Tuesday, March 14, 2017

Apa kabar monsoon ??

Monsoon, monsun, atau muson pada dasarnya sama saja. Beda lafalnya saja, makhluknya sama. Monsoon merupakan angin yang berbalik arah secara musiman akibat perbedaan pemanasan antara daratan dan lautan. Ini berbeda dengan angin darat dan angin laut yang tidak berbalik arah secara musiman tapi harian. Angin disebut monsoon bila ia berbalik arah hampir setiap 6 bulan sekali dan harus memenuhi beberapa hal lainnya, misalnya kecepatannya minimal 3 m/s, pembalikan arahnya lebih dari 120 derajat, dan mempunyai kemantapan (persistensi) angin yang tinggi (lebih dari 60%). Beberapa wilayah yang mempunyai pola monsoon antara lain Afrika Barat dan Timur, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara dan Australia, dan Amerika. Di antara semua wilayah monsoon tersebut yang paling berkembang adalah monsoon Asia Tenggara dan Australia bagian Utara. Pembahasan tentang monsoon ini sudah diperkenalkan sejak SD dan dapat digambarkan dengan sederhana. Saat matahari di BBU (belahan bumi utara) maka tekanan udara di BBU lebih rendah daripada di BBS (belahan bumi selatan). Akibatnya bertiup angin dari BBS ke BBU dan ketika melewati ekuator maka angin tenggara ini akan berbelok menjadi angin barat daya. Sebaliknya pada saat matahari di BBS maka pola yang berbalikan terjadi. Pada kasus pertama dampak yang ditimbulkannya biasanya adalah musim hujan di banyak wilayah di tanah air, sebaliknya pada kasus kedua curah hujan akan jauh berkurang karena pembentukan awan hujan tidak banyak terjadi sehingga kemarau atau musim kering berkembang di sebagian wilayah di tanah air. Pembahasan yang lebih komprehensif tersedia di sini.
Indeks monsoon merupakan salah satu indikator untuk melihat apakah pola monsoon mulai berkembang, apakah untuk Indonesia telah memasuki musim kemarau ataukah hujan. Salah satu indeks yang digunakan adalah indeks monsoon Australia (AUSMI) yang memperlihatkan bagaimana rata-rata wilayah indeks tersebut pada ketinggian 850 mb di wilayah 110 - 130 E dan 5 - 15 S.
http://bcc.cma.gov.cn/upload/monsoon/indices/EAMAC_Daily_index_Australian_2016.gif

Untuk tahun 2017 ini kondisinya diramalkan mulai menurun seperti terlihat pada gambar di atas.
Ini menunjukkan bahwa pola curah hujan wilayah kajian (sebagian Indonesia dan Australia) telah mengalami tren penurunan. Dengan demikian maka kondisi ini adalah kondisi yang normal dimana pada bulan-bulan mendatang curah hujannya mulai menurun dan mungkin wilayah Indonesia mengalami musim kemarau dalam waktu dekat. Indeks monsoon yang cocok untuk memperkirakan awal musim di Indonesia ini juga merupakan salah satu topik penelitian saya yang sangat menarik untuk dikaji. Ok segini dulu, lain waktu akan disampaikan kondisi ENSO di lautan Pasifik ekuator yang berpengaruh pada cuaca dan musim di Indonesia.

