Tuesday, April 11, 2017

Rencana pemindahan ibukota negara Indonesia

Rencana pemindahan ibukota negara Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Hal ini diwacanakan presiden Jokowi terkait berbagai permasalahan yang mendera ibukota negara yang tidak kunjung terselesaikan. Kemacetan lalu lintas, banjir, dan berbagai permasalahan sosial sudah makin sulit untuk diatasi. Bayangkan saja jika siang hari penduduk Jakarta mencapai 12 juta jiwa, bagaimana bisa mengurai benang kusut tersebut. Jalan raya yang pertumbuhannya tidak secepat pertumbuhan kendaraan pribadi memberikan andil yang besar pada masalah transportasi. Transportasi menjadi tidak ekonomis dan pencemaran udara meningkat pesat. Tidak adanya batasan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadikan pada jam-jam sibuk, kemacetan lalu lintas terjadi dimana-mana. Rencana Light Mass Transport tampaknya juga membutuhkan waktu yang lama mengingat kondisi keuangan negara yang masih compang-camping. Pemasukan negara-pun masih banyak yang bocor karena korupsi berjamaah. Penuntasan kasus korupsi pun membutuhkan waktu yang lama karena tidak adanya efek jera. Mungkin jika pelaku korupsi yang sudah terbukti diberikan hukuman mati maka akan mengurangi tindak pidana korupsi tersebut secara signifikan.
Banjir yang berkali-kali terjadi tidak menyebabkan masyarakat kapok datang ke Jakarta. Wilayah-wilayah yang praktis setiap kali musim hujan banjir tidak menyebabkan penduduk pindah ke lain tempat. Harga tanah di tempat langganan banjir tersebut tidak pernah turun bahkan cenderung tetap naik. Ini mengingat tanah bernilai investasi tinggi dan tidak ada di dunia ini pabrik yang memproduksi tanah/lahan. Hal ini berbeda dengan bahan-bahan atau material bergerak yang selalu cenderung turun karena aus dan sebagainya. Harga rumah horizontal juga cenderung membumbung sehingga harus diatasi dengan pembangunan rumah vertikal. Jakarta masih merupakan magnet yang sangat kuat untuk mendorong seseorang mengais rejeki di sana. Rencana pemerintah untuk merelokasi pusat pemerintahan ke wilayah lain patut mendapatkan apresiasi mengingat sudah tidak mungkin lagi mengharapkan kondisi metropolitan yang rapi, teratur, bebas bencana alam, dan nyaman untuk melaksanakan pekerjaan pemerintahan. Meskipun pusat perekonomian masih tetap dipertahankan namun kemungkinan pertumbuhannya tidak akan sepesat seperti saat sekarang ini. Biasanya pusat pertumbuhan ekonomi akan mengikuti kemana pusat pemerintahan akan dilaksanakan.
Dahulu saat bung Karno masih berkuasa, sudah ada wacana untuk memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya Kalimantan Tengah. Barangkali hal ini merupakan salah satu strategi perang menghadapi kolonial Belanda. Palangkaraya dianggap sebagai tengah-tengah nusantara sehingga ke Barat, Selatan, dan Timur wilayah kita lebih cepat dijangkau, tidak seperti saat ini. Permasalahannya adalah bahwa wilayah Kalimantan merupakan wilayah banyak hutan sehingga dikhawatirkan akan makin merusak hutan-hutan tropis yang tumbuh subur di sana. Di era reformasi, laju perusakan kawasan hutan di wilayah Kalimantan dan berbagai pulau lainnya terjadi dengan cepat sehingga diduga pemindahan pusat pemerintahan bisa berakibat makin menyuburkan pembalakan hutan. Di sisi lain, mungkin pula pengawasan kawasan hutan akan makin membaik bila Palangkaraya jadi ibukota negara. Pembangunan infrastruktur hampir pasti akan merusak tanah dan kawasan hutan.
Saat pemerintahan orde baru pimpinan Soeharto, persiapan pemindahan pusat pemerintahan ke Jonggol Bogor Jawa Barat juga sudah dilakukan sejak lama. Namun sayangnya karena krisis moneter tahun 1998 berakibat pada tumbangnya orde baru dan menyebabkan berantakannya rencana semula. Pada era SBY, wacana ini pun sudah disampaikan ke publik tetapi tidak mendapatkan respon yang memadai dari masyakat.
Bila dasar dari pemindahan tersebut adalah seperti disampaikan di atas dan terkait dengan masalah efektifitas dan efisiensi pemerintahan maka adalah wajar-wajar saja meskipun untuk itu dibutuhkan kajian yang komprehensif dan holistik. Beberapa negara telah melakukannya seperti pemindahan dari Bombay ke Mumbay India, Rio de Janeiro ke Brazilia di Brazil, dll. Semuanya bertujuan untuk meningkatkan layanan masyarakat dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Pada jaman Habibie, untuk meningkatkan pemerataan kue pembangunan maka telah ditetapkan beberapa pusat pertumbuhan ekonomi di berbagai pulau di Indonesia. Sayang beribu sayang bahwa rencana yang bagus ini tidak dilanjutkan oleh presiden berikutnya. Mungkin karena khawatir dan takut dibilang mengekor. Pembangunan yang kita laksanakan masih merupakan pembangunan kelompok/dinasti/regime suatu pemerintahan sehingga pembangunan sistem tidak berjalan dengan lancar. Setiap ganti pemerintahan ganti kebijakan sehingga resultan pembangunan jalan di tempat. Euforia demokrasi juga berkembang dan kadangkala menghancurkan tatanan yang sudah ada. Demokrasi diartikan sebagai berbuat semau gue. Bila demokrasi ini masih berada dalam bingkai 4 pilar kebangsaan maka kekhawatiran banyak pihak akan pecahnya NKRI tidak akan pernah terjadi. Di sinilah peran pendidikan turut bermain seperti tercantum dalam pembukaan UUD 45 yang asli.
Masih kita tunggu realisasi kajian holistik pemindahan pusat pemerintahan ini dalam beberapa waktu ke depan. Apakah akan jalan di tempat, hangat-hangat kotoran ayam, atau benar-benar ditindaklanjuti secara nyata?? 

