Tuesday, December 23, 2014

Bencana hidrometeorologis membutuhkan perhatian kita semua

Akhir-akhir ini bencana alam melanda di berbagai tempat di tanah air. Banjir, tanah longsor, puting beliung ... silih berganti datang dan pergi. Belum habis orang dikejutkan dengan terjadinya bencana tanah longsor di Banjarnegara Jawa Tengah, warga Bandung selatan sudah dipaksa mengungsi karena banjir. Di bagian lain Bandung, puting beliung menerpa bangunan-bangunan permanen dan meluluhlantakkannya. Belum lagi yang terjadi di seluruh penjuru tanah air. Mungkin banyak juga yang tidak terliput oleh insan pers.
Bencana banjir ini memang sudah diprakirakan sejak beberapa waktu yang lalu karena lingkungan yang makin rusak, ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan dan datangnya curah hujan yang besar pada waktu yang singkat (shower). Awan-awan jenis cumulonimbus dan nimbostratus makin sering terjadi dan menggayut di langit. Tidak heran jika peluang terjadinya banjir makin besar. Bukan tidak mungkin bahwa bencana hidrometeorologis ini akan melanda Indonesia sepanjang tahun 2015 mendatang. Semoga saja hal ini tidak terjadi.
Melihat distribusi tekanan rendah yang saat ini berada di selatan ekuator dan tekanan tinggi yang berada di utara ekuator maka peluang terjadinya hujan memang akan membesar, demikian juga dengan banjir apalagi diprediksi bahwa puncak hujan akan terjadi pada bulan Januari dan Pebruari 2015 mendatang. Tidak ada yang dapat kita lakukan untuk melawan alam tersebut. Kita harus berpasrah diri. Namun dampak yang terjadi dapat kita kurangi dengan memelihara lingkungan agar alam ramah pula terhadap kita. Saluran-saluran air diperbaiki dan jangan dipenuhi dengan sampah serta dijaga jangan sampai menyempit. Daerah resapan air jangan dirambah untuk pemukiman dan industri. Tata ruang harus secara konsisten diperbaiki dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan law enforcement harus dilaksanakan jika ada pihak yang melanggar.
Lembaga-lembaga pemerintah seperti BMKG, BNPB/D, Perguruan tinggi dan lembaga-lembaga lainnya harus bahu membahu mengupayakan yang terbaik bagi bangsa ini. Beban tanggung jawab yang berat akan terasa ringan jika kita pikul bersama.

Tuesday, October 14, 2014

Kebakaran dan polusi asap akan berhenti secara alami.

Beberapa waktu ini, Sumatera dan Kalimantan dilanda kebakaran hutan. Siapa pembakarnya, sampai sekarang belum ada tindakan tegas yang menimbulkan efek jera. Kita semua tahu bahwasannya biasanya yang melakukan pembakaran dalam skala besar adalah perusahaan-perusahaan besar yang ingin mengusahakan hutan dan lahan untuk tujuan pertanian dan perkebunan atau kegiatan yang lain. Mereka tidak mau repot-repot membersihkan lahan dari semak belukar dalam area yang luas. Mereka pikir dengan cara membakar tentu biaya pembersihan akan jauh dapat ditekan dan lebih efisien serta efektif. Tetapi bukan tidak mungkin masyarakat luas melakukan hal yang sama untuk membersihkan ladangnya. Mereka semua tidak sadar dan tidak mau menyadari bahwa dampaknya bisa dirasakan masyarakat luas. Asap menyelimuti beberapa propinsi akhir-akhir ini dan mengganggu aktivitas penduduknya. Kejadian semacam ini sebenarnya sudah terjadi puluhan tahun dan paling masif setelah era reformasi. Mengherankan bahwa sampai sekarang masih saja terjadi hal yang sama (berulang). Sampai dengan hari ini, belum ada keluhan yang mengemuka dari pihak negara tetangga (Malasyia dan Singapura).
Seiring dengan waktu, kebakaran hutan dan polusi asap akan berakhir dengan sendirinya dengan akan datangnya musim hujan di tanah air. Hujan mulai turun di banyak tempat di tanah air yang mengindikasikan bahwa sebentar lagi memasuki musim hujan. Namun seharusnya kita tidak perlu pasrah dengan menunggu musim hujan datang. Sudah selayaknya pemerintah pusat dan daerah menerapkan sangsi yang tegas kepada pembakar semak belukar/ hutan yang menimbulkan polusi udara dalam skala luas. Aturan-aturan teknis dibuat agar bisa diimplementasikan di lapangan. Semoga ke depan masalah kebakaran hutan, asap dan polusi udara dapat segera dituntaskan dan dicari solusi terbaiknya.