Sunday, March 12, 2017

Prediksi Dipole mode sampai dengan pertengahan tahun 2017

Anda pernah dengar istilah Dipole Mode kan?? Dalam bahasa asalnya sering disebut sebagai IODM Indian Ocean Dipole Mode. Benar bahwa DM ini terjadi di samudra Hindia sesuai dengan namanya. Ia merupakan peristiwa yang kurang lebih sama seperti El Nino dan La Nina namun dengan beberapa perbedaan. Pertama adalah bahwa DM membandingkan antara kejadian anomali suhu permukaan laut di perairan ekuator sebelah Timur Afrika dan di sebelah Barat Sumatera. Bila selisih keduanya adalah positif maka disebut DM (+), sedangkan bila selisihnya negatif maka disebut DM (-). Bila selisih nilainya berada dalam range plus minus 0,4 maka dikatakan sebagai kondisi netral. Dampak peristiwa DM pada wilayah Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
Kedua adalah bahwa tidak ada istilah wilayah Dipole 1,2,3, 3.4, dan 4 dimana pada saat kita membicarakan El Nino dan La Nina di samudra Pasifik dikenal istilah wilayah Nino 1,2,3, 3.4, dan 4. Ketiga bahwa tidak dikenal istilah DM Modoki di wilayah samudra Hindia ini. Yang keempat adalah dampak Dipole Mode lebih dirasakan untuk wilayah Indonesia bagian Barat dibandingkan dengan ENSO yang lebih berpengaruh pada kondisi cuaca, musim, dan iklim di wilayah Indonesia bagian Timur. Point kedua dan ketiga ini merupakan bahan kajian ilmiah dan penelitian saya saat ini.
Hasil prediksi oleh 5 institusi besar dunia yakni BoM Australia, METEO Perancis, ECMWF Eropa, NASA Amerika Serikat dan UKMO Inggris menunjukkan bahwa sampai dengan pertengahan tahun ini nilai indeks dipole mode menunjukkan angka di antara plus dan minus 0,4. Ini berarti sampai dengan bulan Juli 2017, kondisi DM adalah netral. Dengan demikian bila prediksi lembaga-lembaga tersebut benar maka di sebagian wilayah Indonesia akan mengalami hujan yang cukup karena terdapat pola konvergensi dan konveksi yang cukup kuat. Namun demikian kita juga harus meninjau pola monsoon dan ENSO di samudra Pasifik. Pembahasan tentang kedua fenomena ini  akan disampaikan pada tulisan berikutnya. Oke segini dulu ya, nanti kita lanjutkan lagi. Salam hangat penuh semangat.

Tuesday, February 28, 2017

Seminar umum anomali cuaca, musim dan iklim.

Terimakasih atas perhatian dan dukungan anda semua sehingga acara ini berlangsung dengan sukses.  Sebagian acara ini akan di-upload di youtube. Sampai jumpa di lain kesempatan.

Monday, February 20, 2017

Thursday, February 16, 2017

Buku Anomali cuaca dan iklim Indonesia

Sidang pembaca yang budiman, Pebruari 2017 ini saya meluncurkan buku "Anomali cuaca dan iklim Indonesia" yang merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan saya dalam blog-blog yang saya miliki. Anda bisa beli di toko-toko buku atau bisa dipesan di Penerbit ITB jl. Ganesha 10 Bandung tlp. (022) 2504257 atau fax. (022) 2534155 email: itbpress@penerbit.itb.ac.id
Ditunggu kritikan dan sarannya di : joko.wiratmo@meteo.itb.ac.id

Thursday, February 2, 2017

Hubungan Pilkada dengan cuaca

Gegap gempita akan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di seluruh tanah air dalam waktu dekat ini menguras energi bangsa Indonesia. Saling serang saling tuntut saling membully dilakukan oleh pasangan calon dan para pendukungnya dalam upaya memenangkan pilkada. Kadangkala cara-cara yang tidak fair, menggunakan tangan-tangan yang tidak tampak, sering dilakukan. Para buzzer di media sosial saling hujat dan menjelekkan pasangan calon pihak lain. Euforia demokrasi yang ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi memang menjadi kekuatan yang sangat dahsyat untuk menggiring opini masyarakat. Bila pemerintah tidak cepat tanggap pada hal ini maka bisa-bisa persatuan dan kesatuan bangsa menjadi taruhannya apalagi banyak berita hoax berseliweran di masyarakat.
Suasana saat pemilihan kepala daerah (https://www.babatpost.com)
Kembali ke judul di atas. Adakah hubungan antara pilkada dengan cuaca?? Jelas ada! Kondisi cuaca mempengaruhi psikologis manusia. Cuaca yang panas, terik, dan banyak debu beterbangan menyebabkan manusia mudah tersulut emosinya. Oleh karena itu biasanya temperamen orang kota lebih tinggi dibandingkan orang desa. Iklim yang kering seperti yang banyak ditemui di wilayah pantai menyebabkan temperamen orang pantai (misal nelayan) lebih tinggi dibandingkan orang desa (petani). Masyarakat yang berada di wilayah padang pasir lebih tinggi temperamennya dibanding masyarakat agraris di wilayah tropis. Dalam hal pilkada, temperamen orang-orang yang sudah tinggi akan menjadi lebih tinggi lagi kalau cuaca panas dan terik.
Kampanye-kampanye terbuka di luar ruangan sangat dipengaruhi oleh cuaca. Hujan bisa menghambat para pasangan calon dalam mengkampanyekan program-programnya dan menggiring massa untuk menghadirinya. Bahkan hujan bisa membatalkan kampanye di lapangan terbuka. Musim hujan yang saat ini banyak terjadi khususnya di wilayah monsoon (baca pola hujan di Indonesia) dapat pula menjadi topik pembicaraan pasangan calon. Program mengatasi banjir bisa ditawarkan kepada warga masyarakat karena memang program-program semacam ini adalah program yang riil dan menyangkut kehidupan masyarakat sehari-hari. Program kali bersih, program rain water harvesting, program pemberantasan sarang dan jentik-jentik nyamuk merupakan program-program yang bisa disosialisasikan kepada penduduk.
Hal yang paling penting adalah saat pencoblosan. Bila hari hujan, maka biasanya masyarakat akan malas untuk keluar rumah dan mencoblos kartu pemilihan. Bulan Pebruari merupakan bulan basah dan banyak hujan maka bersiaplah untuk kecewa bila partisipasi warga masyarakat pada pilkada tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat kita makin cerdas dan rasional serta tidak terlalu paternalistik apalagi masyarakat perkotaan. Mereka akan memilih calon kepala daerah yang track record nya baik, mampu menunjukkan prestasi nyata, santun, dan tidak neko-neko (aneh-aneh, membuat onar) dsb. Faktor agama juga sering membawa pengaruh tersendiri. Kita harapkan pada saat hari pemungutan suara, cuaca cerah sehingga masyarakat akan berbondong-bondong ke bilik suara memilih pasangan calon yang mereka sukai. Semoga pula tidak terjadi keonaran atau huru-hara setelah pencoblosan dan pengumuman pemenang disampaikan karena cuaca juga meneduhkan. Aamiin.

