Kembali musibah jatuhnya pesawat di Papua terjadi. Kali ini menimpa salah satu pesawat Trigana Air yang mengangkut kurang lebih 50 orang kemarin. Bukan kali ini saja cuaca di Papua berperan dalam timbulnya kecelakaan pesawat. Pola cuaca yang dengan cepat berubah merupakan penyebab yang tidak mudah diantisipasi dengan baik. Pola monsoon dan sedikit ekuatorial serta sebagian lain sifatnya lokal dimana pengaruh pegunungan cukup dominan adalah pola-pola cuaca dan musim yang terjadi di daratan Papua. Sedikitnya sumber daya manusia yang mumpuni di kawasan tersebut dan diperparah oleh sedikitnya alat-alat observasi lapangan yang terkait cuaca dan iklim menyebabkan sedikitnya informasi yang diperoleh yang secara akurat dan detail dapat menggambarkan kondisi Papua dari waktu ke waktu. Transportasi vital yang selama ini menghubungkan satu daerah dengan daerah lain tidak lain melalui udara yakni pesawat terbang. Namun dengan prasarana bandar udara yang minim terkait informasi cuaca bisa diibaratkan bahwa melakukan penerbangan di wilayah tersebut adalah berjudi dengan maut. Seringkali modal keberanianlah yang diandalkan untuk mengarungi wilayah-wilayah terpencil di daratan Papua tersebut. Sudah sewajarnya bila sumber daya manusia meteorologi dan klimatologi yang terlatih serta dukungan peralatan observasi dan teknologi informasi - komunikasi ditingkatkan dan diperbanyak agar memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization). Dan yang terpenting adalah agar kecelakaan pesawat terbang akibat fenomena meteorologi dan klimatologi yang ditunjang oleh medan pegunungan yang tinggi dapat diminimalisir. Semoga!
Obyektif, Independen, Sportif, Berpikir Positif, Berjiwa BESAR
Monday, August 17, 2015
Friday, August 14, 2015
Gerakan hemat air harus digalakkan
Di banyak tempat di Indonesia belakangan ini terjadi kekeringan sehingga berdampak pada munculnya krisis air di beberapa wilayah. Hal ini tidak mengherankan mengingat musim kemarau sedang berlangsung yang diperparah dengan munculnya El Nino pada tingkat moderat. Meskipun tidak semua wilayah mengalami kekeringan, namun secara umum boleh dikatakan bahwa Indonesia memasuki tahap krisis air besar-besaran. Di beberapa wilayah bahkan penduduknya harus mencari sumber air yang jauh dari tempat tinggalnya hanya demi beberapa ember air. Di Nusa Tenggara Timur, ada beberapa desa yang memanfaatkan batang tanaman tertentu untuk memperoleh air bersih dan hal ini telah terjadi bertahun-tahun manakala hujan lama tidak turun. Sampai sekarangpun hal ini masih berlangsung ... luar biasa. Ada saudara yang harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan air bersih dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) karena air ledeng tidak mengalir dengan lancar. Bahkan tidak jarang dia harus mandi di kantornya karena sulitnya memperoleh air bersih.
Mengingat bahwa air merupakan kebutuhan utama untuk hidup sehari-hari maka sudah selayaknya jika pemerintah turun tangan langsung. Mengharapkan masyarakat untuk survive dengan sendirinya bukanlah wujud pemerintah yang bertanggungjawab. Pemerintah selayaknya mengupayakan gerakan hemat air oleh masyarakat ketika air banyak tersedia dan mengatur agar kelangsungan siklus hidrologi terjaga dengan baik. Manajemen pengelolaan air harus sangat profesional agar kelangkaan air pada saat musim kemarau bisa diatasi. Bertahun-tahun hal ini terjadi dan berulang namun sepertinya kita tidak pernah belajar dari pengalaman tersebut. Mengharapkan hujan buatan dapat mengatasi hal ini hanya merupakan impian di siang bolong mengingat rendahnya kelembapan relatif udara yang bisa disemai dengan garam dapur, meskipun bisa pula dicoba. Masih beruntung bahwa di beberapa wilayah sudah mulai terjadi hujan meskipun tidak merata dan tidak deras. Ini setidaknya melegakan untuk sementara waktu meskipun kita tidak bisa berharap banyak karena memang belum waktunya. Penelitian menunjukkan bahwa musim hujan akan mundur dan mulai sekitar November di wilayah berpola curah hujan monsoonal. Semoga saja ada keajaiban alam yang menepis dugaan tersebut dimana hujan terjadi lebih awal. Amin.
Mengingat bahwa air merupakan kebutuhan utama untuk hidup sehari-hari maka sudah selayaknya jika pemerintah turun tangan langsung. Mengharapkan masyarakat untuk survive dengan sendirinya bukanlah wujud pemerintah yang bertanggungjawab. Pemerintah selayaknya mengupayakan gerakan hemat air oleh masyarakat ketika air banyak tersedia dan mengatur agar kelangsungan siklus hidrologi terjaga dengan baik. Manajemen pengelolaan air harus sangat profesional agar kelangkaan air pada saat musim kemarau bisa diatasi. Bertahun-tahun hal ini terjadi dan berulang namun sepertinya kita tidak pernah belajar dari pengalaman tersebut. Mengharapkan hujan buatan dapat mengatasi hal ini hanya merupakan impian di siang bolong mengingat rendahnya kelembapan relatif udara yang bisa disemai dengan garam dapur, meskipun bisa pula dicoba. Masih beruntung bahwa di beberapa wilayah sudah mulai terjadi hujan meskipun tidak merata dan tidak deras. Ini setidaknya melegakan untuk sementara waktu meskipun kita tidak bisa berharap banyak karena memang belum waktunya. Penelitian menunjukkan bahwa musim hujan akan mundur dan mulai sekitar November di wilayah berpola curah hujan monsoonal. Semoga saja ada keajaiban alam yang menepis dugaan tersebut dimana hujan terjadi lebih awal. Amin.
Subscribe to:
Posts (Atom)