Saturday, January 21, 2017

Monsoon di Afrika

Membicarakan tentang monsoon tidak hanya membicarakan wilayah Asia Tenggara dan Australia bagian utara saja ini karena monsoon banyak terjadi di wilayah tropis. Monsoon merupakan pembalikan arah angin musiman yang terjadi karena perbedaan pemanasan antara daratan dan lautan. Kriteria Ramage (1971) masih digunakan sampai dengan saat ini untuk mengkatagorikan suatu kawasan sebagai wilayah monsoon. Kriteria tersebut menyatakan bahwa wilayah monsoon adalah wilayah dimana angin berbalik arah secara musiman lebih dari 120 derajat antara musim panas dan musim dingin, persistensi angin lebih dari 40%, kecepatan anginnya rata-rata lebih dari 3 m/s, dan distribusi tekanannya renggang. Terdapat 5 wilayah monsoon yakni monsoon Afrika (Barat dan Timur), Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara dan Australia, dan Amerika ekuator. Salah satu daerah yakni monsoon Afrika menarik untuk ditinjau karena mempunyai karakteristik yang unik. Monsoon Afrika barat terjadi saat BBU sedang mengalami musim panas yang terjadi pada bulan Juni sampai September sedangkan monsoon Afrika timur terjadi ketika BBU sedang mengalami musim semi dan musim gugur atau pada bulan-bulan MAM dan OND. Monsoon Afrika barat terjadi karena adanya pergerakan massa udara dari arah barat daya Samudra Atlantik yang banyak membawa uap air dan adanya pergerakan ITCZ (intertropical convergence zone) di bagian utara katulistiwa. Monsoon ini membawa pengaruh kekeringan khususnya di sebelah utara ITCZ. Perhatikan gambar di bawah ini. Tampak bahwa pertemuan massa udara basah dari barat daya dan massa udara sangat panas dan kering yang terjadi di ITCZ lebih banyak terdapat di BBU. Wilayah antara 0 dan 20 derajat khususnya di bagian barat dan barat daya Afrika mengalami hujan yang bervariasi antara 0 cm sampai lebih dari 80 cm dalam kurun waktu Juni sampai September. Sementara itu untuk monsoon di Afrika timur berkaitan juga dengan pergerakan ITCZ di selatan ekuator dimana membawa curah hujan dengan volume yang besar karena transport kelembapan dari Samudra Hindia dan Atlantik. Curah hujan terbesar terbentuk pada lintang 10 sampai 20 derajat lintang selatan.
Sumber: http://www.clivar.org/sites/default/files/Africa-Rainfall-Wind-Patterns.jpg
Setiap lokasi terjadinya hujan baik saat monsoon barat maupun timur merupakan lokasi dimana tekanan rendah yang bersifat semi permanen terbentuk. Hal ini karena garis ITCZ yang berubah-ubah akibat pergerakan semu matahari. Garis ITCZ menggambarkan pertemuan antara angin utama dari utara dan selatan yang menyebabkan banyaknya uap air yang naik dan curah hujan yang lebat. Mengingat kondisi yang demikian maka mayoritas penduduk di Afrika berprofesi sebagai petani. Penentuan musim tanam dan panen sangat bergantung pada curah hujan yang dibentuk oleh sistem monsoon ini. Dari kedua monsoon ini, efek yang paling berpengaruh pada bidang pertanian adalah monsoon barat. Pertanian di Afrika umumnya dilakukan di sekitar daerah aliran sungai Nil.

