Tuesday, April 16, 2013

Kecelakaan lion air di Bali dan kemungkinan keterkaitannya dengan cuaca

Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan oleh jatuhnya pesawat Lion Air tujuan Denpasar yang berangkat dari bandar udara Husein Sastranegara Bandung Jawa Barat. Sebanyak 101 penumpangnya dan awak pesawatnya selamat, hanya diberitakan bahwa ada yang patah tulang tangan atau kaki. Tentu ini merupakan pukulan bagi industri dirgantara kita mengingat beberapa tahun yang lalu kita sempat ditolak terbang ke berbagai negara (khususnya Eropa) karerna banyaknya pesawat yang jatuh.
Saya mendapat kabar bahwa ketika terjadi kecelakaan tersebut, ada awan kumulonimbus di sekitar bandara dan hujan rintik-rintik. Dari kacamata meteorologist, ini tidak biasanya mengingat kalau terdapat awan kumulonimbus (Cb) seharusnya terjadi hujan deras. Awan Cb merupakan awan berskala meso dengan panjang horizontal 2-20 km, dengan pertumbuhan vertikal yang besar. Awan ini mempunyai tiga tahap pertumbuhan yakni tahap kumulus, tahap mature dan tahap disipasi. Tahap kumulus ditandai dengan updraft sebesar 5 m/s, tak ada downdraft, ukuran sel 2-6 km, updraft meningkat dengan ketinggian, konvergensi di level bawah, dan seluruhnya bergaya apung positif. Tahap mature ditunjukkan oleh kondisi hujan yang pertamakali menyentuh permukaan bumi, terjadi hujan terderas dan turbulensi terkuat, downdraft terbentuk, updraft tetap kuat, divergensi permukaan terjadi di bawah hujan terderas, outflow awan membentuk gust front di permukaan dan ada apungan positif dan negatif. Sedangkan tahap disipasi ditunjukkan oleh kondisi divergensi di level bawah, downdraft melemah, turbulensi kurang intense, dan presipitasi menurun menjadi hujan ringan. Menilik dari informasi bahwa hujannya rintik-rintik dan ada awan Cb, kemungkinan awan Cb pada tahap mulai tahap mature atau sudah mendekati disipasi. Di sisi lain, ada informasi bahwa cuaca di atas bandara Ngurah Rai cerah berawan disertai hujan rintik-rintik. Ini kemungkinan adalah awan stratus. Mungkin juga akibat microburst, seperti downdraft di bawah awan Cb yang terlokasi khususnya microburst kering kebasahan karena timbul virga sampai hujan ringan. Sulit untuk memastikan apakah ini akibat peristiwa downdraft awan Cb atau microburst atau yang lain. Untuk itu  nampaknya diperlukan kajian tentang cuaca di Bali saat itu.

Menyelaraskan pembangunan dengan cuaca dan iklim

Seperti telah dituliskan sebelumnya, faktor cuaca dan iklim yang paling dominan di wilayah Indonesia adalah curah hujan. Tidak dapat dipungkiri, hujan inilah yang berpengaruh pada kehidupan kita sehari-hari. Temperatur yang juga berpengaruh, kalah jauh pengaruhnya dibanding curah hujan. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan-bulan Oktober sampai April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan-bulan April sampai Oktober khususnya di wilayah-wilayah Sumatra bagian Selatan, seluruh pulau Jawa, sampai Nusa Tenggara dan Papua bagian selatan. Artinya pada bulan-bulan tersebut kemungkinan hujan terjadi hampir tiap hari. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh pada jalannya pembangunan khususnya pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, gedung, fasilitas umum dll. Oleh karena itu seharusnya pada musim hujan pembangunan infrastruktur dikurangi dan lebih banyak pembangunan indoor. Ini sepertinya tidak dilaksanakan karena ketidakpahaman dan  kekurangpedulian pemerintah dalam menyelaraskan dan menyesuaikan pembangunan fisik dengan musim.
Berbeda dengan negara-negara yang mempunyai 4 musim. Pada saat musim dingin, dipastikan bahwa pembangunan fisik dihentikan ... sedangkan pada saat musim panas pembangunan fisik digiatkan. Mereka paham bahwa jika pembangunan fisik dilakukan pada musim dingin maka tidak akan efektif dan efisien serta cenderung menghambur-hamburkan dana.
Kembali lagi di negara kita, Indonesia tercinta. Pelaksanaan pembangunan yang tidakselaras dengan musim ini seringkali menyebabkan perpanjangan waktu penyelesaian. Bila ini terjadi maka sudah pasti akan menyedot dana lagi. Negara ini mempunyai 3 pola curah hujan; ada pola A, B dan C (lihat postingan sebelumnya). Oleh sebab itu diperlukan 3 skenario bagaimana menyelaraskan pembangunan dengan cuaca dan iklim lokal. Tidak mudah memang menjalankan hal ini, tetapi bila tidak dicoba bagaimana kita tahu bahwa itu adalah sulit. Kita bisa belajar ke negara-negara lain yang mempunyai pola musim yang berbeda.
Semoga saja pemerintah mau mendengarkannya dan yang paling penting mencobanya.