Friday, January 18, 2013

Banjir di ibukota Jakarta ... kapan tidak ada lagi???

Beberapa hari terakhir ini layar televisi dan seluruh media massa ramai-ramai memberitakan tentang banjir yang melanda ibukota negara kita. Banjir yang terjadi tidak hanya melanda wilayah-wilayah yang selama ini memang langganan banjir, tetapi juga melanda wilayah yang tidak pernah tersentuh banjir. Simbol-simbol negara seperti istana negara tidak luput dari genangan air yang mengalir. Gubernur Jakarta dan bahkan Presiden turun tangan memikirkan cara untuk mengatasi banjir ini.
Pada jamannya gubernur DKI Sutiyoso, telah diusulkan untuk memperbaiki Banjir Kanal Barat dan Timur, pembuatan situ-situ/ danau/ waduk di luar Jakarta khususnya di wilayah Bogor sampai pada konsep megapolitan untuk mengatasi banjir ini. Namun rupanya Gubernur berikutnya tidak tertarik untuk melanjutkan konsep tersebut. Gubernur sekarangpun (Joko Widodo) nampaknya juga belum memikirkan untuk melanjutkan konsep tersebut. Sudah jamak di Indonesia, ganti pejabat ganti kebijakan. Tak ada konsep yang umurnya panjang kalau terjadi pergantian pimpinan. Ada kesan seolah-olah pejabat yang baru merasa mengekor dan yang mendapat nama baik di masyarakat adalah pejabat yang menelorkan konsep tersebut. Di Indonesia (tidak hanya di Jakarta saja), tidak ada sikap legowo dan ikhlas kalau orang lain yang pertama kali menelorkan sesuatu konsep memperoleh apresiasi yang baik dari masyarakat. Moga-moga pendapat saya ini salah.
Sebab dari banjir di Jakarta ini adalah hujan kiriman dari Bogor, perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan/ ke sungai, pembangunan tanpa mengindahkan tata ruang, saluran-saluran air yang tidak berfungsi semestinya dan lain-lain. Faktor meteorologi yakni hujan merupakan faktor paling penting di antara faktor-faktor penting yang lain. Tanpa hujan tidak akan ada banjir. Sayangnya kita tidak dapat mengontrol datangnya hujan semau kita. Meskipun ada modifikasi cuaca (peleraian awan-awan penghasil hujan) namun tidak akan efektif dan efisien dalam mengendalikan banjir. Biaya akan sangat tinggi karena sekarang memasuki musim hujan. Teknologi peleraian awanpun tampaknya belum pernah dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (UPT HB BPPT) walaupun secara prinsip hanya kebalikan dari mengadakan hujan buatan/ hujan rangsangan.
Dari peta sinoptik dan dari citra satelit terlihat bahwa wilayah sekitar Jakarta khususnya masih banyak teramati awan yang tebal dan cukup merata. Ini berarti potensi terjadinya banjir di kota Jakarta masih akan berlangsung. Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat Jakarta mempersiapkan diri untuk menerima kedatangan banjir untuk beberapa waktu ke depan. Meskipun harta benda mungkin rusak/ hilang tetapi jangan ada lagi korban jiwa. Semoga dengan upaya sekuat tenaga dan mencurahkan pemikiran serta dengan kebesaran jiwa pemimpin-pemimpinnya akan dapat mengatasi banjir dimanapun khususnya di ibukota Jakarta tercinta. Atau ibukota negara dipindah seperti tulisan saya di blog ini beberapa waktu yang lalu???






Sunday, January 13, 2013

Indonesia dan pengaruh siklon di sekitarnya

Tak bisa diragukan bahwa cuaca dan iklim di Indonesia meninabobokkan mereka-mereka yang tinggal di Indonesia. Banyak orang asing yang tinggal di Indonesia mengakui hal itu sehingga mereka kerasan tinggal di negara kita. Tetapi sayang akibat cuaca dan iklim yang "menyenangkan" ini maka sebagian besar rakyat Indonesia menjadi kurang berjuang untuk mengubah nasibnya. Berbeda dengan negara-negara maju yang cuaca dan iklimnya sangat keras, rakyatnya sangat tertantang untuk mensiasati kondisi cuaca dan iklim tersebut. Oleh karena itu, kalau kita perhatikan negara-negara maju umumnya terletak di lintang menengah dan tinggi. Amat sangat sedikit negara maju yang terletak di lintang rendah.
Kondisi cuaca dan iklim di suatu negara tidak hanya ditentukan oleh kondisi atmosfer di negara tersebut tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi atmosfer dan perairan di sekitarnya. Contoh yang sangat baik adalah kondisi saat ini dimana terdapat siklon tropis Narelle di perairan samudra Hindia sebelah barat Australia. Terdapatnya siklon tropis yang merupakan pusat tekanan rendah di selatan Indonesia ini menyebabkan massa udara dari daratan Siberia bergerak menuju daratan Australia melewati wilayah Indonesia. Seakan-akan siklon tropis ini menyedot udara yang ada di sekitarnya menuju siklon tropis tersebut. Tergantung perbedaan tekanan antara siklon tersebut dengan wilayah di sekitarnya. Makin tinggi perbedaan tekanannya maka makin kuat sedotannya. Ini menyebabkan arus udara/ angin menjadi makin kencang.
Karena pengaruh siklon tropis Narelle ini, cuaca di atas wilayah Indonesia menjadi buruk khususnya di bagian selatan katulistiwa. Angin menjadi kencang, hujan menjadi lebih deras yang berpotensi menjadikan banjir di beberapa wilayah di Indonesia. Seperti yang dalam beberapa hari ini diberitakan di media massa; sebagian dermaga di pelabuhan Merak ditutup akibat cuaca buruk. Antrian kendaraan menuju Merak dan Bakauheni mencapai puluhan kilometer karena kapal yang dioperasikan hanyalah kapal-kapal besar yang jumlahnya hanya 50% dari yang biasanya dioperasikan. Apalagi ditambah terjadinya banjir di wilayah Banten   yang mengganggu jalan tol menuju pelabuhan Merak. Di beberapa wilayah lain, para nelayan tidak dapat melaut karena cuaca buruk. Tentu saja ini mengganggu perekonomian nasional.
Sudah selayaknya pemerintah makin memperhatikan masalah cuaca dan iklim dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Banyak keputusan di atas meja tidak dapat dilaksanakan di lapangan karena pengaruh cuaca dan iklim ini. Hal ini akan saya sampaikan pada tulisan mendatang.