Wednesday, January 4, 2017

Negeri tanggap bencana

Dua belas tahun yang lalu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, terjadi bencana alam tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya dan menelan korban jiwa ratusan ribu orang. Bencana yang diawali gempa besar di lepas pantai Aceh tersebut dirasakan dampaknya pada Negara-negara yang berada di seputar samudra Hindia. Suatu bencana yang sampai sekarang masih menyisakan trauma bagi sebagian masyarakat Aceh yang mengalaminya. Bahkan siaran langsung yang terus menerus di televisi nasional bukan tidak mungkin menyebabkan pula trauma bagi masyarakat Indonesia lainnya yang terpapar oleh berita tersebut.
Indonesia merupakan Negara yang dilalui oleh sirkum mediterania yang membentang di Sumatera (Bukit Barisan), Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Selain itu dilalui pula oleh sirkum Pasifik yang melalui Sulawesi dan Papua.  Sirkum Mediterania dan Pasifik ini berupa barisan pegunungan akibat pertemuan lempeng benua dan samudra di bawahnya. Seperti diketahui bahwa tumbukan antar lempeng tersebut akan menyebabkan kemunculan gunung di atasnya. Oleh karena itu wajar bila Indonesia merupakan wilayah “ring of fire” karena banyaknya gunung api yang terbentuk sepanjang pertemuan lempeng tersebut.
Tsunami yang selama ini terjadi biasanya muncul akibat gempa yang terjadi di laut dengan kedalaman kurang dari 10 km, merupakan akibat dari sesar naik atau turun, dan gempa yang ditimbulkannya mempunyai amplitude lebih dari 5 skala Richter. Ketentuan-ketentuan itulah yang selama ini dipakai oleh BMKG dalam memberikan warning adanya tsunami atau bukan kepada masyarakat.
Tidak kalah dahsyatnya adalah pengaruh dari atmosfer di atasnya. Atmosfer di Indonesia mempunyai perilaku yang unik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Atmosfer kita mendapatkan tiga pengaruh sirkulasi, yakni yang berarah meridional (Utara-Selatan) yang disebut sel Hadley, sirkulasi yang berarah zonal (Barat-Timur) yang disebut sel Walker dan sirkulasi yang sifatnya lokal. Dalam arah meridional ini kita juga mengenal monsoon, monsun atau muson. Monsun ini mempunyai pengaruh kuat pada curah hujan di Indonesia khususnya pada wilayah-wilayah selatan ekuator/khatulistiwa dan sedikit wilayah di Utara ekuator.  Kita mengenal monsun Asia yang banyak menyebabkan musim hujan di banyak wilayah di tanah air dan monsun Australia yang membawa pengaruh musim kemarau. Pola hujan selain monsun adalah pola lokal dan ekuatorial. Pola lokal kebalikan dari pola monsun dimana biasanya pada bulan-bulan Juni-Juli-Agustus justru curah hujannya tinggi. Pola lokal bisa juga dicirikan oleh curah hujan sepanjang tahun, hampir dikatakan tidak ada bulan kering. Pola ekuatorial biasanya terdapat pada wilayah-wilayah yang terletak di sekitar ekuator. Pola ini mempunyai ciri khas dua kali puncak musim hujan, yakni sekitar Maret-April-Mei dan September-Oktober-November.  Jawa Barat mempunyai pola curah hujan monsun, dengan demikian maka biasanya pada bulan-bulan Oktober sampai Maret merupakan musim hujan sedangkan pada bulan April sampai September merupakan musim kemarau. Puncak kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus.
Pola monsun yang telah disebut di atas biasanya tidak berpengaruh sendirian. Ada pengaruh lain yang berskala besar yang turut berperan yakni kejadian di perairan Indonesia dan sekitarnya. Di perairan Pasifik ekuator ada fenomena yang dinamakan El Nino dan La Nina, sedangkan di perairan Samudra Hindia ekuator ada fenomena yang disebut Dipole Mode. Fenomena-fenomena tersebut saat ini juga sedang berlangsung yakni La Nina (yang diperkirakan akan berlangsung sampai dengan Pebruari 2017) dan Dipole Mode negatif. Perairan Indonesia yang juga menghangat juga menyumbang pada besarnya curah hujan di tanah air. Oleh karena itu tidak heran bahwa akibat meningkatnya curah hujan di tanah air menyebabkan banjir dan longsor terjadi dimana-mana. Kewaspadaan yang tinggi harus terus diupayakan agar dampaknya tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Tanggal 24 Oktober 2016 yang baru lalu, banjir besar melanda Bandung dimana biasanya wilayah seperti jalan Pasteur dan Pagarsih tidak dilanda banjir semacam itu. Curah hujan di stasiun pengamat cuaca di Program studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung menunjukkan angka 71 mm/jam. Intensitas hujan sebesar itu masuk pada kategori sangat sangat deras. Ketika tanggul di Citepus bobol, maka hujan yang sudah demikian deras ditambah dengan aliran air dari atas yang tidak mampu ditampung oleh saluran drainase menyebabkan banjir di wilayah-wilayah yang lebih rendah. Banjir tersebut dalam beberapa waktu kemudian berulang meskipun tidak sebesar yang pertama.
Banjir bandang di Garut beberapa bulan yang lalu juga menghancurkan beberapa kawasan dan menyebabkan hilangnya sebanyak 19 orang. Peristiwa ini juga dipicu oleh hujan deras yang menimpa bukit-bukit yang sudah gundul/tidak ada tanaman penguatnya sehingga timbullah banjir bandang.  Longsor yang menutupi jalan raya beberapa waktu yang lalu juga terjadi, misal di antara jalan Tanjungsari menuju  Sumedang atau di Bandung barat.
Bencanahidrometeorologis yang lain adalah puting beliung. Puting beliung yang umumnya disebabkan oleh perbedaan tekanan di beberapa ketinggian dari massa udara hangat dan dingin yang berlawanan arah menyebabkan pusaran. Pusaran inilah yang bila terangkat akibat sedotan oleh awan kumulonimbus menyebabkan timbulnya puting beliung. Di banyak tempat di Jawa Barat hal ini terjadi, dimana beberapa kali juga menimpa wilayah Bandung baik kabupaten maupun kotamadya. Pada skala yang lebih besar ada fenomena yang disebut tornado dan siklon. Siklon yang beberapa waktu ini juga sering terjadi di wilayah sekitar Indonesia sering membawa dampak pada buruknya cuaca. Hujan deras, petir, atau gelombang besar di pantai biasanya akibat imbas dari kehadiran siklon di Australia atau di wilayah Philippina. Siklon di Australia banyak membawa dampak buruk pada wilayah-wilayah Indonesia bagian selatan seperti Jawa sampai Nusa Tenggara bagian selatan. Siklon atau topan di Philippina biasanya membawa dampak buruk pada cuaca dan gelombang di Sulawesi bagian Utara.

