Meski sebenarnya sudah bisa diduga bahwa di banyak tempat di Indonesia masih ada yang mempunyai curah hujan cukup untuk menghasilkan banjir mengingat ada tiga pola curah hujan di tanah air, namun peristiwa banjir di Masamba Sulawesi ini memang tidak diduga sebelumnya. Curah hujan yang sedang hingga tinggi sebelum kejadian menyebabkan banjir bandang terjadi. Puluhan korban jiwa sampai hari ini dilaporkan, dan banyak kawasan mengalami kerusakan karena air bah yang membawa lumpur. Secara meteorologis bisa dijelaskan bahwa daerah tersebut mengalami pola curah hujan lokal karena juga ada perbukitan di sekitarnya. Pola curah hujan ini berkebalikan dengan pola monsoonal dimana justru pada bulan Juni Juli Agustus curah hujannya tinggi. Pembentukan perawanan cumulonimbus pada saat kejadian hujan sedang dan deras sebelumnya mempunyai pengaruh kuat pada pembentukan banjir bandang.
sumber: Kompas, 14/7/2020
Di Sintang Kalimantan dan Sorong Papua juga terjadi banjir. Banjir yang mengakibatkan berbagai kerugian disebabkan oleh pola curah hujan ekuatorial dan lokal yang terjadi di tempat tersebut selain karena pengaruh wilayah yang sudah rusak ekologinya dan juga tanahnya sudah mengalami kejenuhan ketika banjir terjadi. Tanah yang jenuh ini diakibatkan oleh air hujan yang cukup untuk menjenuhkan tanah. Kemudian air tidak lagi dapat meresap ke dalam tanah dan akhirnya run off terjadi yang makin lama makin besar. Bila run off ini tidak tertampung di sungai atau badan-badan air maka bisa meluber dan menyebabkan banjir atau memperparah genangan. Oleh karena itu bila kita bicara masalah banjir maka kita bicara juga masalah lingkungan, selain faktor kebiasaan manusia, infrastruktur dan juga faktor meteorologi. Baca misalnya di sini dan di sini.