Saturday, January 21, 2017

Monsoon di Afrika

Membicarakan tentang monsoon tidak hanya membicarakan wilayah Asia Tenggara dan Australia bagian utara saja ini karena monsoon banyak terjadi di wilayah tropis. Monsoon merupakan pembalikan arah angin musiman yang terjadi karena perbedaan pemanasan antara daratan dan lautan. Kriteria Ramage (1971) masih digunakan sampai dengan saat ini untuk mengkatagorikan suatu kawasan sebagai wilayah monsoon. Kriteria tersebut menyatakan bahwa wilayah monsoon adalah wilayah dimana angin berbalik arah secara musiman lebih dari 120 derajat antara musim panas dan musim dingin, persistensi angin lebih dari 40%, kecepatan anginnya rata-rata lebih dari 3 m/s, dan distribusi tekanannya renggang. Terdapat 5 wilayah monsoon yakni monsoon Afrika (Barat dan Timur), Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara dan Australia, dan Amerika ekuator. Salah satu daerah yakni monsoon Afrika menarik untuk ditinjau karena mempunyai karakteristik yang unik. Monsoon Afrika barat terjadi saat BBU sedang mengalami musim panas yang terjadi pada bulan Juni sampai September sedangkan monsoon Afrika timur terjadi ketika BBU sedang mengalami musim semi dan musim gugur atau pada bulan-bulan MAM dan OND. Monsoon Afrika barat terjadi karena adanya pergerakan massa udara dari arah barat daya Samudra Atlantik yang banyak membawa uap air dan adanya pergerakan ITCZ (intertropical convergence zone) di bagian utara katulistiwa. Monsoon ini membawa pengaruh kekeringan khususnya di sebelah utara ITCZ. Perhatikan gambar di bawah ini. Tampak bahwa pertemuan massa udara basah dari barat daya dan massa udara sangat panas dan kering yang terjadi di ITCZ lebih banyak terdapat di BBU. Wilayah antara 0 dan 20 derajat khususnya di bagian barat dan barat daya Afrika mengalami hujan yang bervariasi antara 0 cm sampai lebih dari 80 cm dalam kurun waktu Juni sampai September. Sementara itu untuk monsoon di Afrika timur berkaitan juga dengan pergerakan ITCZ di selatan ekuator dimana membawa curah hujan dengan volume yang besar karena transport kelembapan dari Samudra Hindia dan Atlantik. Curah hujan terbesar terbentuk pada lintang 10 sampai 20 derajat lintang selatan.
Sumber: http://www.clivar.org/sites/default/files/Africa-Rainfall-Wind-Patterns.jpg
Setiap lokasi terjadinya hujan baik saat monsoon barat maupun timur merupakan lokasi dimana tekanan rendah yang bersifat semi permanen terbentuk. Hal ini karena garis ITCZ yang berubah-ubah akibat pergerakan semu matahari. Garis ITCZ menggambarkan pertemuan antara angin utama dari utara dan selatan yang menyebabkan banyaknya uap air yang naik dan curah hujan yang lebat. Mengingat kondisi yang demikian maka mayoritas penduduk di Afrika berprofesi sebagai petani. Penentuan musim tanam dan panen sangat bergantung pada curah hujan yang dibentuk oleh sistem monsoon ini. Dari kedua monsoon ini, efek yang paling berpengaruh pada bidang pertanian adalah monsoon barat. Pertanian di Afrika umumnya dilakukan di sekitar daerah aliran sungai Nil.

