Beberapa waktu ini, khususnya memang dipicu oleh peristiwa menjelang pemilihan kepala daerah atau Gubernur DKI Jakarta kesan bahwa politik identitas begitu mengemuka. Dilanjutkan dengan pemilihan presiden RI yang juga begitu gegap gempita menggaungkan identitas khususnya masalah SARA (suku, agama, ras, antar golongan) sehingga sempat menyebabkan suasana kebatinan dan kebangsaan Indonesia begitu terkoyak-koyak. Bayangkan, dengan jumlah suku di Indonesia yang ribuan dan menganut berbagai agama menyebabkan begitu rentannya persatuan dan kesatuan NKRI bila hal ini terus menerus dilakukan.
Orang-orang yang merasa paling benar sendiri, menganggap tahu segalanya terhadap kehendak Yang Maha Segalanya, kunci surga berada di tangannya dan pemeluk agama lainnya dimusuhi dan dianggap sebagai kafir yang harus diperangi/dimusuhi bahkan boleh jadi dimusnahkan berperan besar pada terpeliharanya bara api yang setiap saat merenggut bangsa Indonesia. Di kehidupan sehari-hari, infiltrasi berbagai aliran yang selama ini dilarang oleh pemerintah karena bisa mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara demikian masif terjadi. Tidak saja dalam kehidupan beragama, tetapi juga seluruh bidang kehidupan seperti pendidikan, penegakan hukum, politik, ekonomi, dan lain-lain. Semuanya dirasuki melalui media massa dan media sosial baik cetak maupun elektronik. Demikian masifnya aliran/pemikiran/pandangan yang mereka gaungkan setiap saat menyebabkan ada kegoyahan dalam memandang persoalan bangsa dan kehidupan ini oleh para pemuka masyarakat dan pemerintah. Karena sering dibenturkan dengan kitab suci atau kutipan ayat-ayat yang bisa multi tafsir maka kegamangan dalam mengambil keputusan terjadi pada diri pemerintah. Sehingga tidak jarang karena hal tersebut, suatu keputusan tergantung pada dinamika yang berkembang di masyarakat, bukan atas kebenaran yg hakiki.
Yang mesti menjadi perhatian kita semua saat ini dan nanti adalah bahwa berita atau potongan-potongan pernyataan/ceramah berantai yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat terkait masalah agama sangat tergantung pada tingkat pemahaman penceramah dan atau pendengarnya. Topiknya macam-macam. Misal tingkat pemahaman penceramah setinggi SMP menyampaikan materi setingkat SMA dan disampaikan kepada masyarakat yang pemahamannya setingkat SD maka bagaimana bisa mengerti orang-orang yang mendengarnya. Atau penceramah yang baru level SMA tetapi mengajarkan materi setingkat PT, bagaimana jadinya pemahaman penceramah tersebut dalam mengutarakan materi ceramah meskipun rujukannya sama.
Majunya orang orang dengan berbagai background pemahaman agama yang diwadahi oleh partai politik menyebabkan seolah-olah ada legitimasi bagi kelompok orang tersebut dalam mengubah tatanan hidup bernegara yang selama ini berideologi Pancasila yang kita cintai ini. Pancasila mampu menjaga keberagaman Indonesia dan bisa menangkal aliran radikal dan rasialis serta teroris. Di bidang pendidikan, waspadai terhadap orang-orang yang berpemahaman tidak sesuai dengan hukum negara. Tetaplah menjaga keberagaman yang ber: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD45. Semoga Indonesia tetap jaya selamanya. Aamiin. Salut kepada NU yang menginisiasi pemahaman masalah ini dan pencarian solusinya dalam forum R20 bulan ini di Bali.