Thursday, March 23, 2017

Hari meteorologi sedunia

Hari ini tanggal 23 Maret merupakan hari meteorologi sedunia. Banyak kegiatan dilaksanakan untuk memperingatinya meskipun tidak mendapat sorotan media masa secara luas. Seminar-seminar dilaksanakan untuk mengingatkan kembali peran penting bidang meteorologi dalam kehidupan sehari-hari. Tema peringatan tahun ini, seperti yang disampaikan oleh WMO (World Meteorological Organization), adalah "Understanding clouds"mengingat peran penting perawanan dalam memahami siklus hidrologi, cuaca, dan iklim. Awan penting dalam peramalan cuaca dan juga pemahaman tentang perubahan iklim. Anda bisa baca mengapa awan penting dan menjadi sorotan WMO kali ini di sini. Himpunan Mahasiswa Meteorologi ITB "Atmospheira" mengadakan acara lomba foto awan yang menurut ketuanya direncanakan hari ini pengumuman pemenangnya.
Yang menjadi perhatian saya kali ini justru pada peran yang harus dimainkan oleh institusi-institusi yang terkait Meteorologi untuk menjawab berbagai permasalahan yang dijumpai masyarakat sehari-hari. Tidak jarang muncul issue-issue terkait meteorologi yang harus segera mendapatkan respon agar tidak menjadi berita menyesatkan. Berita hoax yang "sengaja" dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan tertentu yang beredar di media masa dan media sosial harus dilawan dengan memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat. Tugas ini merupakan tugas besar yang tidak hanya merupakan tugas pemerintah saja tetapi juga semua elemen masyarakat kampus dan institusi-institusi resmi bidang meteorologi. Perhatian kita sering pada wilayah Jawa saja padahal banyak permasalahan penting yang terjadi di nun jauh di wilayah-wilayah pelosok tanah air. Oleh karena itu wajar bila sumber daya manusia yang handal harus juga ditempatkan di wilayah-wilayah pelosok agar kemanfaatan meteorologi dapat dirasakan masyarakat secara langsung. Semoga pada peringatan hari meteorologi tahun depan sudah banyak kemajuan yang dicapai agar masyarakat luas makin menyadari arti penting mempelajari meteorologi. Aamiin.

Tuesday, March 21, 2017

Gerak semu matahari ...solstice dan equinox

Beberapa hari yang lalu (tepatnya tanggal 17 Maret 2017 jam 12.30 WIB) melalui facebook seorang sobat kental Prof. Dewayany (BIG) menanyakan tentang heboh equinox. Pertanyaan tersebut muncul saat saya memposting tentang "Apa kabar monsoon ??" yang ada di blog ini saya sharing ke FB. Beberapa hari masih timbul tanda tanya bagi saya ... heboh equinox yang mana ya ... saya tidak mendengar ada heboh tentang hal tersebut. Saya malu mau tanya ke beliau maksud heboh equinox (ekuinoks) itu yang bagaimana karena ekuinoks ya biasa-biasa saja menurut saya. Malu bertanya ... mosok di bidang sendiri kok nggak dengar ada heboh begitu. Saya baru ngeh waktu hari ini rekan saya dari Fakultas Geografi UGM Dr.  Emilya di Detik.com menyinggung tentang heboh-heboh itu. Geli rasanya.
Rasanya saya pun tidak perlu lagi menjelaskan panjang lebar karena setidaknya jawaban bu Emilya sudah cukup. Tambahan sedikit dari saya ... ada istilah aphelium (aphelion) dan perihelium (perihelion). Aphelium untuk menyatakan jarak terjauh antara bumi matahari dan perihelium adalah jarak terdekat antara bumi dan matahari. Mengapa bisa timbul kedua hal tersebut?? Ini tidak lain karena lintasan edar bumi mengelilingi matahari berbentuk elips (lonjong). Bila lintas edar tersebut berbentuk bulat maka tidak ada kedua istilah tersebut.  Aphelium (152 juta km) terjadi pada bulan Januari dan perihelium (147 juta km) terjadi pada Juli. Di BBU justru pada saat bulan Januari merupakan musim panas sedangkan bulan Juli merupakan musim dingin. Lho padahal pada saat jarak terdekat matahari - bumi kok justru musim dingin sedangkan pada saat terjauh kok musim panas?? Entar heboh lagi ??..... Tunggu jawabannya ya ...

Tuesday, March 14, 2017

Apa kabar monsoon ??