Wednesday, January 4, 2017

Negeri tanggap bencana

Dua belas tahun yang lalu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, terjadi bencana alam tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya dan menelan korban jiwa ratusan ribu orang. Bencana yang diawali gempa besar di lepas pantai Aceh tersebut dirasakan dampaknya pada Negara-negara yang berada di seputar samudra Hindia. Suatu bencana yang sampai sekarang masih menyisakan trauma bagi sebagian masyarakat Aceh yang mengalaminya. Bahkan siaran langsung yang terus menerus di televisi nasional bukan tidak mungkin menyebabkan pula trauma bagi masyarakat Indonesia lainnya yang terpapar oleh berita tersebut.
Indonesia merupakan Negara yang dilalui oleh sirkum mediterania yang membentang di Sumatera (Bukit Barisan), Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Selain itu dilalui pula oleh sirkum Pasifik yang melalui Sulawesi dan Papua.  Sirkum Mediterania dan Pasifik ini berupa barisan pegunungan akibat pertemuan lempeng benua dan samudra di bawahnya. Seperti diketahui bahwa tumbukan antar lempeng tersebut akan menyebabkan kemunculan gunung di atasnya. Oleh karena itu wajar bila Indonesia merupakan wilayah “ring of fire” karena banyaknya gunung api yang terbentuk sepanjang pertemuan lempeng tersebut.
Tsunami yang selama ini terjadi biasanya muncul akibat gempa yang terjadi di laut dengan kedalaman kurang dari 10 km, merupakan akibat dari sesar naik atau turun, dan gempa yang ditimbulkannya mempunyai amplitude lebih dari 5 skala Richter. Ketentuan-ketentuan itulah yang selama ini dipakai oleh BMKG dalam memberikan warning adanya tsunami atau bukan kepada masyarakat.
Tidak kalah dahsyatnya adalah pengaruh dari atmosfer di atasnya. Atmosfer di Indonesia mempunyai perilaku yang unik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Atmosfer kita mendapatkan tiga pengaruh sirkulasi, yakni yang berarah meridional (Utara-Selatan) yang disebut sel Hadley, sirkulasi yang berarah zonal (Barat-Timur) yang disebut sel Walker dan sirkulasi yang sifatnya lokal. Dalam arah meridional ini kita juga mengenal monsoon, monsun atau muson. Monsun ini mempunyai pengaruh kuat pada curah hujan di Indonesia khususnya pada wilayah-wilayah selatan ekuator/khatulistiwa dan sedikit wilayah di Utara ekuator.  Kita mengenal monsun Asia yang banyak menyebabkan musim hujan di banyak wilayah di tanah air dan monsun Australia yang membawa pengaruh musim kemarau. Pola hujan selain monsun adalah pola lokal dan ekuatorial. Pola lokal kebalikan dari pola monsun dimana biasanya pada bulan-bulan Juni-Juli-Agustus justru curah hujannya tinggi. Pola lokal bisa juga dicirikan oleh curah hujan sepanjang tahun, hampir dikatakan tidak ada bulan kering. Pola ekuatorial biasanya terdapat pada wilayah-wilayah yang terletak di sekitar ekuator. Pola ini mempunyai ciri khas dua kali puncak musim hujan, yakni sekitar Maret-April-Mei dan September-Oktober-November.  Jawa Barat mempunyai pola curah hujan monsun, dengan demikian maka biasanya pada bulan-bulan Oktober sampai Maret merupakan musim hujan sedangkan pada bulan April sampai September merupakan musim kemarau. Puncak kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus.
Pola monsun yang telah disebut di atas biasanya tidak berpengaruh sendirian. Ada pengaruh lain yang berskala besar yang turut berperan yakni kejadian di perairan Indonesia dan sekitarnya. Di perairan Pasifik ekuator ada fenomena yang dinamakan El Nino dan La Nina, sedangkan di perairan Samudra Hindia ekuator ada fenomena yang disebut Dipole Mode. Fenomena-fenomena tersebut saat ini juga sedang berlangsung yakni La Nina (yang diperkirakan akan berlangsung sampai dengan Pebruari 2017) dan Dipole Mode negatif. Perairan Indonesia yang juga menghangat juga menyumbang pada besarnya curah hujan di tanah air. Oleh karena itu tidak heran bahwa akibat meningkatnya curah hujan di tanah air menyebabkan banjir dan longsor terjadi dimana-mana. Kewaspadaan yang tinggi harus terus diupayakan agar dampaknya tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Tanggal 24 Oktober 2016 yang baru lalu, banjir besar melanda Bandung dimana biasanya wilayah seperti jalan Pasteur dan Pagarsih tidak dilanda banjir semacam itu. Curah hujan di stasiun pengamat cuaca di Program studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung menunjukkan angka 71 mm/jam. Intensitas hujan sebesar itu masuk pada kategori sangat sangat deras. Ketika tanggul di Citepus bobol, maka hujan yang sudah demikian deras ditambah dengan aliran air dari atas yang tidak mampu ditampung oleh saluran drainase menyebabkan banjir di wilayah-wilayah yang lebih rendah. Banjir tersebut dalam beberapa waktu kemudian berulang meskipun tidak sebesar yang pertama.
Banjir bandang di Garut beberapa bulan yang lalu juga menghancurkan beberapa kawasan dan menyebabkan hilangnya sebanyak 19 orang. Peristiwa ini juga dipicu oleh hujan deras yang menimpa bukit-bukit yang sudah gundul/tidak ada tanaman penguatnya sehingga timbullah banjir bandang.  Longsor yang menutupi jalan raya beberapa waktu yang lalu juga terjadi, misal di antara jalan Tanjungsari menuju  Sumedang atau di Bandung barat.
Bencanahidrometeorologis yang lain adalah puting beliung. Puting beliung yang umumnya disebabkan oleh perbedaan tekanan di beberapa ketinggian dari massa udara hangat dan dingin yang berlawanan arah menyebabkan pusaran. Pusaran inilah yang bila terangkat akibat sedotan oleh awan kumulonimbus menyebabkan timbulnya puting beliung. Di banyak tempat di Jawa Barat hal ini terjadi, dimana beberapa kali juga menimpa wilayah Bandung baik kabupaten maupun kotamadya. Pada skala yang lebih besar ada fenomena yang disebut tornado dan siklon. Siklon yang beberapa waktu ini juga sering terjadi di wilayah sekitar Indonesia sering membawa dampak pada buruknya cuaca. Hujan deras, petir, atau gelombang besar di pantai biasanya akibat imbas dari kehadiran siklon di Australia atau di wilayah Philippina. Siklon di Australia banyak membawa dampak buruk pada wilayah-wilayah Indonesia bagian selatan seperti Jawa sampai Nusa Tenggara bagian selatan. Siklon atau topan di Philippina biasanya membawa dampak buruk pada cuaca dan gelombang di Sulawesi bagian Utara.

