Saturday, January 18, 2014

Pembentukan es dalam awan dingin

Proses tumbukan dan gabungan merupakan proses yang sangat penting untuk menghasilkan presipitasi dalam awan panas yang tidak mengandung es. Hanya awan yang relatif dangkal (ketebalannya kecil) yang tidak mengembang tinggi ke dalam troposfer yang tidak memiliki apa-apa selain tetes air; contohnya awan stratus (St). Awan-awan besar mengembang ke atas di wilayah troposfer dimana temperaturnya di bawah level beku. Awan dingin ini mengandung es dan tetes air superdingin.
Saat temperatur mendingin di bawah level beku 0 oC, tetes air besar cenderung membeku lebih dulu mendahului tetes yang lebih kecil. Saat tetes air memerlukan temperatur yang lebih rendah untuk membeku, jumlah tetes air superdingin dalam awan dingin akan berkurang terhadap ketinggian. Pengintian es spontan hanya terjadi pada temperatur yang sangat rendah. Kalau dalam awan panas pembentukan tetes disebabkan aksi inti kondensasi maka pada awan dingin pembentukan tetes diakibatkan oleh aksi inti es. Inti es bisa berasal dari aerosol ataupaun pecahan kristal es. Sedikitnya inti es mencegah permulaan pembentukan es di awan terjadi cepat.
Ketika tetes air cair superdingin dan partikel es berada dalam parsel udara yang sama maka tetes air akan mencoba untuk menjaga tekanan uap lebih tinggi daripada pada partikel es. Pengendapan ini sama cepatnya dengan penguapan tetes air. Hasilnya adalah bahwa kristal es tumbuh sedangkan tetes air akan mengecil. Proses yang digambarkan tersebut dikenal dengan proses Wegener-Bergeron-Findeisen atau sering disebut proses Bergeron. Proses ini merupakan mekanisme dominan pembentuk presipitasi (salju, hail dsb).

Bagaimana hujan terbentuk?

Kalian tahu khan "hujan"? Tapi tidak semua orang tahu, bagaimana hujan bisa terbentuk. Seperti saat ini dimana hujan sudah banyak terjadi di wilayah kita. Dengan kata lain, musim hujan telah terjadi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hujan, ada baiknya kita mengenal dulu ukuran tetes awan dan hujan. Tetes awan berukuran 0,02 mm sedangkan tetes hujan berukuran 2 mm. Tetes kabut dan awan terbentuk dari agregasi uap air melalui proses kondensasi pada inti kondensasi yang bersifat higroskopis (menyerap uap air di sekelilingnya). Pada kelembapan relatif 75-80% kebanyakan inti kondensasi mulai tumbuh. Saat kelembapan relatif mendekati 100%, inti kondensasi yang lain menjadi teraktivasi. Awalnya tetes kecil tumbuh dengan cepat dalam suatu parsel udara yang mendingin tetapi saat menjadi besar, laju pertumbuhannya turun dengan cepat. Akibatnya proses pertumbuhan kondensasi ini menjadi demikian lambat untuk menghasilkan tetes air berukuran tetes hujan (bisa butuh waktu sampai berhari-hari).  
( http://www.wanitamakassar.com)
Dalam awan panas, tetes hujan dapat tumbuh melalui proses tumbukan dan gabungan. Dalam proses ini tetes besar yang jatuh akan bertambah besar akibat tumbukan dengan tetes-tetes kecil dalam lintasan jatuhnya. Mekanisme ini bekerja karena tetes besar jatuh lebih cepat daripada tetes kecil. Ada 2 gaya yang bekerja pada obyek yang jatuh yakni gaya gravitasi yang mempercepat obyek menuju ke permukaan bumi dan gaya gesekan yang memperlambat proses jatuh tersebut. Ketika kedua gaya ini seimbang maka obyek akan jatuh pada laju yang tunak dan konstan yang disebut kecepatan terminal. Kecepatan terminal tetes yang besar lebih besar daripada tetes yang kecil.
Mekanisme tumbukan dan gabungan seperti disebut di atas lebih lanjut bisa dijelaskan sebagai berikut. Updraft dalam awan cenderung menahan tetes jatuh untuk naik. Tetes dengan kecepatan terminal kurang dari kecepatan updraft akan diangkat ke level yang lebih tinggi di dalam awan. Tetes akan jatuh dari awan bila kecepatan terminalnya melebihi kecepatan updraft. Proses pertumbuhan tetes oleh proses tumbukan dan gabungan akan meningkat karena lebarnya spektrum ukuran tetes sehingga jangkauan kecepatan terminal tetes lebar.  Selain itu juga karena konsentrasi tetes yang tinggi, updraft dalam awan yang kuat sehingga waktu tumbukan menjadi lebih lama, serta perbedaan muatan listrik pada tetes yang menghasilkan peluang tumbukan dengan tetes lain. Kalau tetes-tetes awan tersebut berkembang menjadi tetes-tetes hujan melalui proses di atas maka terbentuklah hujan.