Monsoon, monsun, atau muson pada dasarnya sama saja. Beda lafalnya saja, makhluknya sama. Monsoon merupakan angin yang berbalik arah secara musiman akibat perbedaan pemanasan antara daratan dan lautan. Ini berbeda dengan angin darat dan angin laut yang tidak berbalik arah secara musiman tapi harian. Angin disebut monsoon bila ia berbalik arah hampir setiap 6 bulan sekali dan harus memenuhi beberapa hal lainnya, misalnya kecepatannya minimal 3 m/s, pembalikan arahnya lebih dari 120 derajat, dan mempunyai kemantapan (persistensi) angin yang tinggi (lebih dari 60%). Beberapa wilayah yang mempunyai pola monsoon antara lain Afrika Barat dan Timur, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara dan Australia, dan Amerika. Di antara semua wilayah monsoon tersebut yang paling berkembang adalah monsoon Asia Tenggara dan Australia bagian Utara. Pembahasan tentang monsoon ini sudah diperkenalkan sejak SD dan dapat digambarkan dengan sederhana. Saat matahari di BBU (belahan bumi utara) maka tekanan udara di BBU lebih rendah daripada di BBS (belahan bumi selatan). Akibatnya bertiup angin dari BBS ke BBU dan ketika melewati ekuator maka angin tenggara ini akan berbelok menjadi angin barat daya. Sebaliknya pada saat matahari di BBS maka pola yang berbalikan terjadi. Pada kasus pertama dampak yang ditimbulkannya biasanya adalah musim hujan di banyak wilayah di tanah air, sebaliknya pada kasus kedua curah hujan akan jauh berkurang karena pembentukan awan hujan tidak banyak terjadi sehingga kemarau atau musim kering berkembang di sebagian wilayah di tanah air. Pembahasan yang lebih komprehensif tersedia di sini.
Indeks monsoon merupakan salah satu indikator untuk melihat apakah pola monsoon mulai berkembang, apakah untuk Indonesia telah memasuki musim kemarau ataukah hujan. Salah satu indeks yang digunakan adalah indeks monsoon Australia (AUSMI) yang memperlihatkan bagaimana rata-rata wilayah indeks tersebut pada ketinggian 850 mb di wilayah 110 - 130 E dan 5 - 15 S.
http://bcc.cma.gov.cn/upload/monsoon/indices/EAMAC_Daily_index_Australian_2016.gif

Untuk tahun 2017 ini kondisinya diramalkan mulai menurun seperti terlihat pada gambar di atas.
Ini menunjukkan bahwa pola curah hujan wilayah kajian (sebagian Indonesia dan Australia) telah mengalami tren penurunan. Dengan demikian maka kondisi ini adalah kondisi yang normal dimana pada bulan-bulan mendatang curah hujannya mulai menurun dan mungkin wilayah Indonesia mengalami musim kemarau dalam waktu dekat. Indeks monsoon yang cocok untuk memperkirakan awal musim di Indonesia ini juga merupakan salah satu topik penelitian saya yang sangat menarik untuk dikaji. Ok segini dulu, lain waktu akan disampaikan kondisi ENSO di lautan Pasifik ekuator yang berpengaruh pada cuaca dan musim di Indonesia.

Sunday, March 12, 2017

Prediksi Dipole mode sampai dengan pertengahan tahun 2017

Anda pernah dengar istilah Dipole Mode kan?? Dalam bahasa asalnya sering disebut sebagai IODM Indian Ocean Dipole Mode. Benar bahwa DM ini terjadi di samudra Hindia sesuai dengan namanya. Ia merupakan peristiwa yang kurang lebih sama seperti El Nino dan La Nina namun dengan beberapa perbedaan. Pertama adalah bahwa DM membandingkan antara kejadian anomali suhu permukaan laut di perairan ekuator sebelah Timur Afrika dan di sebelah Barat Sumatera. Bila selisih keduanya adalah positif maka disebut DM (+), sedangkan bila selisihnya negatif maka disebut DM (-). Bila selisih nilainya berada dalam range plus minus 0,4 maka dikatakan sebagai kondisi netral. Dampak peristiwa DM pada wilayah Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
Kedua adalah bahwa tidak ada istilah wilayah Dipole 1,2,3, 3.4, dan 4 dimana pada saat kita membicarakan El Nino dan La Nina di samudra Pasifik dikenal istilah wilayah Nino 1,2,3, 3.4, dan 4. Ketiga bahwa tidak dikenal istilah DM Modoki di wilayah samudra Hindia ini. Yang keempat adalah dampak Dipole Mode lebih dirasakan untuk wilayah Indonesia bagian Barat dibandingkan dengan ENSO yang lebih berpengaruh pada kondisi cuaca, musim, dan iklim di wilayah Indonesia bagian Timur. Point kedua dan ketiga ini merupakan bahan kajian ilmiah dan penelitian saya saat ini.
Hasil prediksi oleh 5 institusi besar dunia yakni BoM Australia, METEO Perancis, ECMWF Eropa, NASA Amerika Serikat dan UKMO Inggris menunjukkan bahwa sampai dengan pertengahan tahun ini nilai indeks dipole mode menunjukkan angka di antara plus dan minus 0,4. Ini berarti sampai dengan bulan Juli 2017, kondisi DM adalah netral. Dengan demikian bila prediksi lembaga-lembaga tersebut benar maka di sebagian wilayah Indonesia akan mengalami hujan yang cukup karena terdapat pola konvergensi dan konveksi yang cukup kuat. Namun demikian kita juga harus meninjau pola monsoon dan ENSO di samudra Pasifik. Pembahasan tentang kedua fenomena ini  akan disampaikan pada tulisan berikutnya. Oke segini dulu ya, nanti kita lanjutkan lagi. Salam hangat penuh semangat.

Tuesday, February 28, 2017

Seminar umum anomali cuaca, musim dan iklim.

Terimakasih atas perhatian dan dukungan anda semua sehingga acara ini berlangsung dengan sukses.  Sebagian acara ini akan di-upload di youtube. Sampai jumpa di lain kesempatan.

