.au (BMKG nya Australia), nilai indeks IOD (Indian Ocean Dipole) adalah negatif yang berarti bahwa SST (temperatur permukaan laut) di wilayah Samudra Hindia bagian Timur (sebelah barat Sumatera ekuator) lebih hangat dibandingkan di Samudra Hindia bagian imur Afrika ekuator. Hal tersebut menyebabkan terjadinya konveksi tinggi dan proses penguapan lebih cepat yang memicu pembentukan awan konvektif yang menyebabkan hujan lebat. Selain itu, indeks osilasi selatan (SOI) menunjukkan nilai positif lebih dari 7. Ini menandakan bahwa di samudra Pasifik terjadi La Nina. Kejadian ini bertepatan dengan suhu permukaan laut di wilayah Indonesia yang lebih tinggi dengan anomali sebesar 0.5-1.5 oC di atas normal. Menurut earth.nullschool.net terdapat tekanan rendah di wilayah selatan Jawa. Dengan streamline yang mendukung, maka pembentukan awan-awan hujan memungkinkan terjadi di wilayah Jawa Barat khususnya Bandung. Secara lokal, kelembapan relatif di ketinggian 850, 700, dan 500 milibar di atas Bandung pada waktu kemarin sebesar 82%, 84% dan 92% atau sangat tinggi. Ini makin mendukung terjadinya hujan.
Dari sudut lingkungan, hujan yang turun berturut-turut selama 6 hari kemungkinan menyebabkan tanah di daerah Lembang menjadi jenuh sehingga tidak mampu menampung air hujan lagi. Akibat tanah Lembang yang sudah jenuh maka air hujan akan menjadi limpasan (run off) yang menyebabkan debit air sungai Citepus menjadi meningkat drastis. Selain itu kondisi dari daerah Lembang sendiri yang memiliki rekahan di sekitar area sesar Lembang menyebabkan terjadinya kebocoran akuifer sehingga aliran airnya menjadi lebih cepat. Keadaan sungai Citepus yang dangkal akibat adanya sampah dan endapan erosi memperparah luapan aliran sehingga timbul banjir. Drainase perkotaan juga tidak berfungsi dengan baik sehingga air tidak mengalir dengan lancar. Perubahan tata guna lahan dari lahan hijau menjadi pemukiman di Bandung utara menjadikan air hujan tidak dapat maksimal mengalami proses infiltrasi dan perkolasi. Topografi mendukung adanya aliran air yang deras ke bagian lembah di wilayah Bandung bagian tengah dan selatan. Seperti diakui juga oleh BPLHD Jabar bahwa kawasan seperti Pasteur, Pagarsih, Gedebage, dan Antapani merupakan kawasan terendah Bandung dimana diantara keempatnya Gedebage lah yang paling rendah. Dengan topografi yang demikian maka aliran air akan tertumpuk pada kawasan rendah tersebut. Pembangungan perumahan di sekitar Pasteur juga memberikan kontribusi bagi berkurangnya area resapan air.
Berdasarkan prediksi Accu weather untuk kondisi satu minggu ke depan, peluang curah hujan tertinggi terjadi pada tanggal 27 Oktober 2016 sebesar 23 mm, menyusul tanggal 28 Oktober sebesar 22 mm dengan peluang 70%. Pada tanggal tersebut peluang terjadinya guntur sebesar 60% dengan tutupan awan sebesar 96%. Dalam beberapa hari ke depan, tutupan awan di atas Bandung sebesar 81-98%. Berdasarkan indeks iklim BoM Australia, hingga bulan November mendatang, IOD masih bernilai negatif sehingga meningkatkan peluang terjadinya awan-awan konvektif di Indonesia bagian barat. Oleh karena itu maka hujan deras berpeluang besar terjadi di banyak tempat, termasuk Bandung. Hujan akan terus terjadi hingga puncak bulan basah (DJF) saat monsoon Asia menguat. Dengan kondisi yang dijelaskan di atas maka masih banyak peluang terjadinya banjir di kota Bandung bila tidak ada langkah-langkah sigap dalam mengatasinya. Early warning system pun harus dibangun agar tidak sampai timbul korban jiwa dan harta yang lebih banyak. Selain hal tersebut, berikut ini sejumlah langkah yang mungkin bisa ditempuh.
1. Rain harvesting
2. Penggalakan biopori dan sumur resapan
3. Pelebaran gorong-gorong, pembuatan tol air, dan normalisasi saluran drainase
4. Pembangunan pompa air di kawasan rawan banjir
5. Pemetaan kawasan rawan banjir
6. Kebijakan pengaturan tata guna lahan dan penataan kota
7. Reboisasi diperbanyak
8. Mendorong masyarakat untuk sadar lingkungan dan cuaca ekstrim.
Kira-kira demikian yang dibahas dalam waktu singkat tersebut. Tentu masih banyak hal yang belum terbahas atau terlewat". Salam waspada!!