Thursday, January 16, 2014

Proses fisis pembentukan hujan dan "kesalahan pemikiran" tentang modifikasi cuaca

Indonesia telah memasuki musim hujan. Setiap hari selain berita politik ditampilkan berita-berita seputar hujan dan banjir di banyak tempat. Sampai tadi malam, diberitakan dari wilayah Timur Indonesia terjadinya banjir di Manado, Sulawesi utara yang digambarkan oleh kepala BNPB daerah sebagai mirip tsunami. Sesuatu yang wajar mengingat interaksi monsoon, La Nina dan perairan sekitar Sulawesi yang hangat sehingga memicu timbulnya hujan lebat di wilayah tersebut.
Banjir di Jakarta juga lebih dulu diberitakan dan upaya-upaya untuk mengatasinya gencar diekspos di media massa. Dalam media online juga ramai  dibicarakan masalah ini; ada yang pro dan kontra serta banyak yang pesimis dan mencibir upaya pemerintah daerah DKI Jakarta dalam mengatasi banjir. Sejak kemarin BNPB pusat dan pemerintah daerah DKI telah meminta BPPT UPT Hujan Buatan untuk turut serta mengatasi banjir di Jakarta dengan melakukan modifikasi cuaca.
Menyimak apa yang dikemukakan oleh saudara Heru Widodo kepala UPT Hujan Buatan alam wawancaranya dengan Kompas TV, ada hal yang perlu saya komentari. Pertama adalah adanya anggapan bahwa dengan melaksanakan hujan buatan maka curah hujan di Jakarta akan berkurang dan seolah-olah tidak menimbulkan bencana di wilayah lain. Ini tentu harus dikoreksi. Prinsip hujan buatan adalah mempercepat proses tumbukan dan tangkapan tetes air yang ada di atmosfer dengan memberikan tambahan inti kondensasi di awan. Benar bahwa hujan akan lebih cepat jatuh di suatu tempat namun yang menjadi masalah adalah jika hujan tersebut jatuh di wilayah daratan yang lain bisa menimbulkan masalah misal banjir dan tanah longsor di wilayah lain. Dengan kata lain jangan sampai masalah banjir di Jakarta coba diselesaikan dengan menimbulkan masalah lain di tempat lain. Apakah ini sudah dipikirkan? Kita harus berhitung dengan cermat agar awan-awan yang disemai menghasilkan hujan di wilayah-wilayah yang diperkirakan tidak akan menimbulkan masalah baru, oleh karena itu tidak boleh hanya menyebar asal-asalan yang penting terjadi hujan.  Yang kedua adalah perlu dikembangkan teknik dan metode baru untuk melerai atau menceraiberaikan awan hujan. Pada prinsipnya ini hanya masalah bagaimana agar tetes-tetes awan dan hujan menghilang sehingga seperti membalikkan proses pembentukan hujan buatan.
Untuk kalangan awam yang tidak pernah belajar tentang meteorologi, perlu saya berikan sekilas gambaran bagaimana terbentuknya hujan. Awan terdiri dari tetes-tetes awan yang berukuran sangat kecil (dalam ukuran mikron) yang mengapung di atmosfer. Tetes-tetes ini berasal dari inti kondensasi yang menyerap uap air di sekitarnya. Akibat gaya angkat dan gaya gravitasi  yang mungkin berbeda maka tetes-tetes awan yang berukuran beraneka ragam akan jatuh dan menumbuk tetes awan lain sehingga tetes awan tersebut akan bergabung membentuk tetes hujan. Agar terbentuk tetes hujan diperlukan ratusan ribu bahkan jutaan tetes awan. Tetes hujan tersebut akan jatuh jika gaya gravitasinya lebih besar daripada gaya angkat yang ditimbulkan oleh updraft. Penyebaran atau penyemaian inti kondensasi yang bersifat higroskopis ke dalam awan memperbesar peluang terjadinya tetes hujan. Karena perawanan di Indonesia kebanyakan merupakan awan-awan panas dan campuran, maka penyemaian inti kondensasi menggunakan garam dapur. Material yang berbeda digunakan untuk jenis awan dingin yang banyak terjadi di lintang tengah dan tinggi.


Tuesday, January 14, 2014

Efektifkah modifikasi cuaca untuk mengatasi banjir di Jakarta??

Dalam beberapa waktu ke depan, pemerintah daerah DKI Jakarta bekerjasama dengan BPPT akan melaksanakan rekayasa/ modifikasi cuaca dalam hal ini menjatuhkan hujan di tempat lain di luar Jakarta. Hal ini dimaksudkan agar hujan yang diperkirakan akan jatuh di Jakarta dapat dijatuhkan di luar Jakarta. Seperti telah kita ketahui bersama dalam beberapa hari terakhir, banjir telah melanda sebagian besar Jakarta. Tanggal 1 Januari 2014 yang lalu, saya telah posting peluang terjadinya banjir di banyak tempat di Indonesia berdasarkan prediksi curah hujan kuartal pertama tahun 2014. Saya memperkirakan curah hujan akan mencapai puncaknya awal dan pertengahan Pebruari yang kemudian akan menurun untuk wilayah-wilayah yang bertipe curah hujan monsoon seperti Jakarta. Jadi bisa kita bayangkan jika pada saat sekarang ini saja sebagian Jakarta telah terendam air, bagaimana nantinya bila curah hujan telah mencapai maksimum.
Kembali pada upaya modifikasi cuaca di atas. Meskipun saya tidak yakin akan keberhasilannya dalam mengatasi banjir di Jakarta, ada baiknya untuk kita coba lakukan. Pada saat ini angin yang bertiup adalah dari barat daya sampai  barat laut yang membawa banyak uap air yang berpotensi menjadi awan hujan seperti kumulonimbus (Cb), kumulus (Cu) dan Nimbostratus (Ns). Bila awan-awan hujan ini dijatuhkan di selat Sunda misalnya, maka kemungkinan untuk terjadinya hujan di Jakarta akan berkurang tetapi tidak meniadakan sama sekali hujan. Biaya 28 milyar rupiah relatif tidak besar jika dibanding dengan manfaat yang kemungkinan bisa diperoleh. Meskipun demikian patut menjadi pertimbangan juga bahwa banjir yang selama ini menimpa Jakarta tidak hanya disebabkan semata-mata karena hujan tetapi juga karena perilaku masyarakat Jakarta dan sekitarnya yang kurang terpuji. Misalnya seperti membuang sampah sembarangan/ ke sungai/ saluran drainase, merusak lingkungan di bagian hulu/ merambah waduk/ tempat penampungan air, membangun perumbahan di sepanjang bantaran sungai sehingga mengganggu aliran sungai, mengurangi peresapan/ infiltrasi air ke dalam tanah sehingga memperbesar run off, dan yang tidak kalah pentingnya adalah karena tinggi topografi Jakarta yang relatif rendah. Faktor topografi yang rendah dan kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim diperkirakan akan menenggelamkan kurang lebih 24,2% wilayah Jakarta pada tahun 2050 (Safwan Hadi dkk). Nah lho, ibukota negara masih tidak akan dipindahkan???

