Saturday, November 27, 2010

Banjir merupakan persoalan lingkungan

Akhir-akhir ini sering terjadi banjir di banyak kota di Indonesia. Mulai dari yang menggenangi jalan-jalan dengan ketinggian beberapa centimeter sampai menggenangi pemukiman dengan kedalaman dua meter lebih. Sebagai contoh di wilayah Bandung Selatan, Jawa Barat. Setiap tahun sudah dapat dipastikan bahwa kawasan tersebut selalu dilanda banjir. Pemerintah daerahpun sepertinya sudah bosan menangani masalah ini, terbukti sampai sekarang tidak ada upaya yang sangat serius untuk menanggulanginya. Masyarakat sendiri sudah apatis dan memandang banjir sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Herannya mereka tetap tinggal di tempat tersebut meskipun selalu dilanda banjir. Tak ada upaya pindah lokasi atau bahkan transmigrasi bila memungkinkan. Walaupun memang ada masyarakat juga yang kreatif seperti misalnya memanfaatkan kelebihan air untuk beternak lele dan ikan.
Bila kita tinjau bagaimana suatu banjir bisa terjadi maka kita akan berkesimpulan bahwa banyak banjir diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak menjaga keharmonisan dengan alam. Mereka tidak memperdulikan kerusakan lingkungan yang terjadi; mereka hanya menyalahkan pihak-pihak penyebab banjir skala besar. Tak ada upaya untuk memperbaiki lingkungan sendiri dengan memanfaatkan semangat gotong royong.Banjir di Jakarta, misalnya. Selain memang diakibatkan kiriman air dari Bogor, juga karena lingkungan Jakarta sudah rusak dan tidak mampu menampung jutaan meter kubik air hujan yang jatuh. Setiap wilayah Jakarta sudah penuh oleh gedung dan lantai beton atau aspal. Ruang terbuka hijau makin sempit, saluran-saluran air dan sungai tidak dapat berfungsi normal akibat pendangkalan dan sampah yang menumpuk yang menyumbat. Tidak ada wilayah peresapan air yang memadai yang mampu menampung air dalam jumlah besar. Permukaan lautpun makin lama makin naik akibat pemanasan global. Air sungai tidak mampu menggelontor ke laut karena kemiringan permukaan dasar sungai yang makin sejajar dengan permukaan laut. Pengambilan air dalam skala besar-besaran sudah lama terjadi dan mengakibatkan intrusi air laut ke darat. Beberapa waktu yang lalu diberitakan bahwa intrusi air laut sudah berkilo-kilometer ke arah daratan Jakarta. Ini sesuatu yang mengerikan. Jadi adalah wajar ada wacana bahwa ibukota negara Indonesia dipindahkan dari Jakarta, selain karena masalah kemacetan lalu lintas seperti dirilis dalam posting sebelumnya.
Tidak ada rumusan yang jitu untuk mengatasi banjir ini. Pembenahan aspek lingkungan memang merupakan salah satu solusi, tetapi seringkali hanya menyangkut ruang lingkup mikro. Yang diinginkan adalah pembenahan ruang lingkup makro dengan penataan kota yang lebih terintegrasi dengan daerah-daerah lainnya. Tidak boleh ada ego sektoral dalam menangani kasus seperti masalah banjir ini. Kebijakan di tingkat nasional haruslah didorong dan diterapkan dengan law enforcement yang konsisten. Dalam era perubahan iklim global dimana di Indonesia diproyeksikan banyak terjadi hujan lebat dengan intensitas tinggi di banyak wilayah setidaknya harus membenahi lingkungannya dari ruang lingkup mikro sampai makro. Kita tidak dapat mengharapkan terlalu banyak jika persoalan lingkungan hanya dibicarakan dalam taraf makro atau mikro saja. Tentu saja kita tidak bisa berharap alam akan bersahabat dengan kita dan mengharapkan hujan terjadi sesuai dengan yang kita butuhkan saja. Semua kementrian harus bahu membahu dalam mengelola masalah lingkungan ini, tidak hanya kementrian kehutanan, pekerjaan umum, pertanian, atau  pertambangan dan energi saja. Oleh karena itu diperlukan leadership yang kuat untuk membawa Indonesia sesuai dengan cita-cita kita bersama. Tak lupa, keterlibatan masyarakat dalam seluruh upaya pembangunan harus pula mendapatkan perhatian serius.

