Beberapa waktu terakhir ini media
massa tidak terkecuali harian PR memberitakan tentang kekeringan yang melanda
khususnya sebagian wilayah di Jawa Barat dan umumnya di beberapa wilayah di
tanah air. Keluhan dari warga yang mengalaminya memang sebagian ditanggapi
dengan cepat oleh pemerintah daerah
namun tidak jarang penanganannya terkesan lambat. Wilayah-wilayah yang sulit
terjangkau kendaraan roda empat merupakan wilayah yang paling menderita
mengingat bantuan air dari pemerintah daerahnya selalu terlambat sehingga
masyarakat harus berjuang sendiri untuk beradaptasi dengan kekeringan. Sebenarnya
terdapat 3 jenis kekeringan yakni kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian.
Tujuan dari tulisan ini adalah mengungkapkan peluang / kemungkinan sampai kapan
kekeringan ini berlangsung dan bagaimana upaya yang semestinya dilakukan agar
dampak kekeringan pada masyarakat semacam ini bisa diminimalisasi.
Faktor-faktor
pengontrol musim di Indonesia
Di
Indonesia terdapat 3 jenis pola sirkulasi atmosfer yang berpengaruh pada proses
pembentukan hujan. Ketiganya adalah sirkulasi Hadley yang berarah Utara –
Selatan, sirkulasi Walker yang berarah Barat – Timur, dan sirkulasi lokal
seperti angin darat, laut, lembah, dan gunung. Interaksi ini berlangsung
sedemikian kompleks sehingga menghasilkan tiga jenis pola curah hujan yakni
pola monsoonal, ekuatorial dan lokal atau disebut masing-masing sebagai pola A,
B, dan C. Ketiga pola sirkulasi di atas dikendalikan pula oleh kondisi monsoon,
ENSO (El Nino and Southern Oscillation) dan Dipole Mode. Wilayah Jawa Barat
mempunyai tipe curah hujan monsoonal artinya pada bulan-bulan Juni-Juli-Agustus
curah hujannya kecil bahkan mungkin tidak ada hujan sama sekali. Sedangkan
puncak musim hujan berkisar bulan Desember-Januari-Pebruari. Mengingat hal
demikian maka kesetimbangan air dalam tanah juga akan terpengaruh yang memicu
adanya surplus dan defisit air di tanah.
Bagaimana kondisi saat ini?
Secara klimatologis, indeks AUSMI
(Australian Monsoon Index) menunjukkan nilai negatif sehingga kemunculan
monsoon yang menghasilkan hujan kemungkinan sangat kecil terjadi. Indeks ini
dikembangkan antara lain bisa digunakan untuk mengetahui kira-kira kapan musim
kemarau dan hujan di Indonesia terjadi. Ia meliputi area sebagian wilayah
Indonesia bagian Tenggara dan sebagian wilayah Utara Australia.
El Nino yang berulang dengan intensitas
berbeda setiap 2-7 tahun juga membawa dampak yang cukup signifikan bagi musim
di Indonesia. Umumnya El Nino membawa dampak pengurangan curah hujan yang
signifikan khususnya di Indonesia bagian Timur. Wilayah yang biasanya digunakan
sebagai patokan untuk menentukan indeks El Nino adalah wilayah Nino 3.4 yang
kurang lebih sempit yang dibatasi dengan 5o LU – 5o LS
yang membujur sekitar ekuator di tengah-tengah samudra Pasifik. Sampai bulan
Juli 2017 kemarin, anomali suhu permukaan laut di wilayah tersebut menunjukkan
tren penurunan positif. Ini berarti peluang terjadinya El Nino agak menurun.
Hal tersebut dikuatkan oleh prediksi peluang terjadinya El Nino yang menurun
dari 46% menjadi 40% di bulan Juli – Agustus – September. Sementara itu kondisi
normal berpeluang lebih besar yakni sebesar 56%, jauh dibanding prakiraan La
Nina yang hanya 4% saja. Peluang pola normal juga masih akan berlangsung di
atas 50% sampai Oktober – November mendatang sementara peluang El Nino sedikit
mengalami penurunan dan La Nina menguat sampai sedikit di atas 10%. Prediksi
model ENSO (El Nino and Southern Oscillation) dari banyak instansi menunjukkan
kemungkinan anomali suhu permukaan laut yang bernilai positif sampai dengan
akhir tahun ini. Ini berarti ada
kemungkinan El Nino terjadi tapi lebih
besar kemungkinannya untuk terjadi kondisi normal.
Faktor besar ketiga yang penting
untuk dipantau keberadaannya adalah suhu permukaan laut di samudra Hindia
ekuator bagian barat dan timur yakni pantai timur Afrika dan pantai barat Sumatera
Indonesia yang dinyatakan dengan Indeks
Dipole Mode (IODM). Prediksi yang dilakukan oleh 6 badan dunia 80% menunjukkan
bahwa nilai IODM netral/normal sedangkan dua lainnya yakni badan meteorologi
Kanada dan Inggris meramalkan nilai yang positif. Secara rata-rata dapat
dikatakan bahwa kondisi saat ini adalah normal.
Salah satu
model peramalan peluang presipitasi (salah satu bentuknya adalah curah hujan)
global menunjukkan bahwa wilayah Indonesia berpeluang 40-50% hujan di atas
normal. Wilayah Jawa Barat sendiri berpeluang hujan di atas normal sebesar
40an% pada bulan September – Oktober – November 2017. Ini berarti bahwa peluang
kondisi di bawah normal sampai normal mendekati 60%.
Dengan demikian maka mengingat
kondisi kliimatologis dan hasil prediksi berbagai lembaga dunia (dengan catatan: bila itu benar) menunjukkan
bahwa peluang terbesar saat ini adalah berada dalam kondisi normal. Yang
menarik adalah mengapa pada saat kondisi normal justru saat ini sebagian
wilayah mengalami kekeringan?? Beberapa jawaban yang mungkin tidak memuaskan adalah
sebagai berikut. Pertama, kesetimbangan air di alam terganggu akibat interaksi
yang kompleks antara proses-proses di alam dan manusia. Kedua adalah kondisi
iklim yang berubah. Pemanasan global yang dipicu oleh keberadaan peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menghasilkan perubahan iklim di banyak
tempat di bumi. Perusakan lingkungan menyebabkan neraca air di alam terganggu
yang memicu terjadinya 3 jenis kekeringan di atas. Oleh sebab itu untuk
beberapa waktu ke depan kita masih harus bersabar agar musim hujan segera
terjadi.
Saat ini yang harus dilakukan
dalam jangka pendek adalah gerakan hemat air. Instansi terkait melakukanmanajemen air yang lebih baik agar surplus dan defisit air bisa dikontrol.
Dalam jangka panjang harus mendidik masyarakat untuk mencintai lingkungannya
karena sekecil apapun yang manusia lakukan, dalam jangka panjang ada imbasnya
ke diri manusia.
Kampus Ganesha Bandung, 18 September 2017
No comments:
Post a Comment