Wednesday, January 1, 2014

Ramalan cuaca dan musim awal tahun 2014

Tampaknya awal tahun 2014, cuaca dan musim akan relatif seperti biasanya. Melihat nilai indeks dipole mode yang negatif demikian juga dengan kondisi La Nina yang diperkirakan lemah serta monsoon Asia yang diperkirakan akan makin menguat, ditambah lagi dengan perairan wilayah Indonesia yang cenderung panas (lebih dari 28 oC, terkecuali di selat Karimata dan selatan Yogyakarta) maka kemungkinan hujan akan banyak terjadi di banyak wilayah Indonesia. Dari mulai Aceh sampai dengan Papua, peluang terjadinya hujan akan besar. Tren presipitasi diperkirakan akan cenderung meningkat dimana puncaknya sekitar awal sampai pertengahan Pebruari, setelah itu cenderung menurun. Meskipun untuk masing-masing pulau mengalami kecenderungan meningkat tetapi bukan berarti selalu meningkat di atas normal. Ada kalanya tren peningkatan tersebut ditandai dengan sedikit penurunan di bawah normal seperti misalnya di Kalimantan bagian tengah dan Bengkulu.
Di kuartal pertama mendatang, di atas wilayah Indonesia pada ketinggian sekitar 850 mb terjadi konvergensi antara angin baratan dengan angin timuran yang menyebabkan wilayah ini banyak mengalami hujan konvektif. Ini berarti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan kepulauan lainnya akan dilanda hujan yang cukup besar sehingga berpeluang terjadinya banjir di banyak tempat. La Nina yang diperkirakan dalam taraf lemah memberikan peluang wilayah Indonesia akan mengalami sedikit penambahan curah hujan dibanding normalnya.
Wilayah-wilayah Indonesia yang mempunyai pola hujan tipe A (baca postingan sebelumnya) seperti sebagian sumatera bagian selatan, seluruh Jawa, dan Nusa Tenggara serta Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian selatan dan sebagian Papua banyak dipengaruhi oleh monsoon yang membawa cukup banyak hujan pada kuartal pertama 2014. Sumatra bagian utara dan tengah (Sumatera Barat dan sekitarnya) akan banyak dipengaruhi oleh dipole mode negatif sehingga peluang terjadinya hujan juga makin besar. Di sisi timur yakni Papua dan sekitarnya juga berpeluang hujan lebih besar karena La Nina lemah ditambah monsoon Asia yang akan cukup kuat; apalagi mengingat perairan sekitar Papua yang cukup hangat yang menambah timbulnya perawanan konvektif.






