Friday, November 6, 2020

Percepatan pembangunan bisa terjadi

 Saat-saat semacam ini, alangkah baiknya bagi kita semua untuk merenung dan memikirkan kembali apakah pembangunan sudah memperhatikan dan memperhitungkan cuaca, musim dan iklim dengan seksama. Selama puluhan tahun, masalah cuaca musim dan iklim seolah-olah hanya sekedar sebagai pengisi waktu sela antara satu acara televisi dengan acara televisi yang lain. Orang akan melihat bahwa ramalan cuaca (waktu jaman dulu menggunakan istilah tersebut, namun setelah judi porkas SDSB dll marak maka istilah ramalan diganti dengan prakiraan) merupakan acara yang mungkin bagi sebagian besar orang terasa menjemukan. Ada masa dimana sejak ada televisi swasta, acara prakiraan cuaca menjadi terasa demikian menarik seperti siaran-siaran luar negeri karena kiblat penyiaran ramalan cuaca waktu itu adalah Amerika Serikat. Namun karena dikhawatirkan terjadi perbedaan antara ramalan cuaca di TVRI dan di televisi swasta yang dikhawatirkan akan membingungkan masyarakat maka acara tersebut tidak lagi disiarkan. Setelah beberapa waktu kemudian, siaran ramalan cuaca di televisi swasta disampaikan lagi dengan format yang mirip namun dengan sumber yang sama dengan yang dipakai TVRI. Apalagi kemudian muncul UU Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (MKG) maka sudah merupakan kewajiban untuk menyiarkan hasil ramalan cuaca versi BMKG. Sebenarnya bila saja dimungkinkan swasta menggunakan sumber siarannya sendiri maka bisa menjadi pembanding yang baik bagi perkembangan MKG. Terlepas dari pasang surutnya perkembangan hak siaran MKG, saya ingin menyoroti masalah pembangunan di tanah air yang dikaitkan dengan kondisi cuaca musim dan iklim di Indonesia.

Seperti saya sering sebut sebelumnya, kita mengenal tiga pola curah hujan di Indonesia. Ini perlu berkali kali saya ulangi mengingat parameter curah hujan merupakan parameter paling penting di wilayah tropis seperti negara kita ini. Curah hujan mempunyai pola monsoonal, ekuatorial, dan lokal. Distribusi lokasi dari pola-pola tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Selama puluhan tahun pola ini tidak mengalami banyak perubahan, hanya berubah detail-detailnya saja akibat perubahan iklim atau lingkungan yang berubah. Warna hijau menunjukkan pola ekuatorial dimana terdapat dua puncak curah hujan dalam satu tahun yakni sekitar bulan-bulan MAM dan SON sedangkan bulan-bulan lain masih ada curah hujannya. Pola lokal ditandai dengan warna merah karena pengaruh topografi setempat atau pola angin darat angin laut,  sedangkan warna putih menunjukkan pola monsoonal yang umumnya curah hujan pada bulan JJA jauh berkurang dibanding bulan-bulan lain. 
Gradien temperatur dan tekanan relatif rendah sedangkan angin juga relatif tidak besar, berkisar pada kecepatan 3 meter per detik saja. Oleh karena itu tidak setiap tempat di Indonesia mempunyai potensi tenaga angin yang besar untuk menggerakkan kincir angin. Potensi radiasi matahari lebih menjanjikan sebenarnya mengingat hampir sepanjang tahun wilayah Indonesia dilalui oleh gerak semu matahari dimana panjang harinya mempunyai kisaran waktu sekitar 10-12 jam. Dengan potensi yang besar ini maka energi terbarukan semestinya bisa dibangun lebih banyak di seluruh wilayah tanah air. Di daerah-daerah yang mempunyai kecepatan angin rendahpun bisa dibangun mini atau mikrowind, selain mini atau mikrohidro. Untuk kebutuhan penduduk dalam satu kawasan tertentu hal ini bisa dilakukan, demikian pula dengan tenaga matahari. Bahkan solar panel raksasa seperti yang dibangun China juga bisa diaplikasikan di Indonesia.
Kembali pada hal yang telah disebut di atas. Masalah hujan sangat bermanfaat khususnya pada saat musim kemarau tapi bisa menjadi masalah besar ketika musim hujan yang terus menerus terjadi. Oleh karena itu manajemen air menjadi hal yang sangat penting untuk disikapi. Kemampuan peramalan cuaca dan musim yang akurat akan sangat membantu dalam memenej waktu turunnya anggaran untuk pembangunan. Semestinya dengan teknologi informasi dan komunikasi yang makin modern maka akan makin cepat eksekusi suatu program. Percepatan-percepatan pembangunan yang didukung oleh sistem TIK ini akan banyak terealisasi dengan tingkat kesalahan yang makin kecil. Mari kita upayakan dengan kerja keras dan cerdas melalui langkah-langkah revolusioner dalam bidang realisasi penganggaran tepat waktu. 