Friday, August 15, 2014

Hujan, bagaimana bisa terbentuk?

Ada pertanyaan menarik dari salah seorang sahabatku, mengapa ada awan yang menghasilkan hujan dan ada pula awan yang tidak menghasilkan hujan. Ada baiknya untuk menjawabnya, kita melihat dulu ukuran inti kondensasi, tetes awan dan tetes hujan. Inti kondensasi berukuran sangat kecil 0,0002 mm, tetes awan berukuran 0,02 mm dan tetes hujan berukuran 2 mm. Tentu saja dibutuhkan jutaan buah tetes awan jika akan membentuk tetes hujan.
Namun perlu diingat bahwa awan akan terjadi jika ada inti kondensasi dan uap air. Tanpa ada kedua hal tersebut perawanan tidak akan terbentuk. Inti kondensasi yang berupa aerosol yang higroskopis (menyerap uap air di sekitarnya) dihasilkan dari banyak sumber. Misalnya dari asap kebakaran hutan, debu vulkanik, asap pabrik, partikel garam yang terpercik ke atmosfer karena tertiup angin, dan lain-lain. Sifat higroskopis dapat dengan mudah kita pahami dengan melihat mencairnya garam dapur yang diletakkan di atas meja. Garam dapur ini menyerap air di sekitarnya sehingga dia mencair; jadi tidak karena efek panas meskipun hal ini juga mungkin mempengaruhinya.
Pada saat awan sudah terbentuk karena proses kondensasi, proses tumbukan dan tangkapan pada awan panas bisa terjadi karena misal oleh adanya updraft. Tetes awan yang kecil akan terbawa ke atas dan bertumbukan dengan tetes-tetes yang lain dan saling menempel sehingga membentuk tetes yang lebih besar dan terbuka peluang untuk menjadi tetes hujan. Semakin tebal ukuran awan, peluang bertumbukan ini menjadi makin besar. Kecepatan pertumbuhan tetes kecil ini mula-mula cepat, namun ketika dia menjadi besar maka pertumbuhannya makin melambat. Ketika gaya gravitasinya lebih besar daripada kekuatan updraft maka tetes yang sudah membentuk tetes hujan tersebut akan jatuh sehingga terbentuklah hujan.
Berbeda dengan awan dingin di lintang menengah dimana proses pembentukan presipitasi dilakukan melalui proses Bergeron. Ini tidak lain karena sifat tekanan uap di atas es lebih kecil dibanding di atas tetes air. Dengan demikian maka menguapnya tetes air akan mengendap pada kristal es akibat perbedaan tekanan uap tersebut. Sehingga kristal es akan tumbuh membesar dan tetes air mengecil. Kristal es inilah yang jatuh sebagai presipitasi.

Thursday, July 24, 2014

Lagi ... pesawat jatuh karena cuaca di Taiwan


Tim penyelamat berusaha menemukan korban di puing pesawat TransAsia Airways GE222 yang jatuh saat berusaha mendarat darurat karena cuaca buruk. (Wong Yao-wen/AP Photo)

Satu lagi tragedy menimpa dunia penerbangan. Pesawat penumpang TransAsia Airways mengalami kecelakaan. Kali ini penyebabnya bukan karena ditembak jatuh oleh gerilyawan pendukung Rusia, tapi oleh karena faktor cuaca yakni adanya badai Matmo yang menimpa Taiwan beberapa hari ini. Dikatakan bahwa hanya 11 orang dari 58 orang yang selamat dalam kecelakaan tersebut.
Kejadian di atas semakin menguatkan pentingnya peran cuaca dalam keselamatan penerbangan. Mengabaikan masalah cuaca dalam dunia penerbangan sama saja dengan berjudi dengan maut. Dari berita yang terkumpul, pesawat tersebut berusaha mendarat dua kali tapi tidak berhasil karena pengaruh cuaca.
Depresi tropis yang bermula dari lintang 10 oN bujur 135.2 oE pada tanggal 17 Juli 2014 jam 12 GMT bergerak menuju barat laut  sempat berkembang menjadi topan tetapi kemudian meluruh menjadi badai tropis pada tanggal 23 Juli 2014. Meskipun terjadi peluruhan dari topan menjadi badai tropis, bukan berarti hal ini tidak berbahaya bagi dunia penerbangan dan pilot dan seluruh crew pasti mengetahuinya. Semoga kejadian seperti di atas tidak terulang lagi di lain waktu. Amin

