Kecelakaan pesawat yang menimpa Hercules TNI AU mengingatkanku pada saat pertama kali aku naik pesawat Hercules tersebut era tahun 1997an. Saat itu aku mewakili Rektor ITB dalam acara peresmian monumen Latsitarda bersama para pembesar AKABRI dan ABRI di Propinsi Riau. Latsitarda adalah Latihan Integrasi Taruna Dewasa, yakni suatu kegiatan semacam Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang melibatkan para taruna keempat angkatan (Akmil, AAL, AAU, Akpol), STPDN, dan perguruan-perguruan tinggi daerah ditambah dengan beberapa perguruan tinggi seperti UI, ITB, dan UGM, serta ITS. Peresmian monumen dilaksanakan oleh Jendral Feisal Tandjung (almarhum). Ketika berangkat menuju Pekanbaru dilakukan dengan pesawat komersial yang kemudian dilanjutkan jalan darat ke Dumai. Pada saat selesai acara peresmian tersebut, tamu undangan termasuk aku di antaranya, diangkut dengan pesawat Hercules menuju Jakarta (bandara Halim Perdanakusumah). Satu pesawat denganku adalah para gubernur keempat angkatan (pak Djoko Soebroto, pak Soedarsono, pak Chepy Hakim, pak ... (lupa namanya, beliau gubernur Akpol), ketua STPDN (pak IGK Manila), dan PR III ITS. Dan, kemudian setelah menurunkan beliau-beliau, aku diangkut pesawat bersama ketua STPDN ke Bandung. Pengalaman yang aku alami dengan menggunakan pesawat Hercules tersebut adalah bahwa pesawat tersebut nyaman untuk dinaiki, mungkin karena waktu itu musim kemarau dan tidak banyak perawanan serta turbulensi. Tidak ada goncangan yang berarti, meskipun tempat duduknya memang dirancang untuk tujuan militer. Aku pikir mungkin pesawat-pesawat sejenis yang mengalami kecelakaan di Medan kemarin siang. Usia tua, meskipun dirawat dengan baik tidak menjamin bisa beroperasi dengan optimal. Sudah selayaknya pemerintah memperkuat TNI dengan peremajaan alutsista modern. PT Pindad dan PTDI serta industri-industri strategis yang lain harus didorong dan disokong dengan pendanaan yang memadai. Tanpa itu semua, negara kita makin rapuh dan rentan terhadap serangan militer dan gangguan keamanan dari negara lain. Contoh-contoh nyata sudah di pelupuk mata. Jadi tunggu apa lagi??? Mumpung pak Habibie dan generasi penerusnya yang bertebaran di berbagai negara produsen pesawat masih ada dan mempunyai semangat nasionalisme yang tinggi.
semoga soal maintenance dan alat2 perang bisa lebih diperhatikan oleh pemerintah krn terkait masalah keamanan negara
ReplyDeleteSemoga demikian, mbak/mas/pak/bu. Kita membutuhkan pesawat dan alat perang yang mutakhir sehingga bisa digunakan dalam mengawal kedaulatan RI. Lebih-lebih bila peralatan tersebut adalah orisinal karya anak bangsa. Tentu bila pengoperasian peralatan tersebut dilakukan oleh anak2 bangsa yang terampil dan mumpuni yang nasionalismenya kuat.
ReplyDelete