Barangkali anda akan tertawa atau
menertawakan mengapa saat ini bicara tentang banjir. Bukankah banyak daerah mengalami kebakaran hutan dan atau
lahan? Bukankah waktu menunjukkan bahwa masih musim kemarau? Sejumlah
pertanyaan yang menurut penulis wajar-wajar saja. Apa yang penulis sampaikan
ini adalah untuk mengingatkan akan potensi datangnya banjir saat musim hujan
mendatang sekaligus berkaca diri apakah pembangunan berbasis cuaca, musim dan
iklim sudah mulai kita jalankan. Meskipun saat ini masih menginjak musim
transisi di banyak wilayah di Indonesia khususnya yang mempunyai curah hujan
tipe monsoonal namun di berbagai wilayah khususnya yang berada di Utara ekuator
atau khatulistiwa sebagian sudah memasuki musim hujan. Ini bisa kita lihat dari
citra satelit Himawari 8 dan pola streamline (garis arus) yang sudah sebagian
mengarah timur laut meskipun beberapa waktu terakhir polanya berubah-ubah.
Pembentukan pusat-pusat siklon atau gerak berputar dari pola angin yang berada
di utara ekuator (ditandai dengan huruf C) menghambat untuk pembentukan hujan
di banyak wilayah di tanah air. Pola streamline tersebut dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
Masih banyaknya atau dominannya angin
tenggara sampai timur di belahan bumi selatan mengindikasikan musim kemarau
sampai dengan musim transisi menuju musim hujan. Kondisi mendatang dimana
diprakirakan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) banyak
wilayah memasuki musim hujan pada awal bulan November 2019 bisa berpotensi
menyebabkan banjir. Kondisi banjir mengakibatkan air meluap keluar dari sungai
dan menggenangi areal persawahan, permukiman dan badan-badan jalan sehingga mengganggu
ekonomi masyarakat, aktivitas sosial budaya, mobilitas transportasi, kerugian
harta benda dan sebagainya bahkan
terkadang menelan korban jiwa.
Banjir terjadi oleh karena tiga
faktor yakni intensitas hujan yang tinggi melebihi kapasitas infiltrasi,
limpasan permukaan daerah aliran sungai sudah tinggi dan atau kapasitas sungai
sudah menurun akibat sedimentasi di badan sungai atau menyempitnya sungai
akibat sampah dsb. Tingginya intensitas hujan sebagai penyebab utama banjir
umumnya relevan dengan banjir yang terjadi bukan pada awal musim hujan tapi
pada pertengahan sampai akhir musim hujan karena pada saat tersebut tanah sudah
mulai jenuh akibat hujan yang terjadi sebelumnya. Air tidak dapat lagi meresap
ke dalam tanah tapi menggenang dan berjalan ke tempat yang lebih rendah. Faktor
ini tidak dapat dicegah oleh manusia karena prosesnya sangat alami. Tingginya
limpasan daerah aliran sungai (DAS) sebagai penyebab utama banjir akan relevan
pada DAS yang penggunaan lahannya didominasi oleh pertanian yang pengelolaannya
tidak mematuhi kaidah konservasi tanah, perubahan penggunaan lahan seperti
misalnya yang tadinya hutan diubah peruntukannya menjadi non hutan, pemukiman,
penggembalaan dan atau industri. Sedangkan faktor ketiga sebagai penyebab utama
banjir relevan untuk DAS yang tingkat erosinya tinggi, banyak tanah longsor
karena banyak penambangan liar dan penggundulan hutan, dan atau banyaknya
sampah atau limbah padat yang dibuang ke sungai. Umumnya banjir terjadi karena
kombinasi dari dua atau tiga faktor di atas.
Lahan kritisUntuk mengelola risiko bencana
banjir, kita tidak dapat mencegah terjadinya hujan lebat. Kita dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya bencana dengan mencegah atau memperbaiki lahan kritis.
Meskipun sudah ada program reboisasi sejak tahun 1960an, luas lahan kritis
bukannya berkurang melainkan semakin bertambah misal dengan adanya kebakaran
hutan dan atau lahan. Belum diperoleh data terbaru namun coba lihat data
Kalimantan Utara berikut ini.
Dari data tersebut memang belum
diperoleh timeline dari wilayah yang sama namun setidaknya tabel tersebut
menunjukkan betapa besarnya jumlah lahan kritis dan sangat kritis di propinsi
tersebut.