Friday, July 4, 2014

Pelurusan pemahaman tentang cuaca dan iklim



Rasanya ada yang salah dengan pengenalan meteorologi dan klimatologi di sekolah menengah. Salah satu hal yang paling mencolok adalah definisi tentang cuaca dan iklim yang selama ini diajarkan di SMP dan SMA. Seringkali cuaca diartikan sebagai kondisi rata-rata udara pada suatu tempat yang sempit dan waktu yang singkat; sedangkan iklim diartikan sebagai kondisi rata-rata cuaca pada suatu tempat yang luas dan waktu yang lama. Menurut pemahaman saya yang berkutat tiap hari dengan masalah cuaca dan iklim; cuaca dapat diartikan sebagai kondisi fisis dan dinamis atmosfer pada suatu tempat dan waktu tertentu. Sedangkan iklim adalah kondisi atmosfer pada suatu tempat dan waktu yang relatif lama. Dari definisi ini ada hal yang mencolok tentang masalah ruang dan waktu. Pada pelatihan guru-guru geografi dan kebumian dari propinsi Nanggro Aceh Darussalam beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan tentangan (pandangan yang berlawanan) tentang hal tersebut karena selama ini mereka mendapatkan pengetahuan dari buku-buku bahwa perbedaan utama dari cuaca dan iklim adalah masalah ruang dan waktu. Pada skala ruang, cuaca lebih kecil daripada iklim sedangkan pada skala waktu cuaca lebih singkat daripada iklim. Memang terjadi titik temu khususnya pada masalah skala waktu dimana waktu yang panjang dalam definisi dari iklim adalah 30 tahun sesuai dengan yang dinyatakan oleh WMO (World Meteorological Organization) tetapi tidak terjadi titik temu pada skala ruang. Mereka membaca buku-buku geografi terbitan dalam negeri yang ditulis orang-orang yang tidak berkompeten dalam bidang meteorologi dan klimatologi yang memuat hal seperti yang telah disebut di atas dan bersikukuh tetap pada pendiriannya. Saya memberikan pandangan bahwa ada pembagian klimatologi berdasarkan skala ruangnya yakni klimatologi regional, klimatologi meso dan klimatologi mikro. Klimatologi regional mempelajari iklim daerah yang luas dengan ukuran horizontal sampai ukuran global; klimatologi meso untuk mempelajari iklim pada skala horizontal antara 10 dan 100 km; sedangkan klimatologi mikro mempelajari iklim di dekat permukaan tanah pada skala horizontal sangat kecil yakni kurang dari 100 meter. Dengan demikian jelas bahwa sebenarnya kalau iklim dinyatakan sebagai meliputi daerah yang luas, pertanyaannya adalah seberapa luas. Dari pernyataan saya di atas terlihat bahwa definisi iklim yang selama ini ditulis dalam buku-buku geografi nasional tidaklah tepat.
Hal lain yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa dua tempat yang mempunyai rata-rata parameter iklim (misal temperatur) yang sama belum tentu memiliki iklim yang sama. Ini karena iklim tidak hanya menyangkut rata-ratanya saja tetapi juga nilai-nilai ekstrimnya dan frekuensi kejadiannya.  Atau misalnya bila dua tempat mempunyai curah hujan tahunan sama belum tentu memiliki iklim yang sama. Di suatu tempat yang sepanjang tahun mengalami hujan dengan nilai rata-rata bulanan 130 mm misalnya, akan berbeda dengan iklim tempat lain yang curah hujan bulanan rata-ratanya 260 mm selama 6 bulan dan bulan-bulan lainnya 0 mm (6 bulan basah dan 6 bulan kering). Hal di atas menunjukkan bahwa keadaan atau nilai rata-rata saja tidak cukup untuk mencirikan iklim suatu tempat.
Moga-moga dengan pernyataan saya di atas setidaknya dapat meluruskan pemahaman para guru dan peserta didik akan cuaca dan iklim. Bila masih sangsi dengan apa yang saya sampaikan di atas, silahkan memperbanyak membaca buku-buku terbitan luar negeri yang penerbitnya kredibel dan ditulis oleh orang yang benar-benar kompeten di bidangnya. Buku semacam ini bertebaran dan dapat didownload dengan mudah di internet.

Wednesday, June 4, 2014

Anda bisa menjawab pertanyaan ini?? Jika bisa menjawab dengan benar maka anda sudah agak lebih tahu tentang meteo dan klimatologi