Monday, February 20, 2017

Thursday, February 16, 2017

Buku Anomali cuaca dan iklim Indonesia

Sidang pembaca yang budiman, Pebruari 2017 ini saya meluncurkan buku "Anomali cuaca dan iklim Indonesia" yang merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan saya dalam blog-blog yang saya miliki. Anda bisa beli di toko-toko buku atau bisa dipesan di Penerbit ITB jl. Ganesha 10 Bandung tlp. (022) 2504257 atau fax. (022) 2534155 email: itbpress@penerbit.itb.ac.id
Ditunggu kritikan dan sarannya di : joko.wiratmo@meteo.itb.ac.id

Thursday, February 2, 2017

Hubungan Pilkada dengan cuaca

Gegap gempita akan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di seluruh tanah air dalam waktu dekat ini menguras energi bangsa Indonesia. Saling serang saling tuntut saling membully dilakukan oleh pasangan calon dan para pendukungnya dalam upaya memenangkan pilkada. Kadangkala cara-cara yang tidak fair, menggunakan tangan-tangan yang tidak tampak, sering dilakukan. Para buzzer di media sosial saling hujat dan menjelekkan pasangan calon pihak lain. Euforia demokrasi yang ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi memang menjadi kekuatan yang sangat dahsyat untuk menggiring opini masyarakat. Bila pemerintah tidak cepat tanggap pada hal ini maka bisa-bisa persatuan dan kesatuan bangsa menjadi taruhannya apalagi banyak berita hoax berseliweran di masyarakat.
Suasana saat pemilihan kepala daerah (https://www.babatpost.com)
Kembali ke judul di atas. Adakah hubungan antara pilkada dengan cuaca?? Jelas ada! Kondisi cuaca mempengaruhi psikologis manusia. Cuaca yang panas, terik, dan banyak debu beterbangan menyebabkan manusia mudah tersulut emosinya. Oleh karena itu biasanya temperamen orang kota lebih tinggi dibandingkan orang desa. Iklim yang kering seperti yang banyak ditemui di wilayah pantai menyebabkan temperamen orang pantai (misal nelayan) lebih tinggi dibandingkan orang desa (petani). Masyarakat yang berada di wilayah padang pasir lebih tinggi temperamennya dibanding masyarakat agraris di wilayah tropis. Dalam hal pilkada, temperamen orang-orang yang sudah tinggi akan menjadi lebih tinggi lagi kalau cuaca panas dan terik.
Kampanye-kampanye terbuka di luar ruangan sangat dipengaruhi oleh cuaca. Hujan bisa menghambat para pasangan calon dalam mengkampanyekan program-programnya dan menggiring massa untuk menghadirinya. Bahkan hujan bisa membatalkan kampanye di lapangan terbuka. Musim hujan yang saat ini banyak terjadi khususnya di wilayah monsoon (baca pola hujan di Indonesia) dapat pula menjadi topik pembicaraan pasangan calon. Program mengatasi banjir bisa ditawarkan kepada warga masyarakat karena memang program-program semacam ini adalah program yang riil dan menyangkut kehidupan masyarakat sehari-hari. Program kali bersih, program rain water harvesting, program pemberantasan sarang dan jentik-jentik nyamuk merupakan program-program yang bisa disosialisasikan kepada penduduk.
Hal yang paling penting adalah saat pencoblosan. Bila hari hujan, maka biasanya masyarakat akan malas untuk keluar rumah dan mencoblos kartu pemilihan. Bulan Pebruari merupakan bulan basah dan banyak hujan maka bersiaplah untuk kecewa bila partisipasi warga masyarakat pada pilkada tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat kita makin cerdas dan rasional serta tidak terlalu paternalistik apalagi masyarakat perkotaan. Mereka akan memilih calon kepala daerah yang track record nya baik, mampu menunjukkan prestasi nyata, santun, dan tidak neko-neko (aneh-aneh, membuat onar) dsb. Faktor agama juga sering membawa pengaruh tersendiri. Kita harapkan pada saat hari pemungutan suara, cuaca cerah sehingga masyarakat akan berbondong-bondong ke bilik suara memilih pasangan calon yang mereka sukai. Semoga pula tidak terjadi keonaran atau huru-hara setelah pencoblosan dan pengumuman pemenang disampaikan karena cuaca juga meneduhkan. Aamiin.

Saturday, January 21, 2017

Monsoon di Afrika

Membicarakan tentang monsoon tidak hanya membicarakan wilayah Asia Tenggara dan Australia bagian utara saja ini karena monsoon banyak terjadi di wilayah tropis. Monsoon merupakan pembalikan arah angin musiman yang terjadi karena perbedaan pemanasan antara daratan dan lautan. Kriteria Ramage (1971) masih digunakan sampai dengan saat ini untuk mengkatagorikan suatu kawasan sebagai wilayah monsoon. Kriteria tersebut menyatakan bahwa wilayah monsoon adalah wilayah dimana angin berbalik arah secara musiman lebih dari 120 derajat antara musim panas dan musim dingin, persistensi angin lebih dari 40%, kecepatan anginnya rata-rata lebih dari 3 m/s, dan distribusi tekanannya renggang. Terdapat 5 wilayah monsoon yakni monsoon Afrika (Barat dan Timur), Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara dan Australia, dan Amerika ekuator. Salah satu daerah yakni monsoon Afrika menarik untuk ditinjau karena mempunyai karakteristik yang unik. Monsoon Afrika barat terjadi saat BBU sedang mengalami musim panas yang terjadi pada bulan Juni sampai September sedangkan monsoon Afrika timur terjadi ketika BBU sedang mengalami musim semi dan musim gugur atau pada bulan-bulan MAM dan OND. Monsoon Afrika barat terjadi karena adanya pergerakan massa udara dari arah barat daya Samudra Atlantik yang banyak membawa uap air dan adanya pergerakan ITCZ (intertropical convergence zone) di bagian utara katulistiwa. Monsoon ini membawa pengaruh kekeringan khususnya di sebelah utara ITCZ. Perhatikan gambar di bawah ini. Tampak bahwa pertemuan massa udara basah dari barat daya dan massa udara sangat panas dan kering yang terjadi di ITCZ lebih banyak terdapat di BBU. Wilayah antara 0 dan 20 derajat khususnya di bagian barat dan barat daya Afrika mengalami hujan yang bervariasi antara 0 cm sampai lebih dari 80 cm dalam kurun waktu Juni sampai September. Sementara itu untuk monsoon di Afrika timur berkaitan juga dengan pergerakan ITCZ di selatan ekuator dimana membawa curah hujan dengan volume yang besar karena transport kelembapan dari Samudra Hindia dan Atlantik. Curah hujan terbesar terbentuk pada lintang 10 sampai 20 derajat lintang selatan.
Sumber: http://www.clivar.org/sites/default/files/Africa-Rainfall-Wind-Patterns.jpg
Setiap lokasi terjadinya hujan baik saat monsoon barat maupun timur merupakan lokasi dimana tekanan rendah yang bersifat semi permanen terbentuk. Hal ini karena garis ITCZ yang berubah-ubah akibat pergerakan semu matahari. Garis ITCZ menggambarkan pertemuan antara angin utama dari utara dan selatan yang menyebabkan banyaknya uap air yang naik dan curah hujan yang lebat. Mengingat kondisi yang demikian maka mayoritas penduduk di Afrika berprofesi sebagai petani. Penentuan musim tanam dan panen sangat bergantung pada curah hujan yang dibentuk oleh sistem monsoon ini. Dari kedua monsoon ini, efek yang paling berpengaruh pada bidang pertanian adalah monsoon barat. Pertanian di Afrika umumnya dilakukan di sekitar daerah aliran sungai Nil.

