-->
Saat ini masih memasuki
musim kemarau. Seperti yang telah disampaikan oleh BMKG (Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika), sebagian besar wilayah Indonesia baru akan memasuki
musim hujan mulai Oktober mendatang. Sudah sejak beberapa waktu ini penduduk
sebagian wilayah Indonesia mengalami kesulitan air untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Banyak sumur, sungai dan waduk kering sehingga berdampak
banyak pada pola hidup di sebagian wilayah. Bahkan bila waduk tidak mendapatkan
pasokan air dari hujan, pada beberapa waktu ke depan, akan berakibat pada kritisnya
pasokan listrik dan irigasi pertanian di banyak wilayah. Ini tentu merupakan
ancaman bagi hajat hidup orang banyak, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Namun demikian kita
masih diuntungkan karena dipole mode menunjukkan kondisi normal dan El Nino
dalam kondisi lemah. Seperti kita ketahui jika Dipole Mode positif maka wilayah
Indonesia bagian barat akan mengalami pengurangan curah hujan, sedangkan jika
El Nino kuat maka sebagian besar wilayah Indonesia (khususnya) bagian timur
akan mengalami kekeringan. Dari gambar di bawah terlihat bahwa anomaly suhu
muka laut pada saat ini menunjukkan anomaly negative khususnya di selatan
wilayah Indonesia yang menunjukkan bahwa perawanan masih akan tertekan karena
timbul subsidensi di wilayah ini. Sedangkan
sebelah utara
Indonesia, perairan lebih panas dibanding di sebelah selatan sehingga
berpotensi untuk timbulnya perawanan yang menghasilkan hujan.
Curah
hujan di Indonesia
Curah hujan di
Indonesia umumnya berasal dari awan-awan jenis orografis dan konvektif; tidak
akan dijumpai awan-awan yang berasal dari front karena front tidak pernah
terbentuk di wilayah kita. Front merupakan pertemuan dua massa udara dengan
jenis berbeda yang terjadi di wilayah luar tropis; di lintang tengah.
Curah hujan orografis
adalah curah hujan yang terbentuk di wilayah pegunungan dan umumnya jatuh di
daerah di atas angin (wind ward) dan
menimbulkan efek Fohn pada daerah arah di bawah angin (leeward). Curah hujan jenis ini disebabkan kondensasi dan
pembentukan udara lembap yang dipaksa naik oleh gunung atau barisan pegunungan.
Di negara kita, pembentukan curah hujan orografis sering diperkuat oleh pengaruh
proses konveksi.
Curah hujan konvektif
terbentuk dari proses perawanan konvektif. Pada siang hari, saat matahari
bersinar maka penguapan terjadi yang berakibat pada pembentukan perawanan konvektif.
Awan ini tumbuh vertikal, dan bila arus naik (upfraft) cukup kuat maka awan-awan jenis ini bisa mencapai lapisan
stratosfer. Di Indonesia awan jenis ini sering terjadi karena penguapan yang
tinggi yang penyebarannya sangat dipengaruhi oleh monsoon. Awan-awan jenis
inilah yang sering disemai dalam proses hujan buatan.
Modifikasi
cuaca
Modifikasi cuaca adalah
upaya manusia agar suatu kondisi cuaca sesuai dengan keinginan manusia. Banyak
ragam modifikasi cuaca, seperti penindasan es, melenyapkan kabut, peleraian
awan agar tidak terjadi hujan, peleraian siklon, hujan buatan/ hujan rangsangan. Sebelum
modifikasi cuaca modern, orang mengharapkan turun hujan dengan melakukan
pembacaan mantra, tari-tarian dan sebagainya. Teknologi modifikasi cuaca modern
dimulai tahun 1946 sejak percobaan pembenihan awan dengan menggunakan es kering
oleh Vincent Schaefer dan Irving Langmuir; yang pada tahun berikutnya
diteruskan oleh Vonnegut yang menemukan perak iodia yang bisa bertindak sebagai
inti es.