Secara umum di Indonesia,
lahan-lahan kritis dan sangat kritis kemungkinan bisa disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama karena ada oknum pejabat yang pura-pura tidak mengetahui ada penebangan
liar yang terjadi di wilayahnya dimana barangkali dia juga diuntungkan oleh penebangan
liar tersebut. Lahan penebangan tersebut diubah menjadi lahan pertanian dan
perkebunan yang hasilnya bisa jadi ditadah atau disalurkan oleh pihak-pihak
tertentu. Oknum-oknum inilah yang membiayai penebangan ini. Faktor kedua adalah
kegagalan reboisasi yang telah dilakukannya sejak tahun 1960an. Kegagalan
reboisasi pada tahun pertama bisa mencapai 50%. Karena pemeliharaan yang minim
maka lima tahun pertama hanya tinggal beberapa persen saja yang tumbuh dengan
baik, sisanya mati atau kerdil. Kemudian dilakukan penghijauan lagi yang
waktunya sering tidak tepat. Anggaran turun akhir musim penghujan sehingga
bibit yang kecil ditanam pada musim kemarau yang akhirnya mati juga. Faktor
ketiga adalah kemiskinan yang diperparah oleh kebijakan pembangunan yang tidak
pro masyarakat miskin. Pembangunan jalan tol, industri, dan pemukiman-pemukiman
mewah yang memarjinalkan masyarakat miskin. Pemilik lahan mendapat ganti rugi
namun biasanya jauh dari harga pasar. Buruh tani, pedagang pengangkut hasil
pertanian yang kehilangan mata pencahariannya tidak mendapat ganti rugi. Mereka
tergusur dan hanya memiliki dua pilihan, satu naik ke perbukitan dan membabat
hutan yang ditanami tanaman hortikultura atau yang lain agar tidak mati
kelaparan dan yang kedua adalah bermigrasi ke kota dan menambah jumlah kelompok
marjinal. Tapi itu dulu, saat jaman
antah berantah. Sekarang kondisinya lebih membaik dan semoga tidak seperti yang
digambarkan di atas. Penebangan liar dan pembakaran hutan dan lahan meskipun
pernah mempunyai tren peningkatan, saat ini terjadi tren penurunan. Reboisasi
yang dilakukan sudah mengalami peningkatan tetapi kebakaran hutan dan lahan
memang menyebabkan usaha tersebut seperti sia-sia. Tidak ada salahnya untuk
dilakukan lagi secara terus menerus agar supaya wilayah Indonesia makin hijau.
Faktor kemiskinan juga menurun menjadi tinggal sekitar 9%.
Upaya mitigasi dan penanggulanganMemperkecil konsekuensi bencana
dapat dilakukan dengan menggunakan sifat curah hujan dan peta topografi.
Berdasarkan data tersebut dapat direncanakan tata ruang pembangunan untuk
menghindari penduduk terdorong ke perbukitan/pegunungan dan membangun
permukiman di sana, pemetaan kerentanan dan risiko bencana. Dalam analisis
mengenai dampak lingkungan harus secara eksplisit dicantumkan rekomendasi cara
menangani rakyat miskin bukan pemilik lahan. Permukiman yang terlanjur ada yang
mempunyai risiko bencana harus ditata ulang kembali atau direlokasi. Walaupun
biayanya mahal namun hal ini sepadan dengan kalau tindakan kuratif yang
dilaksanakan.
Cara lain adalah kita harus
melakukan deteksi dini luas lahan kita kemudian diterapkan penjagaan terhadap
kawasan-kawasan yang rawan bencana, tidak hanya tutupannya tetapi juga kondisi
tanamannya yang memenuhi syarat ekosistem. Percepatan reboisasi lahan-lahan
gundul semestinya dilakukan berpacu dengan waktu. Kerjasama antara KLHK dan
instansi lain perlu juga digalakkan untuk memberikan penyuluhan konservasi
tanah, memperkuat penanaman tanaman keras akar dalam di lokasi perkebunan,
penguatan program kampung iklim (proklim) serta berbagai upaya mikro lainnya
mengingat adanya kaskade skala kegiatan dsb. KLHK harus mendorong pembangunan
hutan rakyat terutama di daerah miring dan hulu serta mendorong dihindarkannya
permukiman di daerah endapan alluvial yang mudah longsor. Selain hal di atas
kita juga harus mengembalikan fungsi hutan yang sesungguhnya yang sebenarnya
multifungsi. Kadangkala kita terjebak hanya pada satu fungsi saja, misalnya
hutan produksi hanya untuk tujuan produksi saja padahal hutan produksi juga
mempunyai fungsi lindung atau sosial pada sebagian areanya. Perlu dilakukan tata
guna hutan mikro yakni tata guna hutan berdasarkan identifikasi karakteristik
biofisiknya serta aspek sosial, ekonomi dan budaya sehingga mungkin bisa
terjadi dalam hutan produksi ada area yang dikelola sebagai kawasan lindung
atau sebaliknya. Pada kawasan hutan konservasi juga demikian. Mungkin pada zona
tertentu yang memungkinkan dikelola untuk tujuan produksi atau peningkatan
kesejahteraan masyarakat, tidak hanya untuk tujuan pelestarian keanekaragamanan
hayati.
Perbaikan sempadan sungai,
normalisasi sungai dengan mengatur agar sedimentasi tidak menyebabkan
pendangkalan sungai (pengerukan sungai) dan perbaikan drainase merupakan
langkah lain yang bisa ditempuh untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan hujan
deras.
Selain hal yang telah dikemukakan
di atas, momen musim kemarau merupakan momen yang tepat untuk pembangunan
infrastruktur fisik seperti jalan tol, saluran irigasi, saluran drainase, gedung
dan bangunan, jalur kereta cepat, instalasi listrik dan air minum serta yang
lainnya. Jadi merupakan hal yang sangat penting untuk melihat cuaca, musim dan
iklim dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Ini selain akan
menghemat anggaran, juga akan menyebabkan percepatan dalam pembangunan infrastruktur.
Percepatan-percepatan tanpa mengurangi kualitas bangunan dan ramping organisasi
tapi padat fungsi sangat diperlukan dalam pembangunan. Pendekatan sistemik
harus dilakukan sejak dini sehingga trilyunan rupiah bisa dihemat dari proses
semacam ini.
Ketika semua itu sudah dilakukan maka semoga banjir yang akan datang tidak sehebat tahun-tahun sebelumnya. Banjir bukan lagi merupakan hal yang biasa namun menjadi hal yang sangat luar biasa karena sangat jarang terjadi. In sya alla. Aamiin.