 
  1.       Apakah fungsi atmosfer bumi? Berikan beberapa contohnya
  2.       Apakah  perbedaan antara cuaca dan iklim?
  3.       Apa sajakah unsur-unsur/ elemen-elemen cuaca dan iklim?
  4.       Berdasarkan pada profil temperaturnya, atmosfer dibagi ke dalam beberapa lapisan. Sebutkan lapisan-lapisan tersebut dan bagaimana karakteristik yang menonjol di lapisan tersebut?
  5.       Terdiri dari apa sajakah udara/ atmosfer itu?
  6.       Mengapa jumlah nitrogen dan oksigen begitu mendominasi komposisi atmosfer?
  7.       Faktor-faktor apa yang menyebabkan distribusi pemanasan radiasi matahari di bumi tidak merata? Jelaskan!
  8.       Apa bedanya fungsi awan pada siang hari dan malam hari?
  9.       Apa yang dimaksud dengan neraca radiasi?
  10.   Apa yang dimaksud dengan panas laten dan panas sensibel?
  11.   Sebutkan dan gambarkan 3 sel sirkulasi atmosfer yang berarah meridional!
  12.   Total air tawar yang ada di dunia ini hanya 2,5% sedangkan yang 97,5% berupa air asin. Menurut saudara, apa yang sebaiknya masyarakat lakukan agar jumlah yang demikian sedikit tersebut tidak makin berkurang mutunya? Jelaskan jawaban saudara!
  13.   Bagaimana distribusi global presipitasi di muka bumi? Kaitkan jawaban saudara dengan lokasi pusat tekanan rendah dan tinggi!
  14.   Sebutkan beberapa bencana alam meteorology! Bencana alam apa yang seringkali melanda Negara kita!
  15.  Apa sajakah jenis hujan yang terjadi di Indonesia? Bagaimana proses pertumbuhan terjadinya hujan?
  16.  Bagaimana proses pertumbuhan kristal es pada awan dingin? Disebut apakah proses tersebut?
  17.  Apa bedanya awan dan kabut? Apa kaitan antara kabut dan visibilitas?
  18.   Apakah yang dimaksud dengan sistem iklim? Sub system apakah yang menyusunnya?
  19.   Sebut dan jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi iklim suatu tempat!
  20.   Apa yang dimaksud klasifikasi iklim? Sebutkan beberapa sistem pengklasifikasian iklim yang saudara kenal!
  21.  Apa yang saudara ketahui tentang monsoon?
  22.  Apa yang saudara ketahui tentang ENSO?
  23.  Apa yang saudara ketahui tentang Dipole Mode?

Simak kondisi cuaca pada bulan Juni ini

Coba kita simak kondisi cuaca pada bulan Juni 2014 ini. Akankah suhu udara akan terasakan lebih dingin daripada biasanya khususnya di banyak tempat yang mempunyai pola curah hujan monsoonal?? Mengapa demikian?? Adakah di antara saudara-saudara punya jawabannya?? Ditunggu komentarnya di blog ini.

Thursday, February 20, 2014

Mengapa ketika gunung api meletus sering disertai kilat dan guntur??

Setelah gunung SInabung meletus beberapa waktu yang lalu, kini beberapa hari yang lalu gunung Kelud di Jawa Timur unjuk gigi juga. Tercatat debu yang disemburkan ke langit terbawa angin sampai ke daerah yang jauh dari pusatnya di Jawa TImur. Di Yogyakarta, di Surakarta, bahkan di Bandung pun dirasakan debu ini menyelimuti angkasa dan mengganggu pemandangan. Di beberapa bandara, operasional penerbangan tidak bisa dilaksakanan karena dikhawatirkan menggangngu mesin pesawat terbang. Informasi semacam ini bertebaran di berbagai media massa.
Yang menarik adalah bahwa pada saat gunung api meletus, terjadi kilat dan guntur yang silih berganti menerjang. Ini tidak lain karena material gunung api yang dikeluarkannya banyak mengandung ion-ion positif dan negatif yang dipancarkan ke angkasa. Kita tahu bahwa jika suatu material mengandung sejumlah ion positif dan negatif bertumbukan maka akan terjadi pemisahan muatan. Satu material akan mengalamai kelebihan elektron sedangkan material yang lain yang mengalami kelebihan proton. Terjadi pemisahanan muatan partikel bermuatan. Akibatnya terjadi sambaran baik di dalam awan panas hasil erupsi maupun antar awan panas serta antara awan panas dengan permukaan bumi. Itulah sebabnya tidak heran kalau dalam kondisi erupsi gunung api, kilat - petir - guruh dan guntur silih berganti menyambar-nyambar.Sampai kapan hal ini berlangsung??  Tentu tidak lain bila beda muatan antara partikel-partikel yang bermuatan tersebut makin mengecil.

Thursday, February 6, 2014

Mengapa jarang sekali hujan di sekitar Sinabung saat ini?