Upaya yang sering
dilakukan di Indonesia terkait dengan modifikasi cuaca adalah dengan melaksanakan
hujan buatan. Usaha ini sudah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1979 yang
dilaksanakan di Perum otorita Jatiluhur oleh BPPT (Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi) yang dibantu oleh para tenaga ahli dari perguruan tinggi,
termasuk ITB. Selama ini pelaksanaan hujan buatan dilakukan dengan menggunakan
pesawat terbang khusus; walaupun biayanya mahal (tahun ini dianggarkan 3 milyar
rupiah) tetapi daya jelajahnya/ area yang disemai relatif jauh lebih luas
dibandingkan dengan menggunakan menara dispenser tetap. Umumnya hujan buatan dilaksanakan
untuk menambah debit waduk yang digunakan baik untuk irigasi maupun untuk
pembangkit listrik. Di pulau Jawa, hujan buatan sendiri agar berhasil maka
dilaksanakan pada bulan-bulan menjelang musim penghujan seperti sekitar Oktober-November.
Di bulan-bulan lain sangat kecil kemungkinannya berhasil karena penambahan zat
semai (umumnya garam dapur dan urea) tidak akan terlalu banyak menambah
kebasahan awan. Ini karena kelembapan relatifnya tak cukup menjadikan proses
tumbukan dan tangkapan berlangsung cepat. Bila kelembapan relatif dalam awan
cukup maka penambahan garam dapur akan mempercepat proses pembentukan tetes
hujan. Bila percepatan vertikal tetes hujan
lebih kecil dibanding dengan gravitasi maka tetes hujan akan jatuh menjadi hujan.
Awan-awan jenis
konvektif seperti Cumulus merupakan target operasi hujan buatan. Awan-awan
inilah yang berpotensi untuk
mendatangkan hujan cukup deras. Awan-awan jenis lain seperti stratus jarang
dilakukan penyemaian karena tidak akan mendatangkan hujan yang deras. Secara
teoritis, awan-awan jenis stratus disemai agar lerai sehingga tidak menyebabkan
panas yang tertahan di bawahnya, khususnya di daerah cekungan seperti Bandung.
Tampaknya hal ini di negara kita belum pernah dilaksanakan karena diperkirakan tidak
ekonomis.
Pada kondisi kemarau
sekarang ini, di beberapa daerah di Indonesia dijumpai kekeringan/ kekurangan
air. Masyarakat harus mencari air ke tempat yang jauh, sungai sudah kering,
irigasi tidak lancar lagi, bahkan air waduk atau danau menyusut sehingga
menghambat pasokan listrik ke masyarakat. Jika hal ini tidak ditangani secara
serius, bukan tidak mungkin akan berdampak sangat serius pada kehidupan
masyarakat mengingat air merupakan kebutuhan utama sehari-hari. Mengharapkan
curah hujan jatuh dari langit melalui kegiatan hujan buatan tampaknya merupakan
hal yang agak sia-sia khususnya di sebagian Sumatera bagian selatan, pulau Jawa
sampai Nusa Tenggara timur. Kalaupun dilaksanakan aksi hujan buatan maka
tidaklah ekonomis; dalam arti besarnya curah hujan yang ditimbulkannya tidak
akan sesuai dengan biaya operasinya; kalau tidak ingin dikatakan bahwa hujan
buatan akan gagal sama sekali. Saya pikir hujan buatan untuk menambah pasokan
air akan berhasil bila dilaksanakan bulan Oktober ke depan mendatang. Namun
tidak ada salahnya jika dilaksanakan untuk wilayah-wilayah di sekitar ekuator
khususnya yang masuk di utara ekuator.
Penyadaran
masyarakat
Tampaknya salah satu program paling jitu adalah dengan
gerakan menghemat air dan manajemen sumber daya air yang lebih baik. Kita tidak
menghambur-hamburkan air bersih untuk melakukan hal-hal yang tidak perlu,
melakukan tata kelola perbaikan siklus hidrologi lokal (misal dengan melalui
gerakan penanaman pohon dan pengambilan air tanah secukupnya saja) dan melalui
pendidikan masyarakat. Perlu pula diketahui oleh masyarakat bahwa pemanasan
global yang makin meningkat ini sangat berdampak pada siklus hidrologi global.
Curah hujan akan berkurang, hujan deras yang tiba-tiba dalam waktu singkat, dan
berbagai hal lain yang merugikan umat manusia. Sudah selayaknya dan sewajarnya
kita makin bertanggungjawab terhadap lingkungan; lakukan reduce, reuse, dan
recycle mulai dari lingkungan yang kecil, mulai dari hal-hal yang kecil, dan
mulai dari sekarang sehingga bumi masih akan tetap nyaman untuk ditempati dalam
jangka waktu yang lama.
No comments:
Post a Comment