Wednesday, January 4, 2017

Negeri tanggap bencana

Dua belas tahun yang lalu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, terjadi bencana alam tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya dan menelan korban jiwa ratusan ribu orang. Bencana yang diawali gempa besar di lepas pantai Aceh tersebut dirasakan dampaknya pada Negara-negara yang berada di seputar samudra Hindia. Suatu bencana yang sampai sekarang masih menyisakan trauma bagi sebagian masyarakat Aceh yang mengalaminya. Bahkan siaran langsung yang terus menerus di televisi nasional bukan tidak mungkin menyebabkan pula trauma bagi masyarakat Indonesia lainnya yang terpapar oleh berita tersebut.
Indonesia merupakan Negara yang dilalui oleh sirkum mediterania yang membentang di Sumatera (Bukit Barisan), Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Selain itu dilalui pula oleh sirkum Pasifik yang melalui Sulawesi dan Papua.  Sirkum Mediterania dan Pasifik ini berupa barisan pegunungan akibat pertemuan lempeng benua dan samudra di bawahnya. Seperti diketahui bahwa tumbukan antar lempeng tersebut akan menyebabkan kemunculan gunung di atasnya. Oleh karena itu wajar bila Indonesia merupakan wilayah “ring of fire” karena banyaknya gunung api yang terbentuk sepanjang pertemuan lempeng tersebut.
Tsunami yang selama ini terjadi biasanya muncul akibat gempa yang terjadi di laut dengan kedalaman kurang dari 10 km, merupakan akibat dari sesar naik atau turun, dan gempa yang ditimbulkannya mempunyai amplitude lebih dari 5 skala Richter. Ketentuan-ketentuan itulah yang selama ini dipakai oleh BMKG dalam memberikan warning adanya tsunami atau bukan kepada masyarakat.
Tidak kalah dahsyatnya adalah pengaruh dari atmosfer di atasnya. Atmosfer di Indonesia mempunyai perilaku yang unik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Atmosfer kita mendapatkan tiga pengaruh sirkulasi, yakni yang berarah meridional (Utara-Selatan) yang disebut sel Hadley, sirkulasi yang berarah zonal (Barat-Timur) yang disebut sel Walker dan sirkulasi yang sifatnya lokal. Dalam arah meridional ini kita juga mengenal monsoon, monsun atau muson. Monsun ini mempunyai pengaruh kuat pada curah hujan di Indonesia khususnya pada wilayah-wilayah selatan ekuator/khatulistiwa dan sedikit wilayah di Utara ekuator.  Kita mengenal monsun Asia yang banyak menyebabkan musim hujan di banyak wilayah di tanah air dan monsun Australia yang membawa pengaruh musim kemarau. Pola hujan selain monsun adalah pola lokal dan ekuatorial. Pola lokal kebalikan dari pola monsun dimana biasanya pada bulan-bulan Juni-Juli-Agustus justru curah hujannya tinggi. Pola lokal bisa juga dicirikan oleh curah hujan sepanjang tahun, hampir dikatakan tidak ada bulan kering. Pola ekuatorial biasanya terdapat pada wilayah-wilayah yang terletak di sekitar ekuator. Pola ini mempunyai ciri khas dua kali puncak musim hujan, yakni sekitar Maret-April-Mei dan September-Oktober-November.  Jawa Barat mempunyai pola curah hujan monsun, dengan demikian maka biasanya pada bulan-bulan Oktober sampai Maret merupakan musim hujan sedangkan pada bulan April sampai September merupakan musim kemarau. Puncak kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus.
Pola monsun yang telah disebut di atas biasanya tidak berpengaruh sendirian. Ada pengaruh lain yang berskala besar yang turut berperan yakni kejadian di perairan Indonesia dan sekitarnya. Di perairan Pasifik ekuator ada fenomena yang dinamakan El Nino dan La Nina, sedangkan di perairan Samudra Hindia ekuator ada fenomena yang disebut Dipole Mode. Fenomena-fenomena tersebut saat ini juga sedang berlangsung yakni La Nina (yang diperkirakan akan berlangsung sampai dengan Pebruari 2017) dan Dipole Mode negatif. Perairan Indonesia yang juga menghangat juga menyumbang pada besarnya curah hujan di tanah air. Oleh karena itu tidak heran bahwa akibat meningkatnya curah hujan di tanah air menyebabkan banjir dan longsor terjadi dimana-mana. Kewaspadaan yang tinggi harus terus diupayakan agar dampaknya tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Tanggal 24 Oktober 2016 yang baru lalu, banjir besar melanda Bandung dimana biasanya wilayah seperti jalan Pasteur dan Pagarsih tidak dilanda banjir semacam itu. Curah hujan di stasiun pengamat cuaca di Program studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung menunjukkan angka 71 mm/jam. Intensitas hujan sebesar itu masuk pada kategori sangat sangat deras. Ketika tanggul di Citepus bobol, maka hujan yang sudah demikian deras ditambah dengan aliran air dari atas yang tidak mampu ditampung oleh saluran drainase menyebabkan banjir di wilayah-wilayah yang lebih rendah. Banjir tersebut dalam beberapa waktu kemudian berulang meskipun tidak sebesar yang pertama.
Banjir bandang di Garut beberapa bulan yang lalu juga menghancurkan beberapa kawasan dan menyebabkan hilangnya sebanyak 19 orang. Peristiwa ini juga dipicu oleh hujan deras yang menimpa bukit-bukit yang sudah gundul/tidak ada tanaman penguatnya sehingga timbullah banjir bandang.  Longsor yang menutupi jalan raya beberapa waktu yang lalu juga terjadi, misal di antara jalan Tanjungsari menuju  Sumedang atau di Bandung barat.
Bencanahidrometeorologis yang lain adalah puting beliung. Puting beliung yang umumnya disebabkan oleh perbedaan tekanan di beberapa ketinggian dari massa udara hangat dan dingin yang berlawanan arah menyebabkan pusaran. Pusaran inilah yang bila terangkat akibat sedotan oleh awan kumulonimbus menyebabkan timbulnya puting beliung. Di banyak tempat di Jawa Barat hal ini terjadi, dimana beberapa kali juga menimpa wilayah Bandung baik kabupaten maupun kotamadya. Pada skala yang lebih besar ada fenomena yang disebut tornado dan siklon. Siklon yang beberapa waktu ini juga sering terjadi di wilayah sekitar Indonesia sering membawa dampak pada buruknya cuaca. Hujan deras, petir, atau gelombang besar di pantai biasanya akibat imbas dari kehadiran siklon di Australia atau di wilayah Philippina. Siklon di Australia banyak membawa dampak buruk pada wilayah-wilayah Indonesia bagian selatan seperti Jawa sampai Nusa Tenggara bagian selatan. Siklon atau topan di Philippina biasanya membawa dampak buruk pada cuaca dan gelombang di Sulawesi bagian Utara.

