Friday, April 30, 2010

Kita harapkan peringatan hari buruh internasional tidak rusuh!

Besok adalah hari buruh internasional atau May Day. Belum ada tanda-tanda akan ada gerakan untuk mengumpulkan massa dalam jumlah besar yang tersiarkan di media massa hari ini. Tapi bukan tidak mungkin besok (1 Mei 2010), massa dalam jumlah besar menghiasi jalan-jalan protokol ibukota Jakarta dan bergerak menuju gedung istana negara. Kita harapkan saja para buruh dapat menyampaikan aspirasinya tanpa ada kerusuhan dan tindak perusakan. Kasus-kasus yang terjadi sehari-hari yang sudah menjadi laten diharapkan dapat diungkapkan dan diterima dengan lapang dada oleh pemerintah dan para pengusaha untuk makin memikirkan tindakan-tindakan yang makin mensejahterakan kaum buruh dan rakyat pada umumnya. Para pekerja makin dilindungi hak-haknya, tidak hanya dituntut terus kewajibannya. Keduanya harus balance. Para buruhpun makin tahu diri dan tidak memaksakan kehendaknya. Komunikasi tripartit antara buruh (organisasi buruh), pengusaha dan pemerintah hendaknya makin diintensifkan untuk mencari solusi yang terbaik bagi perkembangan perekonomian bangsa Indonesia. Kejadian-kejadian seperti di Batam beberapa hari yang lalu sebenarnya bisa dicegah seandainya semua pihak saling menghormati perannya masing-masing serta pihak pengusaha tidak merendahkan derajat kaum buruh/ pekerja. Perimbangan gaji pegawai antara buruh bumiputera dengan pekerja asing hendaknya makin mendapat perhatian agar semua pihak merasakan bahwa kita hidup di negeri sendiri dengan aturan yang menguntungkan bangsa sendiri, bukannya justru terlalu menyanjung-nyanjung buruh asing dan merendahkan buruh bumiputera. Sudah sepatutnya Kementrian Tenaga Kerja melindungi buruh migran karena mereka pula yang turut berjasa menyumbang pada devisa negara dan mensejahterakan saudara-saudaranya di kampung. Selama pemerintah belum mampu menyediakan lapangan kerja yang layak, kran suplai buruh migran yang tidak terdidik selayaknya tetap dibuka meski harus sangat selektif agar tidak timbul masalah di negara tujuan. Sering yang menjadi masalah adalah komunikasi yang bisa berujung pada peristiwa penganiayaan bahkan pembunuhan.

Semoga harapan mereka dan juga kita agar terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia mendapatkan perhatian yang layak dari pemangku kekuasaan dan wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Daerah/Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sehingga jangan sampai aspirasi tidak sampai dan hanya sebagai komoditas politik saja oleh para wakil rakyat. Apalagi kalau sampai buruh hanya diwakili kesejahteraannya oleh wakil rakyat, sementara nasib buruh tidak diperhatikan ... ini benar-benar memalukan dan tak berperikemanusiaan.

Dahsyatnya puting beliung

Tak ada yang mengetahui dengan pasti siapa yang pertamakali menggunakan kata ini untuk menyatakan fenomena yang menyerupai tornado di lintang tengah ini. Masyarakat Jawa sering menyebut fenomena ini sebagai angin lesus atau cleret taun. Kata puting beliung ini begitu populer beberapa tahun belakangan ini akibat banyaknya kejadian yang menimpa masyarakat kita berkaitan dengan angin yang berputar yang menyentuh tanah dengan kecepatan (bila diskalakan dengan skala Beaufort) masuk pada skala 8 atau dengan kecepatan lebih dari 34 knot (17 meter per detik). Kerusakan yang ditimbulkannya mulai dari ranting-ranting pohon patah, genting atau atap rumah diterbangkan sampai dengan pohon-pohon tercerabut dari tanah/ tumbang atau bahkan rumah yang kurang permanen roboh. Kalau dibandingkan dengan skala Fujita yang dapat digunakan untuk mengetahui kekuatan tornado dari kecepatan angin dan kerusakan yang ditimbulkannya maka puting beliung kira-kira masuk pada skala 1-2.