Mengingat bahwa hal-hal di atas tersebut akan terus menerus berlangsung maka sudah sewajarnya bila masyarakat harus makin dicerdaskan. Hal-hal yang sifatnya takhayul yang seringkali berhembus ketika suatu peristiwa bencana alam terjadi harus makin dikikis. Gempa besar, ombak tinggi, tsunami yang terjadi di pantai Selatan kadangkala dikaitkan dengan kemarahan sang Ratu laut Selatan. Pemahaman demikian ini harus dihapus agar masyarakat makin rasional dalam menghadapi sesuatu. Jangan pula bencana di Pidie Jaya Aceh juga diakibatkan oleh ikan lele raksasa yang menyangga bumi bergerak, seperti sebagian masyarakat tradisional Jepang yakini. Gerhana bulan atau matahari kadangkala juga diyakini oleh masyarakat tradisional kita sebagai raksasa yang sedang menelan bulan atau matahari sehingga perlu dibunyikan kentongan bertalu-talu agar raksasa tidak memakannya/menghalau raksasa (buta hejo). Masyarakat harus dididik secara rasional tanpa menghilangkan local wisdom dalam memandang peristiwa alam dan bencana. Tugas pemerintah melalui instansi atau badan seperti BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), BIG (Badan Informasi Geospasial) dan kementrian terkait lainnya termasuk perguruan tinggi. Kegiatan mitigasi dan adaptasi harus diupayakan disosialisasikan kepada semua lapisan masyarakat mulai pada usia dini. Di Jepang misalnya, seseorang yang mengalami gempa bumi sudah diajarkan sejak kecil untuk berlindung di bawah meja atau lari keluar mencari tempat yang bebas dari bangunan sekitarnya. Di Negara kita hal ini belum sampai mencapai taraf semacam itu. Pendidikan kebencanaan sudah seharusnya didorong oleh pemerintah untuk didirikan minimal di wilayah-wilayah/propinsi-propinsi yang mempunyai potensi bencana alam baik darat, laut maupun udara. Jika ini terjadi maka masyarakat akan makin tanggap bencana dan bisa hidup harmoni dengan alam. Semoga!

Dimuat dalam harian Pikiran Rakyat edisi 4 Januari 2017.