Sudah beberapa waktu ini, sebagian
pulau Sumatera dan Kalimantan diselimuti oleh asap cukup tebal. Berita-berita
yang disampaikan melalui harian Kompas menunjukkan bahwa aktivitas penerbangan
dan aktivitas masyarakat luas lainnya sangat terganggu. Seorang saudara yang
tinggal di Pekanbaru Riau misalnya, mengeluhkan kondisi ini. Sudah sejak hari
Rabu kemarin, udara panas sekali, gerah, sesak napas, menjemur selimut cepat
kering, dan dikhawatirkan beberapa waktu ke depan sumurnya cepat kering. Jadi
lengkaplah sudah penderitaannya, apalagi kadangkala listrik mati secara
bergilir. Dia mengatakan bahwa bila orang tidak punya genset maka akan makin
merana.
Asap banyak berasal dari pembakaran
hutan, semak belukar, lahan yang dilakukan oleh banyak pihak baik pengusaha
besar dan kecil maupun oleh masyarakat sendiri. Sadar tidak sadar dampaknya
sebenarnya mereka juga rasakan, namun sepertinya hal itu tidak membuat kapok
untuk melakukannya. Seolah-olah itu sudah merupakan agenda rutin setiap musim
kemarau untuk membuka lahan baru pertanian/perkebunan atau sekedar membersihkan
ladang dengan ongkos yang murah. Mungkin juga masyarakat sudah apatis dengan
agenda tahunan yang tidak disukai ini. Pemerintah daerah pun sepertinya sudah
kehabisan akal bagaimana mencari solusi terbaik, toh nantinya juga akan hilang
dengan sendirinya seiring dengan datangnya musim hujan.
Tinjauan
meteorologis
Dilihat dari citra satelit Himawari 8
infra merah di bawah ini terlihat bahwa pada hari Sabtu 5 September 2015,
wilayah Asia tenggara sebagian diliputi oleh awan. Sebagian Sumatera bagian
Utara, Kalimantan bagian Utara (Negara tetangga), dan Papua bagian Utara
terdapat area yang diselimuti oleh perawanan yang berpotensi hujan. Namun kita
lihat bahwa wilayah Indonesia bagian selatan ekuator, praktis tidak terlihat
perawanan yang timbul. Mungkin pula terdapat awan-awan rendah di beberapa
tempat meskipun tidak berpeluang terjadinya hujan. Mengingat bahwa di Samudra
Pasifik sedang terjadi El Nino pada taraf sedang, maka hal ini bisa dimaklumi
karena El Nino berpengaruh pada bergesernya perawanan di wilayah Indonesia
menuju ke timur, meskipun pada citra satelit di bawah tidak begitu terlihat.
Biasanya bila El Nino terjadi pada taraf lemah sampai sedang, maka terjadi
kekeringan di wilayah selatan Sumatera, Kalimantan bagian selatan, sebagian
Sulawesi, Maluku dan Papua bagian selatan, serta Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Kekeringan makin menguat seiring dengan peningkatan taraf El Nino, seperti yang
terjadi saat ini. Karenanyalah maka kekeringan yang terjadi memperbesar peluang
terjadinya kebakaran hutan baik di wilayah Sumatera maupun Kalimantan, bahkan
juga di Jawa Tengah seperti yang dilaporkan harian ini beberapa waktu yang
lalu.
Hujan
buatan
Sebagian masyarakat seringkali
mempertanyakan kepada pemerintah daerahnya mengapa tidak dilakukan hujan
buatan. Ini bisa dimaklumi mengingat persepsi masyarakat bahwa yang namanya
hujan buatan ya membuat hujan dengan menaburkan garam di langit, tidak peduli
kapanpun waktunya. Pemahaman ini sebenarnya salah besar. Yang namanya hujan
buatan itu tidak lalu membuat hujan seperti halnya membuat kue yang semua
bahannya bisa disediakan, namun dibutuhkan “bahan-bahan” yang tidak selamanya
tersedia di alam. Awan potensial, kelembapan relative udara yang besar, dan inti kondensasi yang bersifat
higroskopis artinya yang mudah menyerap uap air. Awan potensial adalah
awan-awan yang mempunyai pertumbuhan vertical cukup besar dan mengandung
tetes-tetes awan yang cukup mudah untuk ditingkatkan ukurannya menjadi tetes
hujan dengan inti kondensasi. Inti kondensasi yang dipilih biasanya adalah garam
dapur dan urea. Dengan menaburkan garam dapur tersebut ke dalam awan potensial
(biasanya awan jenis cumulus) maka diharapkan tetes-tetes awan tersebut akan
tumbuh menjadi tetes hujan melalui proses tumbukan dan tangkapan. Proses
updraft dan gravitasi dalam awan berpeluang untuk memperbesar ukuran tetes
sehingga hujan bisa terjadi.