Sekilas peristiwa cuaca 2013

Tahun 2013 telah berlalu, sekarang saatnya menapaki tahun baru tahun 2014. Bencana alam baik gempa, tsunami sampai dengan siklon/ hurricane silih berganti mewarnai kehidupan umat manusia di dunia ini. Peristiwa alam yang sangat merugikan umat manusia ini terkadang sulit untuk diprediksi. Siapa yang mampu memprediksi gempa, tsunami dan siklon? Dari ketiga macam bencana tersebut, yang agak bisa diprediksi adalah siklon yang merupakan peristiwa cuaca. Tidak ada yang mampu memprediksi dengan tepat kejadian gempa dan tsunami karena pencetusnya berada di bawah permukaan bumi. Masih beruntung bahwa peristiwa cuaca semacam siklon bisa diprediksi karena berada di atas permukaan bumi. Meskipun demikian, namanya juga prediksi/ ramalan ... bisa saja meleset. Tidak ada jaminan bahwa ketepatan prediksi akan 100% tepat benar bahkan oleh ahli meteorologi sekalipun.
Beruntunglah bahwa Indonesia terletak di sekitar ekuator sehingga efek peristiwa alam di atas (dalam hal ini siklon tropis) tidak sampai menjangkau wilayah ini. Hanya memperoleh imbas dari ekor siklon ini, baik yang terjadi di belahan bumi utara maupun selatan. Biasanya dampaknya adalah angin kencang dan gelombang laut yang tinggi di beberapa wilayah Indonesia yang berdekatan dengannya. Peristiwa cuaca yang paling dominan terjadi di wilayah Indonesia adalah kekeringan dan banjir serta yang beberapa tahun terakhir turut mengemuka adalah puting beliung (tornado-like).
Beberapa minggu terakhir karena di banyak tempat di wilayah Indonesia sudah memasuki musim hujan, banjir terjadi dimana-mana. Sesuatu yang wajar mengingat sudah banyak wilayah di negara ini lingkungan sudah banyak mengalami perubahan. Hutan-hutan dirambah, perencanaan tata kota dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat, saluran-saluran air terganggu fungsinya, dan perilaku sosial masyarakat yang tidak peduli pada lingkungan memperbesar peluang terjadinya banjir meskipun kadangkala dengan curah hujan yang tidak deras.
Puting beliung di pulau Jawa yang mempunyai tendensi meningkat beberapa tahun terakhir ini juga makin sering terjadi dengan kerugian harta benda dan bahkan sesekali korban jiwa. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti korban jiwa akan makin bertambah dengan makin banyaknya cuaca ekstrim yang terjadi di kawasan ini. Sudah saatnya bagi kita untuk makin peduli pada lingkungan agar timbal balik lingkungan kepada kita juga makin baik dan tidak timbul bencana alam yang merugikan umat manusia.


Tuesday, December 24, 2013

Nantikan ramalan cuaca 2014

Saya lagi mencoba untuk meramal cuaca dan musim tahun 2014 berdasarkan analisis keadaan Indian Ocean Dipole Mode, monsoon index dan ENSO. Moga-moga sebelum tahun baru sudah saya tulis di blog ini. Selamat hari natal dan tahun baru 2014 bagi yang merayakannya. Salam hangat dari kota sejuk di Indonesia ini.

Sunday, November 24, 2013

Sekilas tentang siklon/hurricane/topan/taifun/willie-willies

Ada beberapa istilah yang patut dipahami manakala kita membahas tentang siklon. Pertama adalah siklon tropis. Siklon tropis merupakan sistem tekanan rendah berskala sinoptik yang berkembang di atas wilayah lautan tropis dan subtropis. Dia mempunyai inti panas. Yang kedua adalah siklon luar tropis/ lintang tengah yang merupakan sistem tekanan rendah yang sumber energi primernya sering berkaitan dengan sistem frontal. Sedangkan yang ketiga adalah siklon subtropis yang merupakan sistem tekanan rendah yang berkembang di atas lautan subtropis dan awalnya mempunyai sirkulasi non tropis tapi menunjukkan beberapa elemen pola-pola awan yang berhubungan dengan siklon tropis. Ia sering dipandang sebagai sistem hibrid dengan beberapa karakteristik siklon tropis dan luar tropis.
Kebanyakan gangguan tropis menghasilkan badai guruh dan presipitasi yang besar selama beberapa hari sebelum meluruh. Namun jika kondisi cocok maka gangguan tropis bisa berkembang menjadi siklon tropis. Kondisi yang diperlukan agar terbentuk siklon tropis adalah:
a. temperatur permukaan laut lebih dari 26oC
b. angin lemah di level atas
c. gangguan menyebabkan konvergensi dan rotasi di level bawah
Pembentukan siklon tropis melalui proses-proses sebagai berikut:
- konvergensi di level bawah mengumpulkan energi laten dan menyebabkan udara naik
- uap air mengkondensasi dan energi laten dikonversi menjadi energi internal dan udara memanas
- pemanasan membangkitkan divergensi di level atas
- divergensi di level atas memindahkan massa dan tekanan permukaan menurun
- terbentuk siklon tropis
Temperatur permukaan laut yang hangat sebenarnya diperlukan untuk mensuplai energi agar cukup untuk membangkitkan sistem tekanan rendah. Angin lemah di level atas diperlukan untuk menjaga puncak badai guruh dari tersapu dan mencegah perkembangan inti panas.
Seperti sudah disebut dalam posting-an sebelumnya, kekuatan dari siklon dapat dinyatakan dalam skala Saffir-Simpson dari 1 sampai 5. Melihat dampak dari topan Haiyan yang berkembang di Philippina kemarin, saya perkirakan masuk pada skala 5 Saffir-Simpson dimana kecepatan anginnya lebih besar dari 155 mil per jam sehingga bisa dikatakan sebagai siklon besar/ mayor.
Ancaman yang bisa ditimbulkan oleh adanya siklon ini adalah: angin sangat kencang, gelombang badai, banjir besar akibat hujan deras, dan tornado. Gelombang badai muncul akibat angin sekitar siklon meniup air laut menuju pantai dan meningkatkan tinggi air laut di pantai. Teluk dan bentuk-bentuk pantai lainnya bisa bertindak sebagai saluran yang mengumpulkan gelombang badai dan membuat air bahkan menjadi lebih tinggi.

