Untuk wilayah-wilayah tertentu di Indonesia, saat ini masih mengalami banyak hujan, sedangkan di wilayah lainnya sudah mengalami musim kemarau. Hujan masih terjadi di wilayah-wilayah yang bertipe curah hujan ekuatorial dan lokal dimana merupakan sebagian kecil dari wilayah Indonesia. Wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi bagian Utara dan tengah serta sebagian Papua masih mempunyai potensi untuk mengalami cukup hujan meskipun tidak melimpah. Tanah masih menyimpan air untuk digunakan dalam kegiatan pertanian dan kehutanan meskipun dalam jangka waktu lebih dari 60 hari bila hujan tidak turun bisa memicu adanya kekeringan. Adanya peluang ENSO netral dimana distribusi anomali suhu permukaan lautan Pasifik tropis 60% dalam kondisi biasa menyebabkan wilayah Indonesia mempunyai peluang mengalami musim kemarau yang biasa-biasa saja. Disampaikan oleh WMO bahwa peluang terjadinya El Nino sebesar 30% dan La Nina sebesar 10%. Ini berarti peluang terjadinya kekeringan lebih besar dibanding dengan berlimpahnya curah hujan.
Ini belum termasuk memperhitungkan masalah osilasi yang bergerak dari Samudra Hindia ke arah Samudra Pasifik yang berpengaruh juga pada distribusi hujan di tanah air. Awan-awan jenis stratiform dan konvektif yang terbentuk akibat pengaruh osilasi antar musiman di wilayah daratan mempunyai kontribusi pada banyaknya curah hujan yang terjadi, meskipun pada saat ini khususnya di pulau Jawa peluang curah hujan ini berkurang. Pengaruh lokal paling mungkin terjadi di sekitar wilayah pegunungan yang mempunyai pengaruh pada terjadinya angin Foehn seperti terjadi di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Papua. Kondisi dari ketiga sel sirkulasi yang bekerja pada atmosfer di Indonesia menyebabkan pola musim pada bulan Juni ini demikian unik. Pandemi Covid-19 yang turut berpengaruh pada distribusi aerosol di atmosfer sebagai dampak dari menurunnya aktifitas manusia di dunia tampaknya juga membawa pengaruh pada cuaca dan musim. Selama jumlah aerosol di atmosfer berkurang maka pembentukan tetes hujan yang berpeluang menjadi butiran hujan juga berkurang. Kelihatannya tetes-tetes hujan lebih banyak terbentuk dari sumber lautan dibanding di daratan. Sehingga bila terjadi hujan maka hujannya pun cukup deras. Oleh karena itu, bila di beberapa tempat di tanah air masih mengandalkan sisa hujan di musim kemarau ini untuk menanam tanaman padi maka masih dikatakan wajar mengingat masih berpeluang untuk menanam tanaman yang cukup membutuhkan air meskipun saya sendiri ragu apakah tanaman misalnya padi akan tumbuh dengan cukup baik di wilayah bertipe curah hujan monsoonal bila tanpa dukungan irigasi. Bila menanam padi dengan sistem SRI (system of rice intensification) maka air irigasi masih bisa mendukung, namun bila pengairannya menggunakan sistem permukaan lainnya yang boros air maka bisa dibayangkan bahwa padi akan kekurangan air dan bulir padipun tidak akan mencapai ukuran maksimum dan hasil panen optimal.
Ini belum termasuk memperhitungkan masalah osilasi yang bergerak dari Samudra Hindia ke arah Samudra Pasifik yang berpengaruh juga pada distribusi hujan di tanah air. Awan-awan jenis stratiform dan konvektif yang terbentuk akibat pengaruh osilasi antar musiman di wilayah daratan mempunyai kontribusi pada banyaknya curah hujan yang terjadi, meskipun pada saat ini khususnya di pulau Jawa peluang curah hujan ini berkurang. Pengaruh lokal paling mungkin terjadi di sekitar wilayah pegunungan yang mempunyai pengaruh pada terjadinya angin Foehn seperti terjadi di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Papua. Kondisi dari ketiga sel sirkulasi yang bekerja pada atmosfer di Indonesia menyebabkan pola musim pada bulan Juni ini demikian unik. Pandemi Covid-19 yang turut berpengaruh pada distribusi aerosol di atmosfer sebagai dampak dari menurunnya aktifitas manusia di dunia tampaknya juga membawa pengaruh pada cuaca dan musim. Selama jumlah aerosol di atmosfer berkurang maka pembentukan tetes hujan yang berpeluang menjadi butiran hujan juga berkurang. Kelihatannya tetes-tetes hujan lebih banyak terbentuk dari sumber lautan dibanding di daratan. Sehingga bila terjadi hujan maka hujannya pun cukup deras. Oleh karena itu, bila di beberapa tempat di tanah air masih mengandalkan sisa hujan di musim kemarau ini untuk menanam tanaman padi maka masih dikatakan wajar mengingat masih berpeluang untuk menanam tanaman yang cukup membutuhkan air meskipun saya sendiri ragu apakah tanaman misalnya padi akan tumbuh dengan cukup baik di wilayah bertipe curah hujan monsoonal bila tanpa dukungan irigasi. Bila menanam padi dengan sistem SRI (system of rice intensification) maka air irigasi masih bisa mendukung, namun bila pengairannya menggunakan sistem permukaan lainnya yang boros air maka bisa dibayangkan bahwa padi akan kekurangan air dan bulir padipun tidak akan mencapai ukuran maksimum dan hasil panen optimal.