Gunung Sinabung di propinsi Sumatra Utara sudah 4 bulan batuk-batuk sehingga menyengsarakan lebih dari 30 ribu pengungsi. Tidak hanya masyarakat  di sekitar gunung tersebut dan pemerintah daerah di Sumatera Utara yang repot, pemerintah pusatpun dibuat repot. Akibat desakan publik dan  pasti juga karena kepedulian dari Presiden, maka SBY berkunjung ke sana meskipun banyak orang terutama yang ada di jejaring sosial mengatakannya sebagai pencitraan dan sudah terlambat. Lepas dari itu, yang menarik juga bagi saya adalah  fakta bahwa sedikit sekali terjadi hujan selama aktivitas gunung Sinabung batuk-batuk tersebut. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut.
Material yang dimuntahkan dari dalam perut bumi tersebut bisa berbentuk batuan, cairan, ataupun gas. Yang menarik adalah terjadinya awan panas yang mengepul ke langit. Awan panas ini kalau terkena kulit manusia bisa gosong dan bila terkena tumbuh-tumbuhan maka mereka akan kering kerontang dan pada tingkat tertentu bisa membakarnya. Sudah puluhan orang meninggal karena awan panas Sinabung ini. Awan panas ini mengandung butiran-butiran debu baik kecil maupun besar namun kelihatannya tidak higroskopis. Sifat higroskopis adalah sifat mudah menyerap air. Oleh karena itu karena banyaknya material debu yang tidak higroskopis menyebabkan peluang terjadinya hujan jauh mengecil. Panas yang ditimbulkannya menyebabkan pembentukan perawanan hujan jauh berkurang. Ini tidak lain karena banyak tetes-tetes awan dan hujan yang teruapkan kembali. Seiring dengan waktu, bilamana jumlah awan panas ini jauh berkurang (Sinabung dalam kondisi normal) maka peluang terjadinya hujan akan meningkat apalagi terdapat angin timur laut yang membawa uap air cukup banyak setelah melalui laut China Selatan. Semoga dengan datangnya hujan, kehidupan berangsur-angsur normal meskipun harus diwaspadai banjir lahar dingin yang mungkin muncul.

Wednesday, February 5, 2014

Apa kabar modifikasi cuaca??

Sejak dilaksanakan mulai pertengahan Januari 2014 kemarin, modifikasi cuaca untuk mengurangi peluang terjadinya  banjir di Jakarta kelihatannya belum menunjukkan hasil optimal. Terbukti bahwa sampai hari ini, banjir masih melanda Jakarta karena hujan lebat meskipun di Bogor dan sekitarnya langit cerah. Hal ini tidak aneh karena masih besarnya peluang terjadinya awan hujan di atas Jakarta. Kalau melihat perawanan yang berpeluang terjadi di Jakarta dan sekitarnya serta melihat pola streamline terlihat bahwa peluang curah hujan masih tinggi. Apakah dengan penambahan pesawat terbang untuk modifikasi cuaca akan mengatasi masalah?? Dalam arti, ia akan  memperkecil peluang terjadinya banjir di Jakarta? Jawabannya mungkin ya mungkin juga tidak. Ya, bila modifikasi cuaca itu dengan membalikkan peluang terjadinya hujan. Tetapi tidak bila modifikasi cuaca tersebut dengan tujuan menurunkan hujan (di tempat lain). Sebagian dari kita mungkin tahu bahwa dengan menyemai garam ke dalam awan, peluang terjadinya hujan makin besar dan mungkin dalam waktu yang lebih lama dibanding kondisi hujan secara alami. Tetes-tetes hujan semakin banyak terbentuk sehingga hujan jatuh ke permukaan makin mudah terjadi dan jumlahnya akan makin banyak. Dengan kondisi sekarang dimana jumlah uap air demikian banyak terdapat di atmosfer (karena memang masih musim penghujan) maka modifikasi cuaca dengan cara seperti yang dilakukan sekarang ini tidak akan optimal dalam menanggulangi banjir. Harus ditemukan cara untuk membuyarkan awan-awan, bukan malah menjatuhkannya sebagai hujan. Tetapi, tidak ada salahnya modifikasi cuaca dengan cara yang dilakukan selama ini dilaksanakan. Setidaknya sudah ada upaya dan kepedulian dari pemerintah dan kita semua dengan secara ilmiah. Masalah hasilnya, kita serahkan kepada Yang Maha Segalanya.

Friday, January 24, 2014

Gelombang dingin melanda Indonesia??