Saturday, October 31, 2020

Bencana hidrometeor

 Saat ini sebagian besar wilayah Indonesia sudah mengalami musim penghujan. Bagi kalangan tertentu, ini merupakan berita yang sangat menggembirakan, namun mungkin tidak bagi kalangan yang lain. Pembangunan bidang pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan dan lingkungan hidup dll tentu merupakan berita yang bagus karena bisa melakukan aktivitasnya dengan baik, tidak terkendala oleh cuaca dan musim. Namun bagi kegiatan infrastruktur luar ruangan, ini berita yang agak kurang menggembirakan karena pekerjaan bisa tertunda. Semoga tulisan saya terdahulu yang menyatakan bahwa kita harus menyesuaikan kegiatan pembangunan dengan cuaca musim dan iklim benar-benar dilaksanakan sehingga terjadi efisiensi dalam penganggaran, waktu dan sebagainya. Meskipun mungkin dengan adanya bencana hidrometeor bisa berdampak pada pembangunan infrastruktur baru namun dengan adanya hujan yang mungkin akan turun hampir setiap hari maka tetap saja akan terpengaruh berbagai kegiatan di dalamnya. 

Saya sengaja mengatakan bencana hidrometeor, bukan hidrometeorologi mengingat bahwa hidrometeorologi adalah ilmu tentang hidrometeor. Jadi semestinya bencananya adalah bencana hidrometeor, bukan bencana hidrometeorologi. Karena sudah salah kaprah maka akhirnya banyak orang menyebutnya sebagai bencana hidrometeorologi. Itu sekelumit kisah mengapa saya menuliskannya sebagai bencana hidrometeor. 

Kembali ke hal yang sudah saya sampaikan di atas. Saat ini pengembangan pertanian sangat diuntungkan dengan adanya hujan. Pada saat kemarau kemarin, kekeringan melanda sejumlah wilayah bahkan dikhawatirkan timbul bencana kebakaran hutan dan lahan. Kekeringan sendiri mempunyai 4 jenis yakni kekeringan meteorologi, hidrologi, pertanian dan sosial ekonomi. Tiadanya hujan karena siklus air yang tidak berjalan dengan baik menjadikan lahan pertanian tidak bisa berproduksi optimal sehingga berdampak pada sosial ekonomi masyarakat. Dengan kecukupan air semestinya dikembangkan tanaman-tanaman yang membutuhkan air banyak atau tanaman yang berdaun lebar serta bisa pula berbudidaya mina padi. Suatu sistem yang menggabungkan antara tanaman dan hewan yang saling menguntungkan. Tanaman padi mendapatkan pupuk dari kotoran ikan, sedangkan ikan 

mendapatkan bahan pangan dan oksigen dari tanaman. Hama dan penyakit tanaman akan terkurangi potensi keberadaannya karena adanya mina (ikan). Pola-pola pertanian ganda semacam ini sebenarnya sangat dibutuhkan mengingat bisa merupakan langkah intensifikasi pertanian dimana bila dilakukan secara masif akan bisa meningkatkan produktivitas. Peternakan yang disandingkan dengan budidaya tanaman akan sangat menguntungkan juga mengingat ada simbiosis mutualisma yang terjadi. Ini merupakan pertanian yang ramah lingkungan dan mengorganisasikan seluruh potensi untuk dikembalikan ke alam, tidak menyisakan residu yang berarti. Masyarakat akan diuntungkan dengan sistem LEISA (low external input and sustainable agriculture) ini. Inilah saatnya untuk menggenjot produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan tidak menggantungkan diri pada import. Kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan harus terus menerus diupayakan agar negara betul-betul otonom terhadap semua kebutuhan rakyatnya. Negara maju yang disokong dengan kedaulatan pangan akan merupakan negara yang disegani. Gemah ripah loh jinawi, titi tentrem kerto raharjo. Subur makmur damai sejahtera dunia dan akheratnya.