Puting beliung terbentuk bila dua massa udara dengan ketinggian berbeda dan sifat yang berbeda serta berlawanan arah bertemu. Udara di lapisan bawah yang mempunyai sifat hangat dengan kecepatan lebih rendah dibandingkan dengan udara di beberapa ketinggian di atasnya yang lebih dingin  yang  kecepatan anginnya lebih besar bersimpangan sehingga akan terbentuk gerak rotasi yang menyerupai pipa vorteks. Updraft akibat pemanasan permukaan yang kuat dalam awan badai guruh (thunderstorm) yang biasanya merupakan awan-awan jenis kumulonimbus akan mengubah orientasi gerak rotasi pipa vorteks tersebut dari horizontal menjadi vertikal. Jika pipa vorteks ini menyentuh tanah maka terbentuklah apa yang masyarakat sebut sebagai puting beliung, suatu bentuk yang menyerupai belalai gajah.

Puting beliung ini kadang tak dapat terlihat pada citra satelit karena skalanya yang sangat kecil, hanya sampai puluhan meter saja, berbeda dengan tornado yang skala horizontalnya bisa ratusan meter. Bahkan tornado yang kuat dapat menyebabkan rumah yang  kokoh terangkat dari pondasinya dan terlempar pada jarak yang cukup jauh atau juga mobil yang bisa terlempar hingga belasan kilometer. Ini berarti kecepatan anginnya bisa mencapai 500 km per jam. Anda bisa bayangkan sendiri bagaimana dahsyatnya tornado ini.

Beruntunglah di negara kita, peristiwa yang mirip dengan tornado (yakni puting beliung) tidak mempunyai kekuatan sedahsyat ini. Ini dikarenakan massa udara yang bersimpangan arah pada ketinggian yang berbeda tersebut tidak mempunyai sifat yang terlalu jauh berbeda dan  perbedaan tekanan udara tidak terlalu besar seperti di lintang tengah akibat kontras temperatur yang tidak besar. Gaya Coriolis tidak banyak pengaruhnya karena kita di lintang rendah dan skala horizontal fenomena ini sangat kecil (jauh di bawah 1 derajat lintang).

Menurut Amanda Katili (2010), bencana alam puting beliung di Indonesia mencapai 33% bencana alam tahun 2008. Sayangnya di Indonesia belum terdata dengan rapi fenomena-fenomena semacam ini. BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) juga belum mempunyai metode yang akurat dan paten untuk memprakirakan kejadian puting beliung ini. Ke depan diharapkan dengan makin meningkatnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, peralatan observasi yang mendukung maka akan tercipta metode-metode yang lebih akurat dalam memprakirakan puting beliung ini.

Friday, April 23, 2010

Massa udara dan cuaca

Massa udara yang dimaksud di atas bukanlah massa yang berkaitan dengan bobot misal gram, kilogram, ton dsb tapi "massa" yang berarti "kumpulan atau badan (body)". Jika udara menetap pada waktu yang cukup lama di atas suatu permukaan bumi, sifatnya cenderung menjadi ciri khas untuk permukaan itu. Jika sifat permukaan tersebut kurang lebih sama untuk daerah yang sangat luas (ribuan kilometer persegi) maka sifat suatu badan udara yang besar akan menjadi hampir sama/ seragam dalam bidang horizontal. Badan udara dengan sifat (khususnya dicirikan oleh temperatur dan kelembapan) yang hampir seragam dalam jarak horizontal ribuan kilometer disebut sebagai massa udara.