Beberapa hari terakhir, apakah anda merasa dingin yang tidak biasanya? Di banyak kota dilaporkan temperatur yang lebih rendah dari biasanya. Banyak pembicaraan di media sosial tentang kondisi ini. Bukan tidak mungkin fenomena gelombang dingin sedang melanda wilayah kita. Berbeda dengan gelombang dingin ekstrim yang melanda Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu sehingga sampai menyebabkan air terjun Niagara membeku, gelombang dingin yang melanda wilayah kita tergolong "biasa-biasa saja". Ada baiknya kita mengenal sedikit banyak tentang fenomena gelombang dingin tersebut.
Gelombang dingin (cold surge) merupakan suatu fenomena cuaca yang masih sangat sedikit diteliti oleh peneliti-peneliti di Indonesia. Gelombang dingin ini polanya mirip dengan terjadinya monsoon di Asia Tenggara. Dia berasal dari Asia Tengah yang menjalar ke arah timur dan tenggara yang bisa diperkuat oleh angin pasat timur laut bisa mencapai ekuator dan bahkan melampauinya sampai belahan bumi selatan. Dampak yang bisa ditimbulkan oleh gelombang dingin ini adalah penurunan temperatur, peningkatan kecepatan angin, dan peningkatan curah hujan. Di wilayah Indonesia, khususnya pulau Jawa ... gelombang dingin meningkatkan curah hujan yang kebanyakan di wilayah pesisir pantai.
Gelombang dingin (peneliti dan akademisi di Indonesia sering menyebutnya dengan seruak dingin walaupun istilah ini tidak jelas siapa yang memunculkannya ... mungkin ahli bahasa Indonesia) bisa dideteksi di Hongkong  dimana dalam satu hari bisa terjadi penurunan temperatur sampai 5oC dan peningkatan kecepatan angin sebesar lebih dari 10 knot. Sebenarnya dapat dengan mudah dideteksi penjalarannya bila kita mempunyai data tentang angin, temperatur, serta tekanan. Biasanya bila gelombang dingin ini tidak sampai menjalar ke belahan bumi selatan maka akan terjadi vortex di  laut China Selatan.
Yang belum pula mendapatkan perhatian dari para peneliti cuaca dan iklim di Indonesia adalah fenomena gelombang panas yang berasal dari benua Australia meskipun sebenarnya para peneliti Australia sudah cukup banyak membahasnya pada era akhir tahun 1980 an dan awal 1990 an. Mungkin karena dianggap pengaruhnya tidak sebesar monsoon maka penelitian gelombang panas ini tidak mendapatkan perhatian yang cukup besar.

Saturday, January 18, 2014

Pembentukan es dalam awan dingin

Proses tumbukan dan gabungan merupakan proses yang sangat penting untuk menghasilkan presipitasi dalam awan panas yang tidak mengandung es. Hanya awan yang relatif dangkal (ketebalannya kecil) yang tidak mengembang tinggi ke dalam troposfer yang tidak memiliki apa-apa selain tetes air; contohnya awan stratus (St). Awan-awan besar mengembang ke atas di wilayah troposfer dimana temperaturnya di bawah level beku. Awan dingin ini mengandung es dan tetes air superdingin.
Saat temperatur mendingin di bawah level beku 0 oC, tetes air besar cenderung membeku lebih dulu mendahului tetes yang lebih kecil. Saat tetes air memerlukan temperatur yang lebih rendah untuk membeku, jumlah tetes air superdingin dalam awan dingin akan berkurang terhadap ketinggian. Pengintian es spontan hanya terjadi pada temperatur yang sangat rendah. Kalau dalam awan panas pembentukan tetes disebabkan aksi inti kondensasi maka pada awan dingin pembentukan tetes diakibatkan oleh aksi inti es. Inti es bisa berasal dari aerosol ataupaun pecahan kristal es. Sedikitnya inti es mencegah permulaan pembentukan es di awan terjadi cepat.
Ketika tetes air cair superdingin dan partikel es berada dalam parsel udara yang sama maka tetes air akan mencoba untuk menjaga tekanan uap lebih tinggi daripada pada partikel es. Pengendapan ini sama cepatnya dengan penguapan tetes air. Hasilnya adalah bahwa kristal es tumbuh sedangkan tetes air akan mengecil. Proses yang digambarkan tersebut dikenal dengan proses Wegener-Bergeron-Findeisen atau sering disebut proses Bergeron. Proses ini merupakan mekanisme dominan pembentuk presipitasi (salju, hail dsb).

Bagaimana hujan terbentuk?