Mengingat bahwa hal-hal di atas tersebut akan terus menerus berlangsung maka sudah sewajarnya bila masyarakat harus makin dicerdaskan. Hal-hal yang sifatnya takhayul yang seringkali berhembus ketika suatu peristiwa bencana alam terjadi harus makin dikikis. Gempa besar, ombak tinggi, tsunami yang terjadi di pantai Selatan kadangkala dikaitkan dengan kemarahan sang Ratu laut Selatan. Pemahaman demikian ini harus dihapus agar masyarakat makin rasional dalam menghadapi sesuatu. Jangan pula bencana di Pidie Jaya Aceh juga diakibatkan oleh ikan lele raksasa yang menyangga bumi bergerak, seperti sebagian masyarakat tradisional Jepang yakini. Gerhana bulan atau matahari kadangkala juga diyakini oleh masyarakat tradisional kita sebagai raksasa yang sedang menelan bulan atau matahari sehingga perlu dibunyikan kentongan bertalu-talu agar raksasa tidak memakannya/menghalau raksasa (buta hejo). Masyarakat harus dididik secara rasional tanpa menghilangkan local wisdom dalam memandang peristiwa alam dan bencana. Tugas pemerintah melalui instansi atau badan seperti BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), BIG (Badan Informasi Geospasial) dan kementrian terkait lainnya termasuk perguruan tinggi. Kegiatan mitigasi dan adaptasi harus diupayakan disosialisasikan kepada semua lapisan masyarakat mulai pada usia dini. Di Jepang misalnya, seseorang yang mengalami gempa bumi sudah diajarkan sejak kecil untuk berlindung di bawah meja atau lari keluar mencari tempat yang bebas dari bangunan sekitarnya. Di Negara kita hal ini belum sampai mencapai taraf semacam itu. Pendidikan kebencanaan sudah seharusnya didorong oleh pemerintah untuk didirikan minimal di wilayah-wilayah/propinsi-propinsi yang mempunyai potensi bencana alam baik darat, laut maupun udara. Jika ini terjadi maka masyarakat akan makin tanggap bencana dan bisa hidup harmoni dengan alam. Semoga!

Dimuat dalam harian Pikiran Rakyat edisi 4 Januari 2017.