Dengan demikian, agar terbentuk suatu massa udara maka udara harus diam atau bergerak untuk waktu yang lama dan terdapat di atas daerah yang luas yang memiliki sifat seragam. Sifat dan tingkat keseragaman tersebut bergantung pada sumber massa udara, riwayat (modifikasi) massa udara dan waktu hidup massa udara. Pembentukan massa udara yang seragam dapat diperoleh melalui proses percampuran dan radiatif yang memerlukan waktu selama 3-7 hari.

Massa udara juga bisa mengalamai perubahan baik akibat proses termodinamik maupun proses dinamik. Proses termodinamik seperti misalnya pemanasan/ pendinginan permukaan dan penambahan/ hilangnya kelembapan. Sedangkan proses dinamik misalnya adalah percampuran turbulen dan pengangkatan/ penurunan skala besar.

Massa udarapun juga bisa diklasifikasikan didasarkan pada daerah sumber dan jenis permukaannya. Terdapat 4 klasifikasi dasar dari massa udara, yakni continental (c) yang secara tipikal kelembapannya rendah, maritime (m) yang kandungan uap airnya tinggi, polar (P)yang sifatnya dingin dan tropikal (T) yang sifatnya hangat. Dari keempat tipe dan sifat permukaan di atas, terdapat 4 kombinasi yakni continental polar (cP), continental tropic (cT), maritime polar (mP), dan maritime tropic (mT). Ada lagi tambahan jenis massa udara yakni Arctic (A) yang sifatnya sangat dingin dan sering tidak bisa dibedaan dengan massa udara polar (kutub) di dekat permukaan. Massa udara ini berasal lebih banyak dari atas tutupan es kutub daripada massa daratan lintang tinggi. Oleh karena itu terdapat 2 lagi tambahan massa udara yakni continental arctic (cA) dan maritime arctic (mA). Beberapa skema klasifikasi menambahkan indikasi pada udara tersebut yakni warmer (w) dan cooler (k) setelah nama massa udaranya, seperti misalnya cPk (continental polar cooler) dan mPw (maritime polar warmer). Sifat-sifat masing-masing massa udara ini sesuai dengan namanya. Oleh karena itu untuk mengetahui sifat-sifat masing-masing massa udara dengan lebih detail dipersilahkan para pembaca mencari referensi untuk itu.

Massa udara arctic terasakan sampai ketinggian 650 mb, cP dan mP terasakan sampai beberapa milibar di atas ketinggian A. Massa udara mT terasakan sampai ketinggian hampir 500 mb sedangkan cT kurang lebih terasakan sampai ketinggian 700 mb. Di antara semua massa udara tersebut, massa udara A mempunyai kadar kebasahan yang paling rendah dan mT adalah yang paling tinggi kadar kelembapannya.

Seperti telah disebut di atas, massa udara bisa mengalami perubahan sifat. Ini terjadi ketika ia meninggalkan sumbernya karena berinteraksi degan permukaan yang dilalui yang mengubah kestabilan dan berinteraksi dengan massa udara lainnya. Ketika bergerak menuju ekuator, massa udara A akan mendapatkan pemanasan dari bawah (suplai uap air dari permukaan yang hangat dan basah) sehingga menjadi tidak stabil sehingga bisa timbul awan besar. Jika ia bergabung dengan aliran mensiklon maka udara menjadi makin tidak stabil dan perawanan yang menghasilkan hujan curah (shower) makin bertambah. Namun yang sering terjadi adalah bahwa massa udara ini bergabung dengan aliran mengantisiklon sehingga pertumbuhan vertikal awan terbatasi walaupun dia mendapat suplai pemanasan dari bawah.

Sebaliknya massa udara mT yang bergerak menuju kutub di musim dingin cenderung makin stabil sehingga yang terbentuk hanya awan-awan jenis stratus. Sedangkan di musim panas, di atas daratan di lintang rendah, massa udara ini menjadi makin tidak stabil sehingga terbentuk awan-awan kumulus (Cu), hujan curah dan badai guntur.