Thursday, November 14, 2013

Topan Haiyan dan peluang terjadinya topan serupa di Indonesia

Beberapa hari terakhir ini ramai diberitakan baik oleh televisi nasional maupun multinasional kejadian topan Haiyan yang melanda Philippina dan membawa dampak sosial ekonomi di negara tersebut. Tadi aku mendapat informasi dari salah satu televisi nasional bahwa korban jiwa mencapai dua ribu orang lebih. Tentu ini bukan bilangan yang kecil. Kita patut memberikan empati dan bantuan kepada mereka; dan ini nampaknya juga menggugah pemerintah kita untuk turut memberikan bantuan finansial dan obat-obatan kepada warga Philippina yang mengalami bencana alam tersebut.
Terlepas dari masalah sosial dan ekonomi warga Philippina tersebut, ada baiknya kita mengulas sedikit banyak tentang topan.
Topan atau taifun adalah penamaan masyarakat ilmiah dunia terhadap siklon tropis yang terjadi di wilayah Pasifik Utara bagian barat. Di wilayah lain mempunyai nama yang lain. Di Atlantik utara, siklon tersebut dinamakan hurricane. Di wilayah samudra Hindia dinamakan siklon tropis, sedangkan di sekitar Australia disebut willi-willies. Sebelum bencana alam tsunami Aceh Indonesia dan Jepang, korban bencana alam terbesar di dunia disebabkan oleh siklon tropis. Bisa dipahami karena siklon tropis bisa mendatangkan banjir besar dan angin sangat kencang khususnya pada sekitar mata (dinding mata/ eye-wall).
Siklon tropis biasanya bermula dari gangguan tropis yang berkembang menjadi depresi tropis, badai tropis yang berlanjut menjadi siklon tropis. Tidak semua gangguan tropis tersebut berlanjut sampai menjadi siklon tropis. Bisa saja gangguan tropis berlanjut menjadi badai tropis atau hanya sampai pada tahap depresi tropis bergantung pada kondisi suplai energinya. Bila suplai energi panas laten dari permukaan laut cukup besar akibat temperaturnya yang melebihi 26oC pada area yang luas maka siklon tropis akan berkembang dengan baik. Siklon tropis mempunyai mata yang kondisi cuacanya  cerah dan anginnya calm. Mata siklon ini bisa berdiameter puluhan kilometer sedangkan diameter  siklonnya bisa mencapai ribuan kilometer. Dari citra satelit, siklon tropis ini nampak cukup indah, berbentuk seperti spiral tetapi jangan ditanyakan bagaimana dahsyatnya akibat yang ditimbulkannya.
Pusat siklon adalah tekanan rendah yang dikelilingi oleh tekanan yang makin meningkat ke arah luar. Kekuatan dari siklon tropis ini bisa dinyatakan dengan suatu skala yang disebut skala Saffir-Simpson. Makin besar skalanya makin besar pula dampak yang ditimbulkannya. Bahkan pada skala 5, bangunan semisal hotel beton bisa rata dengan tanah tersapu oleh kekuatan siklon.
Siklon tropis ini bisa terjadi di atas perairan hangat pada lintang di atas 10 derajat. Ini berarti peluang terjadinya siklon tropis di Indonesia sangat kecil. Yang sering terjadi di Indonesia adalah ekor dari siklon tropis ini bisa mempengaruhi cuaca di wilayah kita khususnya siklon di Australia yang sering membawa pengaruh angin kencang dan cuaca buruk di pantai selatan wilayah Indonesia. Oleh karena itu kita tidaklah perlu terlalu khawatir dengan masalah ini. Hal lain terkait siklon tropis ini akan saya sampaikan pada kesempatan berikutnya.

Sunday, October 20, 2013

Puting beliung bisa terjadi bila ada perubahan lingkungan?

Kemarin sore mendung menggelayut langit di atas kompleks perumahanku. Agak tebal dengan warna hitam kelabu. Mendadak ketika aku lagi baca-baca sambil mendengarkan radio, serpihan sampah beterbangan di langit, dan salah satu lembaran fiber atap rumah entah dari mana jatuh di dekat rumahku. Serpihan sampah di langit tersebut bergerak memutar dan terbawa angin jauh ke tempat lain. Aku sempat khawatir dan takut akan kemungkinan terjadinya puting beliung (tornado-like) di wilayahku. Alhamdulillah bahwa puting beliung tidak terjadi. Aku lihat ke langit tidak ada pusaran angin yang terbentuk seperti tornado tersebut. Aku tanyakan ke seorang penduduk asli wilayahku, ternyata memang sejak dia kecil sampai sekarang (usia sekitar 55 tahunan) tidak pernah terjadi puting beliung. Ini sungguh menggembirakanku.
Di lain pihak aku masih khawatir bila puting beliung akan terjadi di wilayahku. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah dengan adanya perubahan lingkungan skala lokal, puting beliung akan terjadi. Bila melihat dengan kacamata yang lebih luas, teringat aku akan peluang terjadinya puting beliung di pulau Jawa yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun seperti yang telah aku tulis sebelumnya. Aku hanya berharap dan berdoa agar puting beliung tidak pernah terjadi di kompleks perumahanku sampai kapanpun. Amin

