Tujuan penggunaan klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik, misalnya untuk tujuan pertanian. Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi dipilih unsur-unsur iklim yang berhubungan secara langsung dan mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut.
Thornthwaite (1933) menyatakan bahwa tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang benar-benar aktif terutama presipitasi dan suhu. Unsur lain seperti angin, sinar matahari, atau perubahan tekanan ada kemungkinan merupakan unsur aktif untuk tujuan khusus.
Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, oleh sebab itu pengklasifikasian iklim di Indonesia sering ditekankan pada pemanfaatannya dalam kegiatan budidaya pertanian. Pada daerah tropik suhu udara jarang menjadi faktor pembatas kegiatan produksi pertanian, sedangkan ketersediaan air merupakan faktor yang paling menentukan dalam kegiatan budidaya pertanian khususnya budidaya padi.
Variasi suhu di kepulauan Indonesia tergantung pada ketinggian tempat; suhu udara akan semakin rendah seiring dengan semakin tingginya suatu tempat dari permukaan laut. Suhu menurun sekitar 0.6 oC setiap 100 meter kenaikan ketinggian tempat. Karena Indonesia berada di wilayah dekat ekuator maka selisih suhu siang dan suhu malam hari lebih besar dari pada selisih suhu musiman (antara musim kemarau dan musim hujan), sedangkan di daerah sub tropis hingga kutub selisih suhu musim panas dan musim dingin lebih besar dari pada selisih suhu harian. Keadaan suhu yang demikian tersebut membuat ada sebagian ahli yang membagi klasifikasi suhu di Indonesia berdasarkan ketinggian tempat.
Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling bervariasi baik menurut waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan pertanian. Oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama. Karena ada hubungan sistematik antara unsur iklim khususnya presipitasi dan suhu dengan pola tanam tumbuhan dunia maka indeks presipitasi dan suhu dipakai sebagai kriteria dalam pengklasifikasian iklim.
Obyektif, Independen, Sportif, Berpikir Positif, Berjiwa BESAR
Friday, March 2, 2012
Sunday, January 1, 2012
Monsun aktif dan break
Permasalahan monsun aktif dan break merupakan permasalahan yang sangat menarik. Kapan terjadinya dan dimana serta apa pengaruhnya pada pembentukan awan, khususnya di Indonesia menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih jauh. Seperti kita ketahui, sistem iklim di Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya sirkulasi meridional atau sirkulasi monsun Asia-Australia. Monsun Asia yang biasa dikenal sebagai monsun barat yang biasanya terjadi pada bulan Desember, Januari dan Pebruari membawa dampak pada tingginya aktivitas konvektif di wilayah kita sehingga memicu terjadinya musim hujan di Indonesia. Sedangkan pada saat monsun Australia atau monsun tenggara, aktivitas konvektif tidak banyak mendatangkan curah hujan di wilayah Indonesia karena sedikitnya kandungan uap air di dalamnya; sehingga kita kenal musim kemarau.
Terdapat dua fase yang biasanya dicirikan dengan berubahnya intensitas curah hujan; yakni fase aktif dan break. Fase aktif dicirikan dengan tingginya curah hujan, sedangkan fase break dicirikan oleh adanya kekeringan kecil atau intensitas hujan yang rendah.
Oktarina (2011) antara lain menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pada saat monsun aktif, aktivitas awan konvektif selalu lebih besar daripada pada saat monsun break;
2. Karakteristik awan konvektif pada monsun aktif adalah lebih kuat dan merata karena awan konvektifnya dipengaruhi oleh gangguan yang skalanya besar (monsun), sedangkan karakteristik awan pada monsun break lebih lemah dan terisolasi karena pengaruh lokal;
3. Wilayah laut dan pulau Jawa merupakan wilayah yang sangat dipengaruhi oleh perubahan dari monsun aktif ke break; sedangkan di Kalimantan perbedaan awan konvektif antara saat monsun aktif dan break tidak selalu terlihat;
4. Wilayah daratan merupakan wilayah yang akan lebih dulu merasakan monsun break dari pada wilayah lautan.
5. Aktivitas awan pada monsun aktif di Kalimantan mencapai puncaknya pada malam hari, sedangkan aktivitas awan pada saat monsun break mencapai puncaknya pada siang hari.
Terdapat dua fase yang biasanya dicirikan dengan berubahnya intensitas curah hujan; yakni fase aktif dan break. Fase aktif dicirikan dengan tingginya curah hujan, sedangkan fase break dicirikan oleh adanya kekeringan kecil atau intensitas hujan yang rendah.
Oktarina (2011) antara lain menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pada saat monsun aktif, aktivitas awan konvektif selalu lebih besar daripada pada saat monsun break;
2. Karakteristik awan konvektif pada monsun aktif adalah lebih kuat dan merata karena awan konvektifnya dipengaruhi oleh gangguan yang skalanya besar (monsun), sedangkan karakteristik awan pada monsun break lebih lemah dan terisolasi karena pengaruh lokal;
3. Wilayah laut dan pulau Jawa merupakan wilayah yang sangat dipengaruhi oleh perubahan dari monsun aktif ke break; sedangkan di Kalimantan perbedaan awan konvektif antara saat monsun aktif dan break tidak selalu terlihat;
4. Wilayah daratan merupakan wilayah yang akan lebih dulu merasakan monsun break dari pada wilayah lautan.
5. Aktivitas awan pada monsun aktif di Kalimantan mencapai puncaknya pada malam hari, sedangkan aktivitas awan pada saat monsun break mencapai puncaknya pada siang hari.
Subscribe to:
Posts (Atom)