Cuaca dalam suatu daerah bergantung pada berbagai sifat massa udara yang melaluinya terutama kestabilan dan kandungan uap airnya. Umumnya massa udara maritim memiliki perawanan dan hujan curah yang lebih besar, sedangkan massa udara continental cenderung membawa sifat cerah pada daerah yang dilaluinya.

Meskipun pada sebagian besar waktu, cuaca pada suatu tempat ditentukan oleh sifat massa udara yang berkuasa atau menyelimuti wilayah tersebut, namun cuaca sangat buruk sering berhubungan dengan interaksi dari dua massa udara yang bertemu (front) khususnya di batas pertemuan kedua massa udara tersebut. Indonesia tidak dilalui oleh front ini.

OK segini dulu ya. Nantikan cerita selanjutnya  ...

Monday, April 19, 2010

Kalau gunung api Islandia bikin ulah

Inilah dampaknya jika suatu gunung api sedang demam dan batuk-batuk. Asap yang membawa debu mengepul ke angkasa membentuk awan tebal yang hitam. Tidak saja mengganggu pemandangan, namun pernafasan bahkan transportasipun terpengaruh. Kejadian gunung meletus di Islandia beberapa waktu yang lalu makin membuktikan bahwa gunung api tidak bisa begitu saja dapat dianggap remeh dalam mempengaruhi stabilitas dan visibilitas atmosfer. Ribuan penerbangan dari dan menuju negara-negara Eropa dibatalkan gara-gara debu ini. Bisa dibayangkan berapa trilyun rupiah kerugian akibat debu ini.
Gunung api di Islandia yang terletak di lintang tinggi dekat kutub utara tersebut terutama dirasakan dampaknya di negara-negara pada arah selatan sampai timur negera tersebut. Ini dapat dipahami karena angin yang berkuasa di sekitar lintang tersebut berarah tersebut. Pembentukan perawananpun bisa terjadi meskipun tidak sebesar di daerah ekuator tropis. Massa udara kutub dan arctic mempengaruhi pola sebaran debu gunung tersebut.
Apakah debu gunung tersebut mempengaruhi suhu dalam jangka panjang di benua Eropa atau tempat lain, tampaknya memerlukan penelitian lebih lanjut. Kalau dilihat bahwa jumlah debu yang dilontarkan ke atmosfer tidak mencapai ribuan kilometer kubik, barangkali tidak akan banyak berdampak pada temperatur udara di Eropa/ belahan dunia lainnya meskipun debu tersebut disebarkan di lapisan stratosfer yang stabil. Berbeda dengan letusan Krakatau (1883) dan Tambora yang debunya menjulang ke atmosfer setinggi 25 km dalam jumlah besar (ratusan dan ribuan kilometer kubik) sehingga mempengaruhi suhu bumi.










Saturday, April 10, 2010

Adakah hubungan gempa bumi dengan cuaca dan iklim?

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin sering negara kita diguncang gempa bumi baik dengan intensitas kecil maupun besar. Bahkan semakin sering pula gempa bumi ini terjadi di dasar laut dan menimbulkan tsunami. Gempa bumi yang menimbulkan tsunami besar yang melanda Aceh merupakan peristiwa paling memilukan dalam sejarah gempa bumi di Indonesia. Ribuan orang melayang jiwanya,belum lagi kerusakan bangunan dan harta benda yang tak terkira jumlah dan besarnya. Sampai sekarangpun masih cukup banyak masyarakat yang trauma terhadap peristiwa ini, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain yang kala itu (Desember 2004) terlanda tsunami.

Di Indonesia setiap kali ada gempa bumi, masyarakat pantai sudah semakin sadar untuk melakukan penyelamatan jiwa dengan melarikan diri ke wilayah yang lebih tinggi dan jauh dari pantai. Berita dan peringatan dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) makin sering terdengar dan terbaca dari media massa televisi dan radio. Ini tentu saja merupakan berita yang menggembirakan karena masyarakat sudah makin menyadari pentingnya informasi tentang gempa bumi dan tsunami. Kalangan pejabat baik pusat maupun daerah juga telah mendapatkan layanan khusus berita tentang gempa bumi dan tsunami dari BMKG, yang bisa pula diakses oleh masyarakat luas.