Siang tadi dalam kesempatan kuliah Meteorologi Tropis yang saya asuh, saya mengajak para mahasiswa untuk menganalisis kejadian tersebut, memberikan prediksi, dan memberikan solusi bagaimana sebaiknya ke depan bermitigasi dan beradaptasi terkait banjir. Waktu kuliah 2 jam serasa terlalu cepat untuk mencapai tujuan tersebut. Berikut ini sebagian analisis, prediksi dan solusi yang disampaikan oleh para mahasiswa.
"Menurut weather.meteo.itb.ac.id, curah hujan di kota Bandung pada tanggal 21 sampai dengan 24 Oktober 2016 tercatat masing-masing sebesar 17, 6, 13, dan 36 mm. Akumulasi jumlah curah hujan dalam beberapa hari tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir di Bandung. Menurut BMKG, intensitas curah hujan ringan adalah sebesar 5-20 mm/hari dan curah hujan sedang sebesar 20-50 mm/hari. Data BMKG menyatakan bahwa pada hari kejadian (Senin), curah hujan tercatat 77,5 mm dalam waktu satu jam yang merupakan kategori sangat lebat. Berdasarkan citra satelit Himawari 8 (weather.is.kochi-u.ac.jp) menunjukkan bahwa pada hari kejadian, wilayah Jawa khususnya Jawa Barat tertutup awan rendah yang diduga adalah awan-awan yang berpotensi menimbulkan hujan yakni Nimbostratus dan Kumulus. Selain itu berdasarkan data bom.gov.au (BMKG nya Australia), nilai indeks IOD (Indian Ocean Dipole) adalah negatif yang berarti bahwa SST (temperatur permukaan laut) di wilayah Samudra Hindia bagian Timur (sebelah barat Sumatera ekuator) lebih hangat dibandingkan di Samudra Hindia bagian imur Afrika ekuator. Hal tersebut menyebabkan terjadinya konveksi tinggi dan proses penguapan lebih cepat yang memicu pembentukan awan konvektif yang menyebabkan hujan lebat. Selain itu, indeks osilasi selatan (SOI) menunjukkan nilai positif lebih dari 7. Ini menandakan bahwa di samudra Pasifik terjadi La Nina. Kejadian ini bertepatan dengan suhu permukaan laut di wilayah Indonesia yang lebih tinggi dengan anomali sebesar 0.5-1.5 oC di atas normal. Menurut earth.nullschool.net terdapat tekanan rendah di wilayah selatan Jawa. Dengan streamline yang mendukung, maka pembentukan awan-awan hujan memungkinkan terjadi di wilayah Jawa Barat khususnya Bandung. Secara lokal, kelembapan relatif di ketinggian 850, 700, dan 500 milibar di atas Bandung pada waktu kemarin sebesar 82%, 84% dan 92% atau sangat tinggi. Ini makin mendukung terjadinya hujan.
Dari sudut lingkungan, hujan yang turun berturut-turut selama 6 hari kemungkinan menyebabkan tanah di daerah Lembang menjadi jenuh sehingga tidak mampu menampung air hujan lagi. Akibat tanah Lembang yang sudah jenuh maka air hujan akan menjadi limpasan (run off) yang menyebabkan debit air sungai Citepus menjadi meningkat drastis. Selain itu kondisi dari daerah Lembang sendiri yang memiliki rekahan di sekitar area sesar Lembang menyebabkan terjadinya kebocoran akuifer sehingga aliran airnya menjadi lebih cepat. Keadaan sungai Citepus yang dangkal akibat adanya sampah dan endapan erosi memperparah luapan aliran sehingga timbul banjir. Drainase perkotaan juga tidak berfungsi dengan baik sehingga air tidak mengalir dengan lancar. Perubahan tata guna lahan dari lahan hijau menjadi pemukiman di Bandung utara menjadikan air hujan tidak dapat maksimal mengalami proses infiltrasi dan perkolasi. Topografi mendukung adanya aliran air yang deras ke bagian lembah di wilayah Bandung bagian tengah dan selatan. Seperti diakui juga oleh BPLHD Jabar bahwa kawasan seperti Pasteur, Pagarsih, Gedebage, dan Antapani merupakan kawasan terendah Bandung dimana diantara keempatnya Gedebage lah yang paling rendah. Dengan topografi yang demikian maka aliran air akan tertumpuk pada kawasan rendah tersebut. Pembangungan perumahan di sekitar Pasteur juga memberikan kontribusi bagi berkurangnya area resapan air.
Berdasarkan prediksi Accu weather untuk kondisi satu minggu ke depan, peluang curah hujan tertinggi terjadi pada tanggal 27 Oktober 2016 sebesar 23 mm, menyusul tanggal 28 Oktober sebesar 22 mm dengan peluang 70%. Pada tanggal tersebut peluang terjadinya guntur sebesar 60% dengan tutupan awan sebesar 96%. Dalam beberapa hari ke depan, tutupan awan di atas Bandung sebesar 81-98%. Berdasarkan indeks iklim BoM Australia, hingga bulan November mendatang, IOD masih bernilai negatif sehingga meningkatkan peluang terjadinya awan-awan konvektif di Indonesia bagian barat. Oleh karena itu maka hujan deras berpeluang besar terjadi di banyak tempat, termasuk Bandung. Hujan akan terus terjadi hingga puncak bulan basah (DJF) saat monsoon Asia menguat. Dengan kondisi yang dijelaskan di atas maka masih banyak peluang terjadinya banjir di kota Bandung bila tidak ada langkah-langkah sigap dalam mengatasinya. Early warning system pun harus dibangun agar tidak sampai timbul korban jiwa dan harta yang lebih banyak. Selain hal tersebut, berikut ini sejumlah langkah yang mungkin bisa ditempuh.