Mengingat bahwa hal-hal di atas tersebut akan terus menerus berlangsung maka sudah sewajarnya bila masyarakat harus makin dicerdaskan. Hal-hal yang sifatnya takhayul yang seringkali berhembus ketika suatu peristiwa bencana alam terjadi harus makin dikikis. Gempa besar, ombak tinggi, tsunami yang terjadi di pantai Selatan kadangkala dikaitkan dengan kemarahan sang Ratu laut Selatan. Pemahaman demikian ini harus dihapus agar masyarakat makin rasional dalam menghadapi sesuatu. Jangan pula bencana di Pidie Jaya Aceh juga diakibatkan oleh ikan lele raksasa yang menyangga bumi bergerak, seperti sebagian masyarakat tradisional Jepang yakini. Gerhana bulan atau matahari kadangkala juga diyakini oleh masyarakat tradisional kita sebagai raksasa yang sedang menelan bulan atau matahari sehingga perlu dibunyikan kentongan bertalu-talu agar raksasa tidak memakannya/menghalau raksasa (buta hejo). Masyarakat harus dididik secara rasional tanpa menghilangkan local wisdom dalam memandang peristiwa alam dan bencana. Tugas pemerintah melalui instansi atau badan seperti BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), BIG (Badan Informasi Geospasial) dan kementrian terkait lainnya termasuk perguruan tinggi. Kegiatan mitigasi dan adaptasi harus diupayakan disosialisasikan kepada semua lapisan masyarakat mulai pada usia dini. Di Jepang misalnya, seseorang yang mengalami gempa bumi sudah diajarkan sejak kecil untuk berlindung di bawah meja atau lari keluar mencari tempat yang bebas dari bangunan sekitarnya. Di Negara kita hal ini belum sampai mencapai taraf semacam itu. Pendidikan kebencanaan sudah seharusnya didorong oleh pemerintah untuk didirikan minimal di wilayah-wilayah/propinsi-propinsi yang mempunyai potensi bencana alam baik darat, laut maupun udara. Jika ini terjadi maka masyarakat akan makin tanggap bencana dan bisa hidup harmoni dengan alam. Semoga!

Dimuat dalam harian Pikiran Rakyat edisi 4 Januari 2017.

Tuesday, December 20, 2016

Membangun kesadaran publik, membangunkan singa tidur

Berbagai bencana yang saat ini timbul seperti di Pidie Jaya Aceh (lihat gambar di bawah) makin menguatkan kesadaran bahwa negeri ini adalah negeri yang rawan bencana. Coba lihat artikel yang saya tulis bulan Januari 2016 ini. Boleh kita menangis, boleh kita teriak, boleh kita bersedih tapi tidak pada tempatnya jika kita menyerah dan pasrah begitu saja terhadap berbagai peristiwa alam yang merusak dan merugikan baik harta benda dan nyawa ini. Tantangan alam yang demikian besar ini seharusnya membangunkan diri kita yang selama ini terlelap tidur akibat berbagai kenikmatan alam yang Allah berikan ini.

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38246454
Zamrud khatulistiwa ...istilah yang selama ini untuk menggambarkan kondisi kekayaan alam Indonesia merupakan nikmat Illahi yang sungguh meninabobokkan kita semua. Sudah sepantasnya kita bangunkan kesadaran publik tentang wilayah kita dan kecintaan kita terhadap NKRI. Di Jepang, kesadaran akan bencana alam dibangun sejak usia dini. Anak-anak diperkenalkan bagaimana meminimalkan dampak bencana alam pada diri mereka, misal berlindung di bawah meja ketika terjadi gempa dsb. Mari kita bangun kesadaran tersebut bersama-sama. Media massa bisa sangat membantu tujuan tersebut.