Kalian tahu khan "hujan"? Tapi tidak semua orang tahu, bagaimana hujan bisa terbentuk. Seperti saat ini dimana hujan sudah banyak terjadi di wilayah kita. Dengan kata lain, musim hujan telah terjadi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hujan, ada baiknya kita mengenal dulu ukuran tetes awan dan hujan. Tetes awan berukuran 0,02 mm sedangkan tetes hujan berukuran 2 mm. Tetes kabut dan awan terbentuk dari agregasi uap air melalui proses kondensasi pada inti kondensasi yang bersifat higroskopis (menyerap uap air di sekelilingnya). Pada kelembapan relatif 75-80% kebanyakan inti kondensasi mulai tumbuh. Saat kelembapan relatif mendekati 100%, inti kondensasi yang lain menjadi teraktivasi. Awalnya tetes kecil tumbuh dengan cepat dalam suatu parsel udara yang mendingin tetapi saat menjadi besar, laju pertumbuhannya turun dengan cepat. Akibatnya proses pertumbuhan kondensasi ini menjadi demikian lambat untuk menghasilkan tetes air berukuran tetes hujan (bisa butuh waktu sampai berhari-hari).  
( http://www.wanitamakassar.com)
Dalam awan panas, tetes hujan dapat tumbuh melalui proses tumbukan dan gabungan. Dalam proses ini tetes besar yang jatuh akan bertambah besar akibat tumbukan dengan tetes-tetes kecil dalam lintasan jatuhnya. Mekanisme ini bekerja karena tetes besar jatuh lebih cepat daripada tetes kecil. Ada 2 gaya yang bekerja pada obyek yang jatuh yakni gaya gravitasi yang mempercepat obyek menuju ke permukaan bumi dan gaya gesekan yang memperlambat proses jatuh tersebut. Ketika kedua gaya ini seimbang maka obyek akan jatuh pada laju yang tunak dan konstan yang disebut kecepatan terminal. Kecepatan terminal tetes yang besar lebih besar daripada tetes yang kecil.
Mekanisme tumbukan dan gabungan seperti disebut di atas lebih lanjut bisa dijelaskan sebagai berikut. Updraft dalam awan cenderung menahan tetes jatuh untuk naik. Tetes dengan kecepatan terminal kurang dari kecepatan updraft akan diangkat ke level yang lebih tinggi di dalam awan. Tetes akan jatuh dari awan bila kecepatan terminalnya melebihi kecepatan updraft. Proses pertumbuhan tetes oleh proses tumbukan dan gabungan akan meningkat karena lebarnya spektrum ukuran tetes sehingga jangkauan kecepatan terminal tetes lebar.  Selain itu juga karena konsentrasi tetes yang tinggi, updraft dalam awan yang kuat sehingga waktu tumbukan menjadi lebih lama, serta perbedaan muatan listrik pada tetes yang menghasilkan peluang tumbukan dengan tetes lain. Kalau tetes-tetes awan tersebut berkembang menjadi tetes-tetes hujan melalui proses di atas maka terbentuklah hujan.

Thursday, January 16, 2014

Proses fisis pembentukan hujan dan "kesalahan pemikiran" tentang modifikasi cuaca

Indonesia telah memasuki musim hujan. Setiap hari selain berita politik ditampilkan berita-berita seputar hujan dan banjir di banyak tempat. Sampai tadi malam, diberitakan dari wilayah Timur Indonesia terjadinya banjir di Manado, Sulawesi utara yang digambarkan oleh kepala BNPB daerah sebagai mirip tsunami. Sesuatu yang wajar mengingat interaksi monsoon, La Nina dan perairan sekitar Sulawesi yang hangat sehingga memicu timbulnya hujan lebat di wilayah tersebut.
Banjir di Jakarta juga lebih dulu diberitakan dan upaya-upaya untuk mengatasinya gencar diekspos di media massa. Dalam media online juga ramai  dibicarakan masalah ini; ada yang pro dan kontra serta banyak yang pesimis dan mencibir upaya pemerintah daerah DKI Jakarta dalam mengatasi banjir. Sejak kemarin BNPB pusat dan pemerintah daerah DKI telah meminta BPPT UPT Hujan Buatan untuk turut serta mengatasi banjir di Jakarta dengan melakukan modifikasi cuaca.
Menyimak apa yang dikemukakan oleh saudara Heru Widodo kepala UPT Hujan Buatan alam wawancaranya dengan Kompas TV, ada hal yang perlu saya komentari. Pertama adalah adanya anggapan bahwa dengan melaksanakan hujan buatan maka curah hujan di Jakarta akan berkurang dan seolah-olah tidak menimbulkan bencana di wilayah lain. Ini tentu harus dikoreksi. Prinsip hujan buatan adalah mempercepat proses tumbukan dan tangkapan tetes air yang ada di atmosfer dengan memberikan tambahan inti kondensasi di awan. Benar bahwa hujan akan lebih cepat jatuh di suatu tempat namun yang menjadi masalah adalah jika hujan tersebut jatuh di wilayah daratan yang lain bisa menimbulkan masalah misal banjir dan tanah longsor di wilayah lain. Dengan kata lain jangan sampai masalah banjir di Jakarta coba diselesaikan dengan menimbulkan masalah lain di tempat lain. Apakah ini sudah dipikirkan? Kita harus berhitung dengan cermat agar awan-awan yang disemai menghasilkan hujan di wilayah-wilayah yang diperkirakan tidak akan menimbulkan masalah baru, oleh karena itu tidak boleh hanya menyebar asal-asalan yang penting terjadi hujan.  Yang kedua adalah perlu dikembangkan teknik dan metode baru untuk melerai atau menceraiberaikan awan hujan. Pada prinsipnya ini hanya masalah bagaimana agar tetes-tetes awan dan hujan menghilang sehingga seperti membalikkan proses pembentukan hujan buatan.
Untuk kalangan awam yang tidak pernah belajar tentang meteorologi, perlu saya berikan sekilas gambaran bagaimana terbentuknya hujan. Awan terdiri dari tetes-tetes awan yang berukuran sangat kecil (dalam ukuran mikron) yang mengapung di atmosfer. Tetes-tetes ini berasal dari inti kondensasi yang menyerap uap air di sekitarnya. Akibat gaya angkat dan gaya gravitasi  yang mungkin berbeda maka tetes-tetes awan yang berukuran beraneka ragam akan jatuh dan menumbuk tetes awan lain sehingga tetes awan tersebut akan bergabung membentuk tetes hujan. Agar terbentuk tetes hujan diperlukan ratusan ribu bahkan jutaan tetes awan. Tetes hujan tersebut akan jatuh jika gaya gravitasinya lebih besar daripada gaya angkat yang ditimbulkan oleh updraft. Penyebaran atau penyemaian inti kondensasi yang bersifat higroskopis ke dalam awan memperbesar peluang terjadinya tetes hujan. Karena perawanan di Indonesia kebanyakan merupakan awan-awan panas dan campuran, maka penyemaian inti kondensasi menggunakan garam dapur. Material yang berbeda digunakan untuk jenis awan dingin yang banyak terjadi di lintang tengah dan tinggi.


