Friday, April 23, 2010

Massa udara dan cuaca

Massa udara yang dimaksud di atas bukanlah massa yang berkaitan dengan bobot misal gram, kilogram, ton dsb tapi "massa" yang berarti "kumpulan atau badan (body)". Jika udara menetap pada waktu yang cukup lama di atas suatu permukaan bumi, sifatnya cenderung menjadi ciri khas untuk permukaan itu. Jika sifat permukaan tersebut kurang lebih sama untuk daerah yang sangat luas (ribuan kilometer persegi) maka sifat suatu badan udara yang besar akan menjadi hampir sama/ seragam dalam bidang horizontal. Badan udara dengan sifat (khususnya dicirikan oleh temperatur dan kelembapan) yang hampir seragam dalam jarak horizontal ribuan kilometer disebut sebagai massa udara.

Dengan demikian, agar terbentuk suatu massa udara maka udara harus diam atau bergerak untuk waktu yang lama dan terdapat di atas daerah yang luas yang memiliki sifat seragam. Sifat dan tingkat keseragaman tersebut bergantung pada sumber massa udara, riwayat (modifikasi) massa udara dan waktu hidup massa udara. Pembentukan massa udara yang seragam dapat diperoleh melalui proses percampuran dan radiatif yang memerlukan waktu selama 3-7 hari.

Massa udara juga bisa mengalamai perubahan baik akibat proses termodinamik maupun proses dinamik. Proses termodinamik seperti misalnya pemanasan/ pendinginan permukaan dan penambahan/ hilangnya kelembapan. Sedangkan proses dinamik misalnya adalah percampuran turbulen dan pengangkatan/ penurunan skala besar.

Massa udarapun juga bisa diklasifikasikan didasarkan pada daerah sumber dan jenis permukaannya. Terdapat 4 klasifikasi dasar dari massa udara, yakni continental (c) yang secara tipikal kelembapannya rendah, maritime (m) yang kandungan uap airnya tinggi, polar (P)yang sifatnya dingin dan tropikal (T) yang sifatnya hangat. Dari keempat tipe dan sifat permukaan di atas, terdapat 4 kombinasi yakni continental polar (cP), continental tropic (cT), maritime polar (mP), dan maritime tropic (mT). Ada lagi tambahan jenis massa udara yakni Arctic (A) yang sifatnya sangat dingin dan sering tidak bisa dibedaan dengan massa udara polar (kutub) di dekat permukaan. Massa udara ini berasal lebih banyak dari atas tutupan es kutub daripada massa daratan lintang tinggi. Oleh karena itu terdapat 2 lagi tambahan massa udara yakni continental arctic (cA) dan maritime arctic (mA). Beberapa skema klasifikasi menambahkan indikasi pada udara tersebut yakni warmer (w) dan cooler (k) setelah nama massa udaranya, seperti misalnya cPk (continental polar cooler) dan mPw (maritime polar warmer). Sifat-sifat masing-masing massa udara ini sesuai dengan namanya. Oleh karena itu untuk mengetahui sifat-sifat masing-masing massa udara dengan lebih detail dipersilahkan para pembaca mencari referensi untuk itu.

Massa udara arctic terasakan sampai ketinggian 650 mb, cP dan mP terasakan sampai beberapa milibar di atas ketinggian A. Massa udara mT terasakan sampai ketinggian hampir 500 mb sedangkan cT kurang lebih terasakan sampai ketinggian 700 mb. Di antara semua massa udara tersebut, massa udara A mempunyai kadar kebasahan yang paling rendah dan mT adalah yang paling tinggi kadar kelembapannya.

Seperti telah disebut di atas, massa udara bisa mengalami perubahan sifat. Ini terjadi ketika ia meninggalkan sumbernya karena berinteraksi degan permukaan yang dilalui yang mengubah kestabilan dan berinteraksi dengan massa udara lainnya. Ketika bergerak menuju ekuator, massa udara A akan mendapatkan pemanasan dari bawah (suplai uap air dari permukaan yang hangat dan basah) sehingga menjadi tidak stabil sehingga bisa timbul awan besar. Jika ia bergabung dengan aliran mensiklon maka udara menjadi makin tidak stabil dan perawanan yang menghasilkan hujan curah (shower) makin bertambah. Namun yang sering terjadi adalah bahwa massa udara ini bergabung dengan aliran mengantisiklon sehingga pertumbuhan vertikal awan terbatasi walaupun dia mendapat suplai pemanasan dari bawah.

Sebaliknya massa udara mT yang bergerak menuju kutub di musim dingin cenderung makin stabil sehingga yang terbentuk hanya awan-awan jenis stratus. Sedangkan di musim panas, di atas daratan di lintang rendah, massa udara ini menjadi makin tidak stabil sehingga terbentuk awan-awan kumulus (Cu), hujan curah dan badai guntur.

Cuaca dalam suatu daerah bergantung pada berbagai sifat massa udara yang melaluinya terutama kestabilan dan kandungan uap airnya. Umumnya massa udara maritim memiliki perawanan dan hujan curah yang lebih besar, sedangkan massa udara continental cenderung membawa sifat cerah pada daerah yang dilaluinya.

Meskipun pada sebagian besar waktu, cuaca pada suatu tempat ditentukan oleh sifat massa udara yang berkuasa atau menyelimuti wilayah tersebut, namun cuaca sangat buruk sering berhubungan dengan interaksi dari dua massa udara yang bertemu (front) khususnya di batas pertemuan kedua massa udara tersebut. Indonesia tidak dilalui oleh front ini.

OK segini dulu ya. Nantikan cerita selanjutnya  ...

Monday, April 19, 2010

Kalau gunung api Islandia bikin ulah

Inilah dampaknya jika suatu gunung api sedang demam dan batuk-batuk. Asap yang membawa debu mengepul ke angkasa membentuk awan tebal yang hitam. Tidak saja mengganggu pemandangan, namun pernafasan bahkan transportasipun terpengaruh. Kejadian gunung meletus di Islandia beberapa waktu yang lalu makin membuktikan bahwa gunung api tidak bisa begitu saja dapat dianggap remeh dalam mempengaruhi stabilitas dan visibilitas atmosfer. Ribuan penerbangan dari dan menuju negara-negara Eropa dibatalkan gara-gara debu ini. Bisa dibayangkan berapa trilyun rupiah kerugian akibat debu ini.
Gunung api di Islandia yang terletak di lintang tinggi dekat kutub utara tersebut terutama dirasakan dampaknya di negara-negara pada arah selatan sampai timur negera tersebut. Ini dapat dipahami karena angin yang berkuasa di sekitar lintang tersebut berarah tersebut. Pembentukan perawananpun bisa terjadi meskipun tidak sebesar di daerah ekuator tropis. Massa udara kutub dan arctic mempengaruhi pola sebaran debu gunung tersebut.
Apakah debu gunung tersebut mempengaruhi suhu dalam jangka panjang di benua Eropa atau tempat lain, tampaknya memerlukan penelitian lebih lanjut. Kalau dilihat bahwa jumlah debu yang dilontarkan ke atmosfer tidak mencapai ribuan kilometer kubik, barangkali tidak akan banyak berdampak pada temperatur udara di Eropa/ belahan dunia lainnya meskipun debu tersebut disebarkan di lapisan stratosfer yang stabil. Berbeda dengan letusan Krakatau (1883) dan Tambora yang debunya menjulang ke atmosfer setinggi 25 km dalam jumlah besar (ratusan dan ribuan kilometer kubik) sehingga mempengaruhi suhu bumi.