Saturday, December 3, 2016

Sadar cuaca ekstrem

Beberapa waktu ini di banyak tempat di tanah air terjadi banjir dan tanah longsor. Tidak mengherankan karena memang beberapa bulan terakhir sudah memasuki musim hujan dan melihat sebaran awan di banyak pulau menunjukkan rapatnya awan khususnya pada siang hari. Meskipun tidak selalu awan menimbulkan hujan, namun dari citra satelit tampak bahwa umumnya awan-awan yang terbentuk menjulang tinggi ke atmosfer. Ini berarti bahwa peluang adanya peristiwa tumbukan dan gabungan tetes-tetes air di awan menjadi lebih besar dan hujan yang terbentuk juga akan deras dan butir-butir air hujannya juga akan lebih besar.
Secara klimatologis, Indonesia mengalami dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Namun beberapa wilayah di tanah air mengalami pola curah hujan yang berbeda yakni pola curah hujan lokal. Bisa jadi dalam satu tahun curah hujannya lebih dari 150 mm tiap bulannya sehingga bisa dikatakan tidak pernah mengalami musim kemarau. Ada pula wilayah dengan pola curah hujan yang berbalikan dengan pola monsoonal yakni pola lokal. Satu lagi yang juga banyak wilayah di tanah air alami adalah pola curah hujan ekuatorial, misal wilayah Riau.
http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1287108901/waspada-cuaca-ekstrem
Dengan kondisi yang bermacam-macam pola hujan ini maka hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah saat musim hujan. Ini karena biasanya pada musim hujan banyak peristiwa yang mengakibatkan kerugian dan kerusakan bahkan bisa membahayakan atau merenggut jiwa manusia. Pada musim hujan, selain hujan air juga bisa disertai petir, kilat, guruh bahkan sering ada puting beliung, angin kencang, hujan es dll. Peristiwa ini bisa bersamaan, misal saat hujan deras disertai petir dan angin kencang. Peristiwa kilat dan guruh bersamaan waktunya dengan hujan es. Puting beliung meskipun lebih sering terjadi pada masa pancaroba atau transisi kemarau ke musim hujan atau sebaliknya bisa pula disertai angin kencang di wilayah sekitarnya. Di lintang tropis yang lebih tinggi lintangnya atau di wilayah lintang tengah sering terjadi fenomena yang lebih besar dampaknya yakni tornado dan siklon.
Peristiwa-peristiwa di atas berdasarkan penelitian banyak pula disokong oleh meningkatnya suhu bumi atau pemanasan global. Semuanya itu membutuhkan perhatian dan kesadaran kita bersama agar kerugian dan kerusakan yang ditimbulkannya bisa diminimalkan. Cuaca-cuaca ekstrem yang telah disebut di atas harus makin menyadarkan kita pada masalah lingkungan yang saat ini makin rusak. Banjir dan longsor yang sering mengiringinya biasanya selain faktor lingkungan yang rusak juga adanya hujan yang cukup deras. Oleh karena itu maka kesadaran tentang informasi cuaca ekstrem harus ditingkatkan.

Friday, November 18, 2016

Tsunami terjadi pada musim hujan??

Pertanyaan ini disampaikan oleh seseorang kepada saya pada suatu kesempatan. Pertanyaan ini muncul berkaitan dengan berita bahwa di Selandia Baru terjadi tsunami kecil beberapa hari yang lalu. Musim hujan di sini maksudnnya adalah musim hujan di Indonesia, sedangkan di Selandia Baru mengalami musim semi. Menurut anda adakah kaitannya?? Secara teoritis tidak ada kaitannya sama sekali. Tsunami terjadi ketika terdapat gempa di laut dengan kedalaman kurang dari 10 km, merupakan akibat dari sesar naik/turun, dengan magnitudo gempa lebih dari 5 skala Richter. Kriteria ini digunakan BMG untuk memberikan warning kemungkinan terjadinya tsunami. Tentu saja tidak ada kaitan antara kejadian di lempeng benua/samudra ini dengan kejadian di atmosfer, dalam hal ini musim hujan. Moga-moga bisa menjawab keraguan akan kaitan antara tsunami dengan musim hujan/musim semi.

Tuesday, October 25, 2016

Banjir di kota Bandung ... kok bisa ya?