Saturday, October 5, 2013

Seputar Wilayah tropis

Wilayah tropis adalah wilayah yang dibatasi oleh lintang kuda yakni tropic of cancer dan tropic of capricorn. Seperti telah kita ketahui, tropic of cancer merujuk pada lintang 23,5o N dan tropic of capricorn merujuk pada lintang 23,5o S. Di antara kedua lintang tersebut pola anginnya adalah timuran, artinya angin bergerak dari arah timur ke barat, sedangkan di lintang yang lebih tinggi di wilayah subtropis pola anginnya adalah baratan yang bertiup dari barat ke timur. Wilayah tropis ini mempunyai cuaca dan iklim yang unik yang banyak berpengaruh pada penduduk di wilayah ini. Karena lebih dari 60% penduduk dunia berada di wilayah ini, maka pengetahuan tentang cuaca dan iklim wilayah tropis menjadi  hal yang sangat penting.
Wilayah tropis ini mempunyai beberapa bentuk umum utama untuk diketahui. Distribusi spasial temperatur menunjukkan bahwa tidak terlalu mencolok perbedaan antara satu tempat dengan tempat yang lain dalam jarak yang besar maupun kecil. Justru yang lebih mencolok adalah distribusi temporalnya ... pada pagi hari temperaturnya rendah dan meningkat dan mencapai maksimumnya di sekitar tengah hari yang kemudian menurun kembali pada sore dan malam hari. Gradien tekanannya juga rendah baik spasial maupun temporalnya. Faktor curah hujan merupakan faktor cuaca dan iklim yang paling besar variasinya; mencapai nol sampai beberapa ratus milimeter tiap bulannya. Wilayah  ini mendapatkan radiasi matahari yang besar yang bervariasi terhadap lintang. Kelembapan udaranya relatif tinggi sampai sangat tinggi. Bentuk lain yang dapat dijumpai di wilayah tropis adalah intertropical convergence zone (ITCZ). Wilayah konvergensi ini merupakan wilayah tekanan rendah dengan perawanan yang besar khususnya awan-awan jenis konvektif. Letak ITCZ bervariasi terhadap waktu dan musim; mengikuti pergerakan matahari. Saat matahari berada di belahan bumi utara, ITCZ juga berada di utara; pada saat matahari di belahan bumi selatan, ia juga berada di selatan. Namun secara klimatologis, posisi dari ITCZ lebih banyak di belahan bumi utara.
Ok segini dulu ya ... lain waktu kita lanjutkan kembali.
Sumber: Mc Gregor & Nieuwolt, Tropical Meteorology, John Wiley & Sons,1998


Tuesday, April 16, 2013

Kecelakaan lion air di Bali dan kemungkinan keterkaitannya dengan cuaca

Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan oleh jatuhnya pesawat Lion Air tujuan Denpasar yang berangkat dari bandar udara Husein Sastranegara Bandung Jawa Barat. Sebanyak 101 penumpangnya dan awak pesawatnya selamat, hanya diberitakan bahwa ada yang patah tulang tangan atau kaki. Tentu ini merupakan pukulan bagi industri dirgantara kita mengingat beberapa tahun yang lalu kita sempat ditolak terbang ke berbagai negara (khususnya Eropa) karerna banyaknya pesawat yang jatuh.
Saya mendapat kabar bahwa ketika terjadi kecelakaan tersebut, ada awan kumulonimbus di sekitar bandara dan hujan rintik-rintik. Dari kacamata meteorologist, ini tidak biasanya mengingat kalau terdapat awan kumulonimbus (Cb) seharusnya terjadi hujan deras. Awan Cb merupakan awan berskala meso dengan panjang horizontal 2-20 km, dengan pertumbuhan vertikal yang besar. Awan ini mempunyai tiga tahap pertumbuhan yakni tahap kumulus, tahap mature dan tahap disipasi. Tahap kumulus ditandai dengan updraft sebesar 5 m/s, tak ada downdraft, ukuran sel 2-6 km, updraft meningkat dengan ketinggian, konvergensi di level bawah, dan seluruhnya bergaya apung positif. Tahap mature ditunjukkan oleh kondisi hujan yang pertamakali menyentuh permukaan bumi, terjadi hujan terderas dan turbulensi terkuat, downdraft terbentuk, updraft tetap kuat, divergensi permukaan terjadi di bawah hujan terderas, outflow awan membentuk gust front di permukaan dan ada apungan positif dan negatif. Sedangkan tahap disipasi ditunjukkan oleh kondisi divergensi di level bawah, downdraft melemah, turbulensi kurang intense, dan presipitasi menurun menjadi hujan ringan. Menilik dari informasi bahwa hujannya rintik-rintik dan ada awan Cb, kemungkinan awan Cb pada tahap mulai tahap mature atau sudah mendekati disipasi. Di sisi lain, ada informasi bahwa cuaca di atas bandara Ngurah Rai cerah berawan disertai hujan rintik-rintik. Ini kemungkinan adalah awan stratus. Mungkin juga akibat microburst, seperti downdraft di bawah awan Cb yang terlokasi khususnya microburst kering kebasahan karena timbul virga sampai hujan ringan. Sulit untuk memastikan apakah ini akibat peristiwa downdraft awan Cb atau microburst atau yang lain. Untuk itu  nampaknya diperlukan kajian tentang cuaca di Bali saat itu.