Semakin seringnya terjadi gempa bumi khususnya tektonik untuk kalangan awam tertentu menimbulkan pertanyaan: apakah hal ini ada kaitannya dengan cuaca dan iklim dunia yang selama ini dipercaya mengalami perubahan. Tentu saja merupakan informasi yang mengada-ada jika ada yang menyatakan terdapat hubungan antara gempa bumi dengan peristiwa di atmosfer yakni cuaca dan iklim. Sama sekali tidak ada kaitan antara peristiwa di dalam bumi tersebut (gempa bumi tektonik) dengan cuaca dan iklim yang berada di permukaan bumi khususnya pada lapisan gas/ atmosfer. Peristiwa gempa bumi tektonik tidak berpengaruh pada cuaca dan iklim bumi dan sebaliknya. Bagaimana pula dengan gempa bumi vulkanik; apakah ada dampaknya pada cuaca dan iklim? Sama juga seperti gempa bumi tektonik; gempa bumi vulkanik juga tidak berdampak pada cuaca dan iklim. Yang berdampak pada cuaca dan iklim adalah jika gunung api yang meletus tersebut memuntahkan material ke atmosfer dalam jumlah banyak, yang bisa mencapai  jutaan kubik ton material,  sehingga dapat menutupi atmosfer dalam waktu lama. Apalagi jika material tersebut sampai mencapai lapisan stratosfer, maka bisa berdampak pada cuaca dan iklim dunia. Kita tentunya pernah mendengar letusan gunung Tambora di Indonesia, gunung Pinatubo di Philippina, dan gunung El Chichon di Meksiko yang berdampak pada cuaca dan iklim dunia. Musim panas yang dingin di Amerika bagian utara terjadi ketika gunung Tambora meletus; tak lain karena material yang dimuntahkan gunung tersebut diterbangkan oleh angin dan terbawa dalam sirkulasi udara di lapisan stratosfer sehingga menutupi sebagian atmosfer Amerika bagian utara sehingga radiasi matahari terhalang untuk sampai ke permukaan bumi.

Wednesday, April 7, 2010

Cuaca, iklim dan penerbangan

Sebagian dari kita tentu telah pernah naik pesawat terbang, bukan? Tentu kita tahu (semoga!) bahwa pesawat terbang tersebut tidak akan diterbangkan dalam kondisi cuaca tidak memungkinkan misal cuaca buruk sehingga tidak aneh jika saat bandara dan sekitarnya diselimuti kabut tebal, pesawat akan mengalami delay.

Penerapan meteorologi dan klimatologi terhadap dunia penerbangan sebenarnya dimulai dari ketika pembangunan lapangan terbang/ bandara. Dengan menganggap perlunya bandara di bangun di suatu tepat, lokasi terbaik bergantung pada sejumlah faktor yang saling berhubungan. Tinggi permukaan daratan dari permukaan laut, tidak adanya halangan di sekitarnya, akses ke pusat kota relatif mudah merupakan faktor-faktor yang diperhatikan. Namun tentu saja aspek penting yang ditinjau adalah iklim di wilayah tersebut. Faktor-faktor yang disebut tadi bisa merupakan faktor yang berkaitan dengan angin dan visibilitas/ jarak pandang horizontal. Kabut lebih sering terbentuk di wilayah lembah yang luas,dan jika lokasi bandara terdapat pada sisi gunung dimana terdapat industri-industri yang banyak mengeluarkan asap maka visibilitas akan makin terganggu. Pengetahuan tentang iklim di suatu lokasi memungkinkan kita untuk mengurangi dampak yang mungkin ditimbulkan oleh adanya cuaca dan iklim yang merugikan seperti visibilitas yang rendah, turbulensi, badai guruh, geser angin, dan downburst. Angin menentukan orientasi terbaik landas pacu agar pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat dengan selamat. Arah dan laju angin (kecepatan) rata-rata perlu dipertimbangkan dan angin yang datang dari banyak arah namun tidak dominan tidak banyak mempengaruhi pesawat apalagi yang berbadan besar. Jika suatu lokasi sedang tidak cocok untuk tempat pendaratan misal cuaca sedang buruk, biasanya pesawat akan mendarat di bandara di sekitarnya (bandara alternatif).