1. Rain harvesting
2. Penggalakan biopori dan sumur resapan
3. Pelebaran gorong-gorong, pembuatan tol air, dan normalisasi saluran drainase
4. Pembangunan pompa air di kawasan rawan banjir
5. Pemetaan kawasan rawan banjir
6. Kebijakan pengaturan tata guna lahan dan penataan kota
7. Reboisasi diperbanyak
8. Mendorong masyarakat untuk sadar lingkungan dan cuaca ekstrim.
Kira-kira demikian yang dibahas dalam waktu singkat tersebut. Tentu masih banyak hal yang belum terbahas atau terlewat". Salam waspada!!
Thursday, October 13, 2016
Bencana alam meteorologi
Bencana alam adalah bencana yang terjadi secara alami. Sehingga kalau kita melakukan pembakaran hutan dan menjadi kebakaran hebat, kebakaran semacam ini bukanlah bencana alam. Beberapa bencana alam meteorologi yang bisa disebut adalah bencana banjir, kekeringan, blizard, badai guntur, tornado, puting beliung, siklon, hujan es yang dahsyat dsb. Di antara bencana alam yang lain, bencana banjir merupakan contoh yang paling populer. Banjir di sini akibat dari meluapnya air dari selokan, kanal-kanal air dan sungai sehingga melanda kawasan di sekitarnya. Faktor penyebab meluapnya air tersebut adalah tingginya intensitas hujan yang terjadi. Fenomena yang terjadi di Pasifik tropis yang dikenal dengan La Nina, memperparah kejadian curah hujan di tanah air. Dipole mode yang terjadi di samudra Hindia yang menunjukkan pola negatif juga mendukung hal tersebut.
Kekeringan merupakan fenomena kebalikan dari banjir. Pada fenomena ini curah hujan jauh berkurang dari biasanya. Penyebab yang sering dikaitkan dengan kekeringan ini adalah El Nino yang terjadi di lautan Pasifik tropis. Saat El Nino, awan hujan di atas wilayah Indonesia bergeser ke arah timur. Apalagi biasanya perairan di wilayah kita dan sekitarnya mendingin, akibatnya sulit untuk terbentuk hujan.
Blizard merupakan fenomena meteorologi di lintang tengah ketika angin dingin bertiup kencang, visibilitas rendah akibat banyak kabut dan salju. Jadi merupakan hal yang wajar bila seringkali terjadi kecelakaan kendaraan saat blizard ini terjadi. Lihatlah contoh blizard di bawah ini:
Kekeringan merupakan fenomena kebalikan dari banjir. Pada fenomena ini curah hujan jauh berkurang dari biasanya. Penyebab yang sering dikaitkan dengan kekeringan ini adalah El Nino yang terjadi di lautan Pasifik tropis. Saat El Nino, awan hujan di atas wilayah Indonesia bergeser ke arah timur. Apalagi biasanya perairan di wilayah kita dan sekitarnya mendingin, akibatnya sulit untuk terbentuk hujan.
Blizard merupakan fenomena meteorologi di lintang tengah ketika angin dingin bertiup kencang, visibilitas rendah akibat banyak kabut dan salju. Jadi merupakan hal yang wajar bila seringkali terjadi kecelakaan kendaraan saat blizard ini terjadi. Lihatlah contoh blizard di bawah ini:
Badai guntur atau thunderstorm biasanya dipicu oleh awan-awan konvektif seperti kumulonimbus. Dalam awan semacam ini terjadi pemisahan muatan (+) dan (-) sehingga bisa terjadi loncatan muatan yang menyebabkan kilat dan petir baik di dalam awan tersebut, antar awan, maupun antara awan dengan permukaan. Pembahasan tentang petir ini akan disampaikan di waktu mendatang.
Puting beliung, tornado dan siklon merupakan fenomena meteorologi yang dahsyat namun dengan skala ruang/panjang dan waktu yang berbeda serta menyebabkan kerusakan dengan tingkat yang berbeda. Di antara ketiganya, siklon lah yang paling merusak. Di wilayah Indonesia, puting beliung merupakan siklon berskala kecil.
Hujan es atau hail juga bisa dikatakan bencana alam bila cukup deras. Pada saat panas terik, awan-awan konvektif banyak terbentuk. Bila dalam awan konvektif tersebut terdapat zone dimana suhunya di bawah nol maka peluang terjadinya hujan es sangat besar. Rekor besarnya hail di dunia ini adalah mendekati 1 kg sehingga bila jatuh dan menimpa kaca mobil maka kaca mobil tersebut bisa berlubang.
Subscribe to:
Posts (Atom)