Menyelaraskan pembangunan dengan cuaca dan iklim

Seperti telah dituliskan sebelumnya, faktor cuaca dan iklim yang paling dominan di wilayah Indonesia adalah curah hujan. Tidak dapat dipungkiri, hujan inilah yang berpengaruh pada kehidupan kita sehari-hari. Temperatur yang juga berpengaruh, kalah jauh pengaruhnya dibanding curah hujan. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan-bulan Oktober sampai April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan-bulan April sampai Oktober khususnya di wilayah-wilayah Sumatra bagian Selatan, seluruh pulau Jawa, sampai Nusa Tenggara dan Papua bagian selatan. Artinya pada bulan-bulan tersebut kemungkinan hujan terjadi hampir tiap hari. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh pada jalannya pembangunan khususnya pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, gedung, fasilitas umum dll. Oleh karena itu seharusnya pada musim hujan pembangunan infrastruktur dikurangi dan lebih banyak pembangunan indoor. Ini sepertinya tidak dilaksanakan karena ketidakpahaman dan  kekurangpedulian pemerintah dalam menyelaraskan dan menyesuaikan pembangunan fisik dengan musim.
Berbeda dengan negara-negara yang mempunyai 4 musim. Pada saat musim dingin, dipastikan bahwa pembangunan fisik dihentikan ... sedangkan pada saat musim panas pembangunan fisik digiatkan. Mereka paham bahwa jika pembangunan fisik dilakukan pada musim dingin maka tidak akan efektif dan efisien serta cenderung menghambur-hamburkan dana.
Kembali lagi di negara kita, Indonesia tercinta. Pelaksanaan pembangunan yang tidakselaras dengan musim ini seringkali menyebabkan perpanjangan waktu penyelesaian. Bila ini terjadi maka sudah pasti akan menyedot dana lagi. Negara ini mempunyai 3 pola curah hujan; ada pola A, B dan C (lihat postingan sebelumnya). Oleh sebab itu diperlukan 3 skenario bagaimana menyelaraskan pembangunan dengan cuaca dan iklim lokal. Tidak mudah memang menjalankan hal ini, tetapi bila tidak dicoba bagaimana kita tahu bahwa itu adalah sulit. Kita bisa belajar ke negara-negara lain yang mempunyai pola musim yang berbeda.
Semoga saja pemerintah mau mendengarkannya dan yang paling penting mencobanya.

Tuesday, April 9, 2013

Indeks ketidaknyamanan


Banyak peneliti membuat diagram, klasifikasi atau indeks temperatur-kelembapan untuk meninjau tingkat stress pada kondisi tertentu. Indeks ketidaknyamanan (discomfort index) atau indeks temperatur-kelembapan (THI) memberikan evaluasi yang mudah yang menggambarkan derajat ketidaknyamanan dari berbagai kombinasi temperatur dan kelembapan. Menurut kantor cuaca USA, rumusan berikut digunakan untuk menyatakan indeks ketidaknyamanan:
DI = 0,4 (T + Td) + 15       atau DI = T – 0,55 (100,01 RH)(T – 58)
Dalam hal ini T adalah temperatur udara (oF); Td adalah temperatur titik embun (oF) dan RH adalah kelembapan relatif (%).
Dengan menerapkan hubungan ini, ditemukan bahwa indeks di bawah 70 menunjukkan kenyamanan dan di atas nilai tersebut menunjukkan ketidaknyamanan. 50% orang yang diuji merasa tidak nyaman pada nilai indeks 75, sedangkan di atas 80 kebanyakan orang mengalami berbagai macam ketidaknyamanan. Nilai 85 pada indeks ketidaknyamanan (THI) digunakan oleh beberapa kantor pemerintah di USA untuk meliburkan pekerja karena ketidaknyamanan akut yang dialami oleh kebanyakan orang. Nilai-nilai ini tentu saja telah dikembangkan dengan mengujikan kepada  penduduk USA di lintang tengah dan mungkin akan berbeda dengan kondisi di wilayah Indonesia.
Indeks yang lain yakni temperatur global bola basah (wet bulb globe temperature WBGT) yang merupakan temperatur yang dapat secara aktual diukur dengan menyelimuti thermometer global dengan kain kaos yang dibasahi. WBGT biasanya didekati dari hubungan sederhana ini :
WBGT = 0,2 tg + 0,1 ta + 0,7 tw
Dimana tg adalah temperatur global kering (oC); ta adalah temperatur udara bola kering (oC) dan tw adalah temperatur bola basah (oC).
Marinir USA telah menggunakan indeks ini untuk mengatur aktivitas luar ruangan pada kondisi panas. Mereka menemukan bahwa dengan WBGT di atas 29,5oC aktivitas di luar ruangan seharusnya dibatasi hanya beberapa jam sehari, sedangkan bila lebih dari 31oC maka kegiatan di luar ruangan seharusnya ditunda. Hal ini untuk mengurangi masalah akibat stress panas.
Reaksi manusia terhadap kondisi temperatur dan kelembapan sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin. Bila angin kencang maka akan lebih banyak udara basah yang  hangat di dekat permukaan kulit dipindahkan, evaporasi terjadi, sehingga seseorang akan merasa menjadi lebih dingin. Pada kondisi dingin maka makin besar kecepatan angin yang memindahkan lapisan udara yang dipanaskan di sekitar tubuh. Peningkatan kehilangan panas ini menghasilkan apa yang disebut sebagai efek “windchill”.
Windchill adalah ukuran kuantitas panas yang dapat diserap oleh atmosfer dalam waktu satu jam dari permukaan 1 meter persegi. Siple dan Passel (1945) memberikan rumus sebagai berikut:
K = ( 100 v + 10,45 – v)(33-ta)
Dimana v adalah kecepatan angin (m/s), ta adalah temperatur udara (oC), K adalah daya pendinginan total atmosfer yang terlindung dan tanpa memperhitungkan evaporasi (kg cal/m2 jam)
Seringkali temperatur ekuivalen windchill digunakan untuk menggantikannya. Temperatur ini adalah temperatur pada kondisi kecepatan angin kecil (2,2 m/s) yang sama dengan daya pendinginan untuk kombinasi temperatur aktual dan kecepatan angin. Indeks windchill telah secara luas dipelajari dan digunakan. Indeks ini  mempunyai keterbatasan namun masih bisa digunakan dengan syarat: (1) ia hanya berlaku untuk kehilangan panas dari permukaan kulit yang tidak terlindungi, (2) ia tidak memperhatikan kehilangan panas akibat respirasi, (3) ia tidak dapat digunakan untuk kecepatan angin lebih dari 20 m/s. Temperatur permukaan kulit diasumsikan 33oC. Radiasi matahari gelombang pendek dianggap mengurangi kehilangan panas atau mengurangi efek windchill. Cahaya matahari di lintang tengah bisa menambah sebesar 100-200 kg cal/m2 jam kepada seseorang dan mengurangi nilai kehilangan panas sebesar itu bila diagram tersebut diterapkan pada kondisi tidak terlindung.