Sebelum dan selama penerbanganpun, seorang pilot dibekali dengan informasi cuaca di bandara dan sekitarnya, dalam jalur penerbangan dan di lokasi tujuan. Pilot yang benar-benar profesional tidak akan berani menerbangkan pesawat jika mendapatkan informasi cuaca yang diperkirakan akan membahayakan penumpang. Telah ratusan kali kejadian pesawat terbang jatuh akibat fenomena cuaca di dunia ini. Oleh karena itu informasi cuaca merupakan informasi yang sangat penting dalam dunia penerbangan.

Ketinggian penerbangan juga diperhatikan agar pesawat tidak terlalu dipengaruhi oleh fenomena cuaca khususnya perawanan, turbulensi, downburst dsj. Semua jenis pesawat menghindari awan-awan jenis Cumulonimbus. Bahkan beberapa tahun yang lalu, Concord sempat beberapa waktu selalu terbang pada lapisan stratosfer. Namun mengingat dampaknya pada pencemaran di lapisan tersebut dan kemungkinan perusakan ozone maka kemudian dibekukan penerbangannya.

Friday, April 2, 2010

El Nino sampai pertengahan tahun 2010

Setidaknya itulah yang dikemukakan oleh WMO (World Meteorological Organization) beberapa hari yang lalu. Sebenarnya informasi serupa juga jauh-jauh hari sudah dikemukakan oleh NOAA Amerika Serikat. Indonesia yang cukup tanggap dengan adanya informasi tersebut dan dengan adanya pengalaman akan dampak EL Nino di Indonesia, sudah mengingatkan masyarakat akan dampak yang mungkin ditimbulkannya. Bahkan sampai Presiden sendiri menginstruksikan kepada para menteri kabinetnya serta seluruh masyarakat Indonesia untuk siap sedia mengantisipasi datangnya EL Nino berupa kekeringan. Namun alam tetaplah alam ... meskipun telah diprediksi akan kemunculan EL Nino dalam intensitas sedang (bahkan sampai hari ini sudah mulai meluruh) dan kemungkinan dampaknya pada musim kemarau yang panjang di Indonesia serta memendeknya musim hujan, namun tetap saja tidak terprediksi bahwa musim hujan kali ini "biasa-biasa" saja. Dipole mode yang ada di samudra Hindia menunjukkan pola negatif yang memberikan dampak pada peningkatan curah hujan. Jadilah interaksi yang demikian kompleks dengan berbagai fenomena lain menyebabkan curah hujan kali ini "normal-normal" saja (baca posting sebelumnya: "El Nino sedang kok Bandung hujan terus ya ...").
Meskipun informasi El Nino kali ini dampaknya tidak separah yang diduga, namun peringatan Presiden SBY beberapa waktu yang lalu tetap harus diperhatikan. Kita masih belum paham betul terhadap perilaku alam ini. Informasi yang sepotong-sepotong tentang fenomena cuaca, iklim dan alam lainnya hendaknya dihindari. Masyarakat hendaknya disadarkan bahwa fenomena cuaca, iklim dan fenomena alam tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Ada rangkaian sebab akibat yang kadangkala ilmu pengetahuan sampai saat ini belum mampu menjelaskannya. Ini merupakan tantangan kita bersama khususnya dunia pendidikan dalam menyadarkan masyarakat tentang pentingnya pengetahuan alam khususnya bidang meteorologi, klimatologi dan geofisika.