Tuesday, January 14, 2014

Efektifkah modifikasi cuaca untuk mengatasi banjir di Jakarta??

Dalam beberapa waktu ke depan, pemerintah daerah DKI Jakarta bekerjasama dengan BPPT akan melaksanakan rekayasa/ modifikasi cuaca dalam hal ini menjatuhkan hujan di tempat lain di luar Jakarta. Hal ini dimaksudkan agar hujan yang diperkirakan akan jatuh di Jakarta dapat dijatuhkan di luar Jakarta. Seperti telah kita ketahui bersama dalam beberapa hari terakhir, banjir telah melanda sebagian besar Jakarta. Tanggal 1 Januari 2014 yang lalu, saya telah posting peluang terjadinya banjir di banyak tempat di Indonesia berdasarkan prediksi curah hujan kuartal pertama tahun 2014. Saya memperkirakan curah hujan akan mencapai puncaknya awal dan pertengahan Pebruari yang kemudian akan menurun untuk wilayah-wilayah yang bertipe curah hujan monsoon seperti Jakarta. Jadi bisa kita bayangkan jika pada saat sekarang ini saja sebagian Jakarta telah terendam air, bagaimana nantinya bila curah hujan telah mencapai maksimum.
Kembali pada upaya modifikasi cuaca di atas. Meskipun saya tidak yakin akan keberhasilannya dalam mengatasi banjir di Jakarta, ada baiknya untuk kita coba lakukan. Pada saat ini angin yang bertiup adalah dari barat daya sampai  barat laut yang membawa banyak uap air yang berpotensi menjadi awan hujan seperti kumulonimbus (Cb), kumulus (Cu) dan Nimbostratus (Ns). Bila awan-awan hujan ini dijatuhkan di selat Sunda misalnya, maka kemungkinan untuk terjadinya hujan di Jakarta akan berkurang tetapi tidak meniadakan sama sekali hujan. Biaya 28 milyar rupiah relatif tidak besar jika dibanding dengan manfaat yang kemungkinan bisa diperoleh. Meskipun demikian patut menjadi pertimbangan juga bahwa banjir yang selama ini menimpa Jakarta tidak hanya disebabkan semata-mata karena hujan tetapi juga karena perilaku masyarakat Jakarta dan sekitarnya yang kurang terpuji. Misalnya seperti membuang sampah sembarangan/ ke sungai/ saluran drainase, merusak lingkungan di bagian hulu/ merambah waduk/ tempat penampungan air, membangun perumbahan di sepanjang bantaran sungai sehingga mengganggu aliran sungai, mengurangi peresapan/ infiltrasi air ke dalam tanah sehingga memperbesar run off, dan yang tidak kalah pentingnya adalah karena tinggi topografi Jakarta yang relatif rendah. Faktor topografi yang rendah dan kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim diperkirakan akan menenggelamkan kurang lebih 24,2% wilayah Jakarta pada tahun 2050 (Safwan Hadi dkk). Nah lho, ibukota negara masih tidak akan dipindahkan???