Monday, September 30, 2019

Asap, kabut, atau kabut asap??

Beberapa waktu ini di beberapa tempat di Indonesia, bahkan dunia, sedang terjadi kebakaran hutan dan lahan. Selain di negeri kita, terdapat juga kebakaran skala besar yang terjadi di Brazil dan di Conggo. Kebakaran yang terjadi saat ini banyak mengeluarkan asap yang dampaknya sudah banyak dirasakan masyarakat. Udara menjadi pengap dan panas serta mengganggu pernafasan. Bagi manula (manusia berusia lanjut) dan anak-anak, hal ini tentu lebih dirasakan dibanding dengan yang berusia remaja dan dewasa. Sekali lagi "asap" mengingat hampir tidak ada uap air yang terkandung dalam asap karena keringnya. Kandungan uap air yang ada di atmosfer tropis mendekati 4% dari volume atmosfer sementara di wilayah kutub bisa mencapai 0%. Alhamdulillah bahwa dengan adanya modifikasi cuaca telah beberapa kali menyebabkan hujan deras di berbagai tempat. Ini merupakan berita yang baik mengingat beberapa waktu dilaksanakan proyek hujan buatan tetapi hasilnya masih jauh dari harapan mengingat ketiadaan awan-awan potensial untuk disemai.
Di Conggo, menurut informasi, mencontoh dan banyak belajar ke Indonesia dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Mereka berusaha untuk memadamkan kebakaran hutannya melalui cara-cara yang kebanyakan manual sedangkan Brazil masih berusaha untuk mengatasi kebakaran hutan Amazone bekerjasama dengan negara sekitarnya. Tentu semuanya mengharapkan agar secara alami segera terjadi musim hujan. Di Conggo, musim monsoon Afrika timur akan dengan segera menghasilkan hujan sedangkan di Brazil, monsoon Amerika selatan akan banyak mendatangkan hujan. Fenomena monsoon timur laut di belahan bumi utara wilayah Indonesia akan terjadi tidak berapa lama lagi mengingat sekarang angin sudah menjadi angin tenggara dan timur. Oleh karena itu bisa diharapkan bahwa asap akan segera terhalau dari wilayah kebakaran hutan dan lahan. Langit segera akan menjadi bersih kembali dan seluruh  masyarakat wilayah karhutla akan kembali melihat sinar matahari yang selama ini tertutup oleh asap dimana untuk sementara waktu akan mengalami "kabut asap" dahulu. Demikian juga wilayah Indonesia lainnya yang saat ini mengalami kekeringan dan terjadi kebakaran hutan, misalnya di Jawa Timur dan Nusa Tenggara. Bisa diharapkan bahwa pertengahan Oktober sudah memasuki awal musim hujan sedangkan di Nusa Tenggara mungkin awal November baru akan mengalami banyak hujan. Semoga musim hujan sesegera mungkin datang dan permasalahan kebakaran segera hilang dan kebutuhan air warga tercukupi. Sudah saatnya bersiap-siap akan datangnya banjir pada musim hujan mendatang yang semestinya sudah dipersiapkan saat musim kemarau dalam membangun infrastruktur, misalnya. Semoga tidak menjadi sesuatu yang sifatnya rutin semata namun harus selalu ada perbaikan pada setiap musimnya dalam proses pembangunan.


Sunday, September 22, 2019

Semoga segera memasuki musim hujan

Untuk daerah yang selama beberapa waktu ini terkena  asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) maka curah hujan merupakan dambaan bagi setiap orang. Sebenarnya memang ada yang sudah mengalami hujan namun bukan berarti bahwa musim hujan telah datang. Awal musim hujan baru terjadi bila curah hujan melebihi 50 mm yang kemudian diikuti dengan dua dasa harian berikutnya juga masing-masing lebih dari 50 mm. Namun untuk awan-awan yang berpotensi menghasilkan hujan dibutuhkan kelembapan relatif yang cukup yang bisa menghasilkan hujan. Kelembapan relatif 75-85% menjamin teraktifasinya tetes-tetes awan menjadi tetes hujan. Dengan demikian maka hujan buatan dengan menaburkan garam dapur atau urea yang notabene merupakan salah satu upaya bentuk modifikasi cuaca patut untuk dicoba untuk meningkatkan jumlah tetes awan dan tetes hujan yang ada di atmosfer. Beberapa waktu ini ada wacana tentang penggunaan kapur tohor untuk mengatasi asap dari kebakaran hutan. Ini juga merupakan salah satu bentuk modifikasi cuaca untuk mengikat partikel asap agar berukuran lebih besar sehingga bisa dijatuhkan sebagai partikel "hujan". Kapur tohor juga mempunyai sifat menyerap air di sekitarnya (higroskopis). Mengingat awan potensial  yang ada tidak berjumlah cukup karena radiasi matahari tidak sampai ke permukaan bumi sehingga tidak bisa menguapkan air dari permukaan air, tanah dan tanaman (menghambat evaporasi dan transpirasi, evapotranspirasi) maka ini menghambat pada proses keberhasilan pembentukan "hujan buatan". Asap yang tebal inilah yang menghalangi proses penyinaran matahari langsung sampai permukaan bumi. Selain daripada itu, angin lemah yang berasal dari benua Australia tidak banyak membawa uap air selama perjalanannya menuju wilayah karhutla. Mengingat gerak semu matahari yang bergeser menuju ekuator maka dapat dipastikan bahwa perawanan juga bergeser mengikuti gerak semu matahari ini. Meskipun demikian, apakah perawanan ini membawa cukup uap air yang berpotensi timbulnya awan konvergensi dan awan konvektif di tempat-tempat karhutla, masih harus dipantau lebih lanjut.  Pergeseran angin makin menjadi angin timur laut di belahan bumi utara merupakan awal yang cocok untuk melakukan hujan buatan. Semoga dalam waktu dekat ini merupakan waktu yang cocok untuk melakukan hujan buatan, bilamana kapur tohor tersebut tidak mampu untuk turun menjadi "hujan". Semoga kapur tohor yang jatuh yang bereaksi dengan uap air dan asap tidak menimbulkan masalah baru bagi kesehatan makhluk hidup. Semakin banyak uap air yang terserap oleh kapur tohor maka peluang terjadinya hujan buatan makin besar. Langit yang tertutup warna merah di propinsi Jambi kemarin merupakan fenomena optik biasa mengingat ukuran partikel yang ada di atmosfer meningkat dengan meningkatnya kepekatan asap karhutla. Entah karena pengaruh penaburan kapur tohor atau karena angin lemah akibat gaya gradien tekanan yang ada tidak cukup kuat, perlu dilihat di lapangan.