Tuesday, November 23, 2010

Pola curah hujan di Indonesia

Pada dasarnya terdapat tiga pola curah hujan di Indonesia. Kita menyebutnya sebagai tipe A, B dan C. Tipe A adalah tipe monsoonal, tipe B adalah tipe ekuatorial, dan tipe C adalah tipe lokal. Tipe monsoonal ini mempunyai pola curah hujan yang berbentuk cekung, menyerupai huruf U dimana curah hujan tinggi pada bulan Januari, Pebruari dan makin lama makin turun dimana pada bulan Juli, Agustus hampir nol, kemudian meningkat lagi sampai bulan Desember.Curah hujan dengan pola ini dipengaruhi oleh monsoon barat dan monsoon tenggara/ timur. Monsoon barat berkaitan dengan curah hujan yang tinggi, sedangkan pada monsoon timur curah hujannya rendah. Mengenai monsoon ini, anda bisa baca pada posting sebelumnya di sini. Sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan mempunyai pola curah hujan tipe monsoon ini. Tipe monsoon ini sangat terpengaruh oleh fenomena El Nino di samudra Pasifik ekuator bagian timur. Pada saat El Nino, umumnya pola monsoonal ini melemah, dalam arti curah hujannya turun drastis. Daerah tersebut meliputi Jawa, sebagian Sumatra bagin selatan dan timur, Kalimantan bagian selatan, sebagian Sulawesi dan Papua bagian Selatan dan Utara, serta seluruh Nusa Tenggara sampai negara Timor Leste.
Di pulau Jawa, pada kondisi normal curah hujan di pantai utara umumnya ditandai dengan curah hujan bulan Januari yang lebih besar daripada bulan Desember. Sedangkan makin ke selatan, curah hujan bulan Desember lebih besar daripada bulan Januari dan Pebruari (Boerema). Curah hujan selama musim kemarau di sisi utara pulau Jawa lebih kecil dibanding sisi selatan karena slope pegunungan bagian selatan menghadap monsoon timur yang meningkatkan curah hujan, sedangkan di sisi utara mengalami efek Fohn.
Pola curah hujan ekuatorial banyak terdapat di Indonesia bagian tengah dekat ekuator. Wilayahnya membentang dari sebagian Sumatera, kebanyakan Kalimantan, sebagian Sulawesi dan sebagian besar Papua. Tidak ada pola ekuatorial yang terjadi di pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Pola ini ditandai dengan 2 puncak curah hujan setiap tahunnya yakni di sekitar Maret dan April serta September dan Oktober. Di luar bulan-bulan tersebut curah hujan juga masih tinggi dan praktis tidak terdapat musim kemarau. Boleh dikatakan pola curah hujannya menyerupai huruf M.
Pola yang ketiga yakni pola lokal hanya terdapat di sedikit wilayah di Indonesia. Pola ini ada di beberapa bagian pulau Sulawesi dan Maluku. Pola curah hujannya tidak mengikuti pola A ataupun B tetapi menunjukkan pola yang hampir kebalikan dari tipe monsoonal atau bisa jadi sepanjang tahun curah hujannya datar-datar saja, tidak ada lembah ataupun punggung (ridge) curah hujan. Pola yang terakhir ini hanya terdapat pada spot-spot daerah tertentu yang sangat kecil luas wilayahnya. Pola lokal ini kebanyakan disebabkan oleh efek topografi.