Namun masalahnya dalam kasus kebakaran
hutan yang menghasilkan asap di Sumatera dan Kalimantan adalah kelembapan udara
yang belum memungkinkan untuk terjadinya proses di atas. Meskipun aerosol
banyak dihasilkan dari kebakaran hutan, namun ia tidak bisa bertindak sebagai
inti kondensasi yang higroskopis. Dibutuhkan kelembapan relative yang lebih
tinggi agar tercapai kejenuhan untuk aerosol-aerosol yang berukuran besar dalam
lingkungan atmosfer yang tidak homogen.
Dilihat dari pola angin yang saat ini
bertiup dari Tenggara maka kecil peluang untuk terjadinya hujan di banyak
tempat di Indonesia. Ini karena umumnya angin tenggara tidak banyak membawa uap
air. Dibanding dengan El Nino, sebenarnya pengaruh monsoon ini jauh lebih besar
bagi pembentukan musim di Indonesia. Tetapi El Nino menyebabkan pengaruh
monsoon melemah di sebagian besar wilayah berpola curah hujan monsoonal. Curah
hujan umumnya berkurang beberapa puluh persen dari nilai normalnya sehingga
biasanya sampai timbul kekeringan bila El Nino berlangsung pada musim kemarau.
Pada kondisi saat ini, pola angin tenggara yang bertemu dengan angin timur laut
terjadi di belahan bumi utara. Hal ini akibat gerak semu matahari yang saat ini
berada di belahan bumi utara. Seiring dengan makin mendekatnya matahari menuju
ekuator dan kemudian berlanjut ke selatan, maka peluang curah hujan di wilayah
kita juga akan meningkat. Oleh karena itu maka mungkin masih butuh sebulan
sampai dua bulan (bahkan bisa lebih lama) agar curah hujan sampai di pulau
Jawa. Masyarakat wilayah Sumatera dan Kalimantan yang saat ini masih banyak
diselimuti asap hendaknya bersabar jika ingin asap hilang dari pandangan.
Pemerintah daerah seyogyanya mengupayakan agar pembakaran hutan dan semak
belukar oleh oknum pengusaha dan masyarakat bisa dihentikan. Law enforcement
harus benar-benar ditegakkan agar tidak ada lagi oknum nakal penyebab asap
berkeliaran dan menimbulkan efek jera. Teknologi penindasan atau pelenyapan
asap sudah kita miliki (padahal di dunia internasional belum ada) meskipun tingkat keberhasilannya masih harus ditingkatkan. Mungkin dengan kasus yang setiap tahun
berulang ini, bisa diciptakan teknologi dengan tingkat keberhasilan yang sama atau bahkan lebih tinggi dibanding operasi hujan buatan.
Ketika tidak ada lagi upaya yang
berhasil kita lakukan, mungkin dengan cara berdoa bisa mengurangi dampak yang
ditimbulkan asap, setidaknya bisa menentramkan hati. Beberapa waktu yang lalu,
di Bogor dilaksanakan sholat istisqa minta hujan untuk mengatasi kekeringan dan
entah kebetulan entah tidak, hari itu hujan deras terjadi. Bukankah tidak ada
salahnya hal demikian juga dilakukan di wilayah terkena asap agar asap tersapu
oleh hujan?? Mungkin pernah dicoba dan tidak berhasil, namun tidak ada salahnya
dicoba dan dicoba lagi.
Bandung, 5 September 2015
Joko Wiratmo, dosen Prodi Meteorologi
ITB dengan bidang keahlian Meteorologi Tropis.