Beberapa waktu ini terdapat kesan bahwa apa yang dipublish di media massa seperti kejar tayang, kurang begitu memperhatikan kevalidan data dan informasi. Mungkin ada juga peneliti yang tampaknya juga mengejar publikasi pokoknya berlomba-lomba memberikan keterangan kepada masyarakat tanpa begitu memperhatikan keakuratannya dan dampaknya kepada masyarakat. Pokoknya sudah seperti selebritis atau wartawan yang mengejar sensasi semu. Euforia demokrasi yang menjangkiti banyak pihak menyebabkan seolah seenak sendiri dalam memberitakan dan menyampaikan pendapat tanpa didasari kaidah ilmiah. Dalam kebencanaan misalnya, dengan menganggap bahwa peristiwa yang sama bisa berulang pada tempat yang sama maka seorang yang tidak berkompeten pada bidangnya akan mencari arsip dan pada tanggal tertentu terjadi bencana anu. Maka dengan mendaur ulang tanpa pertimbangan yang matang dia publish informasi tersebut sebagai berita terkini. Orang yang tidak teliti akan menganggap bahwa berita semacam itu baru saja terjadi (tidak melihat tanggal kejadian) sehingga bisa menimbulkan analisa-analisa atau bahkan tindakan yang tidak tepat. Pokoknya bersuara, itu sepertinya yang menjangkiti sebagian masyarakat kita. Padahal yang harus diingat bahwa peristiwa bencana tidak berlangsung secara eksak, misal pada tanggal tertentu tahun lalu atau beberapa tahun lalu, maka tahun ini akan terjadi peristiwa yang sama pada lokasi yang sama. Bumi mempunyai mekanisme sendiri dalam mengatur dirinya dalam mencapai kesetimbangan dan sulit untuk diprediksi dengan tepat kemauannya. Di sisi yang lain, wartawan yang merupakan salah satu garda depan dalam mengawal demokrasi dan rasa nasionalisme serta jiwa membangun, sering terjebak pada keberpihakan pada salah satu pihak, tidak merdeka dalam pemberitaannya. Prinsip kehati-hatian dalam pemberitaan akan mendorong pencapaian keadilan sosial lebih terjaga.
Obyektif, Independen, Sportif, Berpikir Positif, Berjiwa BESAR
Monday, March 1, 2021
Thursday, February 25, 2021
Bersiap terhadap bencana mendatang
Dalam beberapa waktu ini telah terjadi bencana alam banjir di beberapa wilayah di Indonesia. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa telah terjadi banjir di wilayah Kalimantan Selatan yang merusak banyak sarana prasarana di propinsi tersebut akibat berbagai masalah lingkungan. Peristiwa banjir juga melanda Jakarta, Nganjuk (Jawa Timur), Pekalongan, Kudus dan Semarang (Jawa Tengah). Semuanya diakibatkan oleh curah hujan yang lebat, tidak tertampungnya air oleh saluran drainase, permasalahan kerusakan lingkungan akibat perubahan tata guna lahan dan perilaku masyarakat, Semoga peristiwa ini tidak berulang lagi dalam waktu mendatang mengingat curah hujan makin berkurang dari waktu ke waktu khususnya untuk wilayah yang mempunyai curah hujan monsoonal.
Di wilayah Sumatera Utara sudah mulai terjadi kebakaran hutan. Ini menunjukkan ada daerah-daerah yang sudah menginjak musim kemarau dan bila mengingat apa yang diramalkan oleh BMKG maka hal ini memang patut untuk diwaspadai dan ditindaklanjuti. Perhatikan gambar berikut ini:
Terlihat bahwa wilayah Indonesia yang berada di Utara ekuator diprakirakan pada dasarian ketiga bulan Pebruari ini sudah mengalami curah hujan yang rendah kurang dari 50 mm sehingga peluang dari terjadinya kering dan kekeringan meningkat. Kalau dilihat baru pada bulan Maret, April dan Mei 2021 terjadi El Nino lemah dan Dipole Mode menunjukkan arah menuju IOD positif maka kemungkinan kering meningkat dan menjadi bulan-bulan kering meskipun tidak ekstrim.