Senin kemarin (24/10/2016) selama dua jam hujan lebat mengguyur kota Bandung dari jam 11.30 sampai dengan 13.30 WIB dan tanpa diduga sebelumnya sebagian wilayah Bandung khususnya wilayah yang selama ini tidak pernah dilanda banjir besar mengalami banjir. Tidak tanggung-tanggung, ketinggiannya mencapai lebih dari satu meter. Pasteur atau jalan Junjunan yang merupakan mulut tol memasuki Bandung dilanda banjir besar. Dari banyak berita media sosial yang tersebar secara berantai menunjukkan bagaimana kendaraan seperti Livina terbawa arus dan di Pagarsih bahkan ada mobil dan kendaraan roda dua yang terbawa arus sungai. Sampai dengan malam ini masih ada kendaraan yang tidak diketemukan keberadaannya. Saat saya tulis postingan ini, hujan masih mengguyur kota Bandung meski tidak begitu deras. Sore tadi hujan cukup deras di beberapa tempat.
Siang tadi dalam kesempatan kuliah Meteorologi Tropis yang saya asuh, saya mengajak para mahasiswa untuk menganalisis kejadian tersebut, memberikan prediksi, dan memberikan solusi bagaimana sebaiknya ke depan bermitigasi dan beradaptasi terkait banjir. Waktu kuliah 2 jam serasa terlalu cepat untuk mencapai tujuan tersebut. Berikut ini sebagian analisis, prediksi dan solusi yang disampaikan oleh para mahasiswa.
"Menurut weather.meteo.itb.ac.id, curah hujan di kota Bandung pada tanggal 21 sampai dengan 24 Oktober 2016 tercatat masing-masing sebesar 17, 6, 13, dan 36 mm. Akumulasi jumlah curah hujan dalam beberapa hari tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir di Bandung. Menurut BMKG, intensitas curah hujan ringan adalah sebesar 5-20 mm/hari dan curah hujan sedang sebesar 20-50 mm/hari. Data BMKG menyatakan bahwa pada hari kejadian (Senin), curah hujan tercatat 77,5 mm dalam waktu satu jam yang merupakan kategori sangat lebat. Berdasarkan citra satelit Himawari 8 (weather.is.kochi-u.ac.jp) menunjukkan bahwa pada hari kejadian, wilayah Jawa khususnya Jawa Barat tertutup awan rendah yang diduga adalah awan-awan yang berpotensi menimbulkan hujan yakni Nimbostratus dan Kumulus. Selain itu berdasarkan data bom.gov.au (BMKG nya Australia), nilai indeks IOD (Indian Ocean Dipole) adalah negatif yang berarti bahwa SST (temperatur permukaan laut) di wilayah Samudra Hindia bagian Timur (sebelah barat Sumatera ekuator) lebih hangat dibandingkan di Samudra Hindia bagian imur Afrika ekuator. Hal tersebut menyebabkan terjadinya konveksi tinggi dan proses penguapan lebih cepat yang memicu pembentukan awan konvektif yang menyebabkan hujan lebat. Selain itu, indeks osilasi selatan (SOI) menunjukkan nilai positif lebih dari 7. Ini menandakan bahwa di samudra Pasifik terjadi La Nina. Kejadian ini bertepatan dengan suhu permukaan laut di wilayah Indonesia yang lebih tinggi dengan anomali sebesar 0.5-1.5 oC di atas normal. Menurut earth.nullschool.net terdapat tekanan rendah di wilayah selatan Jawa. Dengan streamline yang mendukung, maka pembentukan awan-awan hujan memungkinkan terjadi di wilayah Jawa Barat khususnya Bandung.  Secara lokal, kelembapan relatif di ketinggian 850, 700, dan 500 milibar di atas Bandung pada waktu kemarin sebesar 82%, 84% dan 92% atau sangat tinggi. Ini makin mendukung terjadinya hujan.
Dari sudut lingkungan, hujan yang turun berturut-turut selama 6 hari kemungkinan menyebabkan tanah di daerah Lembang menjadi jenuh sehingga tidak mampu menampung air hujan lagi. Akibat tanah Lembang yang sudah jenuh maka air hujan akan menjadi limpasan (run off) yang menyebabkan debit air sungai Citepus menjadi meningkat drastis. Selain itu kondisi dari daerah Lembang sendiri yang memiliki rekahan di sekitar area sesar Lembang menyebabkan terjadinya kebocoran akuifer sehingga aliran airnya menjadi lebih cepat. Keadaan sungai Citepus yang dangkal akibat adanya sampah dan endapan erosi memperparah luapan aliran sehingga timbul banjir. Drainase perkotaan juga tidak berfungsi dengan baik sehingga air tidak mengalir dengan lancar. Perubahan tata guna lahan dari lahan hijau menjadi pemukiman di Bandung utara menjadikan air hujan tidak dapat maksimal mengalami proses infiltrasi dan perkolasi. Topografi mendukung adanya aliran air yang deras ke bagian lembah di wilayah Bandung bagian tengah dan selatan.  Seperti diakui juga oleh BPLHD Jabar bahwa kawasan seperti Pasteur, Pagarsih, Gedebage, dan Antapani merupakan kawasan terendah Bandung dimana diantara keempatnya Gedebage lah yang paling rendah. Dengan topografi yang demikian maka aliran air akan tertumpuk pada kawasan rendah tersebut. Pembangungan perumahan di sekitar Pasteur juga memberikan kontribusi bagi berkurangnya area resapan air.
Berdasarkan prediksi Accu weather untuk kondisi satu minggu ke depan, peluang curah hujan tertinggi terjadi pada tanggal 27 Oktober 2016 sebesar 23 mm, menyusul tanggal 28 Oktober sebesar 22 mm dengan peluang 70%. Pada tanggal tersebut peluang terjadinya guntur sebesar 60% dengan tutupan awan sebesar 96%. Dalam beberapa hari ke depan, tutupan awan di atas Bandung sebesar 81-98%. Berdasarkan indeks iklim BoM Australia, hingga bulan November mendatang, IOD masih bernilai negatif sehingga meningkatkan peluang terjadinya awan-awan konvektif di Indonesia bagian barat. Oleh karena itu maka hujan deras berpeluang besar terjadi di banyak tempat, termasuk Bandung. Hujan akan terus terjadi hingga puncak bulan basah (DJF) saat monsoon Asia menguat. Dengan kondisi yang dijelaskan di atas maka masih banyak peluang terjadinya banjir di kota Bandung bila tidak ada langkah-langkah sigap dalam mengatasinya. Early warning system pun harus dibangun agar tidak sampai timbul korban jiwa dan harta yang lebih banyak. Selain hal tersebut, berikut ini sejumlah langkah yang mungkin bisa ditempuh.
1. Rain harvesting
2. Penggalakan biopori dan sumur resapan
3. Pelebaran gorong-gorong, pembuatan tol air, dan normalisasi saluran drainase
4. Pembangunan pompa air di kawasan rawan banjir
5. Pemetaan kawasan rawan banjir
6. Kebijakan pengaturan tata guna lahan dan penataan kota
7. Reboisasi diperbanyak
8. Mendorong masyarakat untuk sadar lingkungan dan cuaca ekstrim.
Kira-kira demikian yang dibahas dalam waktu singkat tersebut. Tentu masih banyak hal yang belum terbahas atau terlewat". Salam waspada!!