Sumber: John R. Mather, Climatology fundamentals and applications, Mc Graw Hill Inc, 1974

Tuesday, March 26, 2013

Sub sistem atmosfer


Atmosfer merupakan sistem termohidrodinamis dari sistem iklim bumi. Komposisi atmosfer merupakan titik awal kritis untuk memahami sistem iklim. Kondisi termodinamis atmosfer seperti dicirikan oleh tekanan, temperatur dan kelembapan spesifik menunjukkan luasnya pembahasan tentang sifat-sifat  atmosfer. Medan gerak 3D dari atmosfer dihasilkan dari pengaruh kombinasi antara komposisi dan keadaan termodinamika atmosfer. Setiap karakteristik ini merupakan hal penting dalam mendefinisikan iklim bumi.
Atmosfer bumi merupakan selubung gas tipis yang terdistribusi hampir seragam di atas permukaan. Atmosfer kering kebanyakan terdiri dari molekul-molekul nitrogen, oksigen dan sejumlah gas lain. Dalam arah vertikal , 50% massa atmosfer ditemukan sampai pada ketinggian 5,5 km dan lebih dari 99% ditemukan di bawah ketinggian 30 km. Sampai dengan mesopause pada ketinggian kira-kira 78 km, komposisi atmosfer praktis seragam untuk konsentrasi nitrogen, oksigen dan gas mulia lain serta karbon dioksida. Sedangkan uap air terutama terkonsentrasi di troposfer bawah dan ozon terkonsentrasi di stratosfer tengah.
Komposisi atmosfer merupakan determinan utama dari respon iklim bumi terhadap energi radiasi. Molekul nitrogen dan oksigen, gas-gas atmosfer yang paling melimpah, tidak aktif secara radiatif akibat struktur diatomiknya dan tiadanya pergerakan dipole bahkan ketika bergetar sekalipun. Sedangkan gas-gas atmosfer yang penting untuk penyerapan dan emisi energi radian hanya berjumlah kurang dari 1% massa atmosfer.

Sumber: Mc Gregor & Nieuwolt, Tropical Meteorology, John Wiley & Sons, New York, 1998

Thursday, March 14, 2013

Air dalam sistem iklim


Air merupakan salah satu isi dalam sistem iklim global dan kuantitas air secara kontinyu bergerak dalam sistem iklim di bumi. Sifat-sifat fisis air menunjukkan bahwa air mempunyai peran utama. Kapasitas termalnya yang tinggi menyebabkan munculnya mekanisme moderasi temperature musim dingin di lintang tengah. Variasi tekanan uap jenuh terhadap temperatur merupakan faktor yang menyebabkan SST di lintang rendah dibatasi oleh evaporasi pada nilai mendekati 29oC, sehingga membatasi temperatur udara di atas  laut tropis pada nilai yang sama. Jumlah energi yang terlibat dalam perubahan fasa mengatur lewatnya energi matahari melalui atmosfer. Karakteristik radiasi infra merah dari  uap air menyebabkannya bertindak sebagai agen penting dalam kehilangan energi dari atmosfer melalui radiasi infra merah ke ruang angkasa. Melalui perannya dalam proses pertukaran energi dan terkait dengan proses-proses dinamis, air merupakan kontributor utama dalam mengatur temperatur atmosfer bebas.
Air secara kontinyu bergerak di antara sub-sub sistem. Pergerakan ini memberikan relokasi kebasahan dan transfer energi baik vertikal maupun horizontal. Namun untuk tujuan praktis kuantitas air berhingga. Dia berubah keadaan atau fase dan bergerak dari satu sub sistem ke sub sistem yang lain. Waktu tinggal di setiap sub sistem berbeda-beda. Rata-rata kebasahan berada di atmosfer dalam 3 hari, tetapi kriosfer bisa menyimpan kebasahan selama puluhan bahkan ratusan ribu tahun. Rata-rata molekul air harus menunggu dalam periode waktu yang sangat panjang di lautan, di lempeng es, atau di akuifer dalam di antara perjalanannya yang singkat di atmosfer.
Sumber: Mc Gregor & Nieuwolt, 1998